Before I Go

941 114 11
                                    

Jeffrey berlari menghampiri Daffa yang terduduk lemah di ujung ruangan kumuh itu. Kondisinya benar-benar kacau. Bekas pukulan dan luka sayatan di tubuhnya membuat lelaki manis itu meringis.

"Daffa, mengapa ini bisa terjadi?"

"K-kau ... pergi saja, Jeffrey ... Tidak aman di sini ..."

"Tidak aman pula aku membiarkan kau kesakitan di sini." Jeffrey mencoba mengangkat tubuh ringkih itu, namun sebuah dobrakan di pintu gudang membuat mereka berdua terkejut. Dia, Daffa mengingat wajahnya. Meski sudah beberapa tahun tidak bertemu, Daffa masih mengingatnya.

"Jadi, kita kedatangan seorang pahlawan?" Lelaki itu mengeluarkan sebuah pisau lipat dari saku jaketnya. Jeffrey berdiri, menatap lelaki itu nyalang.

"Eoh? Kau berani menatapku begitu, apa kau membawa senjata?" tanyanya sembari mendecih. Ia berjalan mendekat. Semakin mendekat, semakin Jeffrey mundur untuk melindungi Daffa. Lelaki itu menyeringai.

"Jeffrey Danuar Gerhana, yang kudengar-dengar menyukai saudara kembar dari bocah cacat mental ini."

ㅡㄴㄱㅡ

"Daffina, jangan begitu. Aku yakin Daffa baik-baik saja." Chandra terus mencoba menenangkan gadis itu. Sedari tadi Daffina tidak berhenti terisak. Berkali-kali ia berusaha keluar dari rumah untuk mencari sang adik, namun kedua sahabatnya itu melarang keras.

Joan sudah menghubungi Ayahnya yang berprofesi sebagai polisi untuk membantu mencari Daffa. Ponsel Jeffrey tidak bisa dilacak entah mengapa. Sepertinya ponsel pemuda itu sengaja dirusakㅡkarena jika hanya mati, seharusnya lokasi masih bisa dilacak dari pesan terakhir.

"Tolong temukan adikku ...."

"Kita pasti menemukannya, Daffina. Kita akan menemukannya," tegas Joan. Ia paling tidak tega melihat seorang gadis menangis. Rasanya sama menyakitkan seperti melihat sang Ibu menangis karena ulahnya. Perempuan lemah memang sudah menjadi kodratnya. Namun, bukan berarti perempuan adalah makhluk yang dianggap biasa saja ketika menangis. Ada sejuta rasa sakit yang ia rasakan, yang tidak bisa ia bagi dengan orang lain.

ㅡㄴㄱㅡ

"Apa yang kau mau, Bedebah!" sarkas Jeffrey.

"Yang aku mau?" Lelaki itu mendecih pelan. Ia menarik kerah baju Jeffrey sembari menodongkan pisau lipatnya ke wajah Jeffrey, "Aku mau kau dan bocah sialan ini mati. Lalu, Daffina menjadi milikku."

"Kau bisa membunuhku, tapi tidak dengan lelaki tak berdosa itu."

"Pilihan bagus."

Tsak! Tsak!

Mata Jeffrey membelalak. Tubuhnya seketika terkulai dengan tangan yang tertahan meremat sisi perutnya yang ditusuk dengan pisau. Di saat seperti itu, Jeffrey masih berusaha menengok ke arah Daffa.

"Lari ... D-Daffa ...."

Daffa sangat terkejut saat dua tusukkan pisau lipat itu menembus perut Jeffrey. Lelaki itu mengepalkan tangannya sendiri, berusaha menahan rasa sakit. Tubuh Jeffrey ambruk dan kesadarannya menghilang di saat yang bersamaan.

Bugh! Bugh!

Daffa berdiri sekuat tenaga, memukul kepala orang itu dengan sebuah balok kayu yang cukup keras. Lelaki itu terhuyung, hingga pisau lipat di tangannya tergeletak. Daffa mengambilnya dan menggenggam pisau itu erat.

"Kau yang seharusnya mati, orang asing."

Tsak!

Lelaki itu langsung ambruk ketika pisau lipat miliknya sendiri, tertusuk tepat di lehernya. Tak hanya sekali, namun berkali-kali. Emosi Daffa berada di titik paling tinggi, sehingga secara tidak sadar, ia membunuh seseorang.

Pisau lipat itu terjatuh ke lantai sesaat setelah Daffa merasakan perih di tangannya. Telapak tangannya tergores akibat menusuk orang itu dengan sangat kuat. Tubuhnya bergetar, membeku seketika saat tersadar dengan apa yang ia telah lakukan.

"Aku Autis, aku sakit mental, aku cacat sejak lahir, dan akuㅡpembunuh ...." lirihnya. Daffa menatap Jeffrey yang sudah terkapar berlumuran darah di bagian perutnya. "Aku pembunuh ...."

ㅡㄴㄱㅡ


Manusia, mereka tidak pernah tahu akan dilahirkan di dunia. Mereka tidak bertanya, tidak pula meminta. Tuhan memberikan kesempatan setiap manusia untuk hidupㅡdengan jalan dan takdirnya masing-masing.

Lantas, adakah hal yang harus kita kecewakan? Adakah hal yang harus kita keluhkan pada Tuhan, atas dasar ketidaksanggupan kita menjalaninya di dunia? Tentu ada.

Tuhan mengetahui, apa yang mampu makhluknya jalani, dan apa yang tidak. Tuhan tidak pernah memberikan sebuah rintangan dan ujian yang tidak bisa kita kerjakan. Sekalipun kita bersikeras mengucap jika tidak bisa, kita hanya terlalu tidak sabar dan menyerah.

"Aku pembunuh ...."

Satu kata itu yang selalu Daffa ucapkan selagi dirinya duduk di samping Daffina ketika menunggu di rumah sakit. Jeffrey kritis di dalam sana. Sementara pelaku penusukan pada Jeffreyㅡtelah tewas tentu saja.

"Kasus ini akan berlanjut ke pengadilan, Nak. Umurmu telah cukup untuk diadili secara hukum," ujar DavidㅡAyah Joan. Lelaki itu mengusap surai Daffa lembut, seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

"Aku pembunuh ...."

"Kau lelaki baik, Nak. Aku mengerti maksudmu baik. Namun, semuanya harus dipertanggungjawabkan."

Daffa menatap lantai rumah sakit itu dengan tatapan kosong. Ada tiga ruangan yang membuatnya merasa sangat bersalah. Ruang UGD di hadapannya sekarang, tempat Jeffrey berada. Ruang ICU di samping ruangan UGD, tempat Daffina berada. Gadis itu pingsan saat mengetahui apa yang terjadi. Satu lagi, ruang Jenazah di ujung lorongㅡtempat pelaku penusukkan Jeffrey sekaligus korban tusukkannya berada.

"Nama korban tewas sekaligus pelaku penusukkan tuan JeffreyㅡBrian Dylan Purnawirawan. Ditikam oleh saudara Daffa Artaka Mathana sebanyak enam kali di bagian leher." Salah satu polisi itu membacakan data terkait kejadian. Ia menatap Daffa yang tertunduk di kursinya.

"Aku harus dihukum ...." Daffa menengadah, menatap polos satu persatu polisi yang ada di depannya. Mereka menatap Daffa iba. Lelaki itu, benar-benar tak seharusnya diperlakukan ini.

Para polisi itu mengenal Daffa dan Daffina dengan baik karena mendiang Ayah mereka adalah anggota kepolisian. Daffina dan Daffa sering ikut ke kantor polisi sekedar mampir jika Ayahnya ingin mengurus sesuatu.

"Kau mengakui kesalahanmu, Daffa?"

"Uhm ...."

Polisi itu tersenyum tipis. Menatap lelaki ciptaan Tuhan yang harus merasakan rasa sakit yang datang bertubi-tubi padanya. Namun, lelaki itu tetap berusaha kuat. Daffa berjanji pada dirinya sendiri, akan selalu bersama Daffina hingga mereka terpisah oleh maut.

Tapi kini, lelaki itu lelah.

.
.
.
Butterfine
.
.
.

You're gone, but we'll see you, Brian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

You're gone, but we'll see you, Brian.

Butterfine ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang