Hello, Our Angels

2.9K 218 19
                                    

Wanita itu sudah berjuang hampir lima jam melawan segala rasa sakitnya. Terus mengingatkan dirinya sendiri, bahwa kedua malaikat yang ada di rahimnya ini, harus lahir ke dunia dengan selamatㅡ agar mereka bisa merasakan kasih sayang dari dunia.

Pukul sebelas malam, ketika suara tangisan bayi memenuhi ruangan bernuansa putih itu. Kedua bayinya lahir. Sepasang bayi kembar pengantin, laki-laki dan perempuan. Keluarga besar yang beberapa menit lalu merasakan khawatir tak terhingga, kini bisa bernapas lega dengan senyum bahagia.

"Sang kakak berjenis kelamin perempuan, dan sang adik laki-laki. Kondisi keduanya sangat sehat." Dokter yang menangani persalinan berucap dengan perasaan turut bahagia.

"Bagaimana kondisi istri saya, Dok?" tanya Devanㅡsuami Syafira.

"Sang Ibu masih sangat lemah. Sebaiknya biarkan untuk beristirahat terlebih dahulu. Bapak dan salah satu keluarga bisa melihat kedua bayinya."

Sang ayah tersenyum bahagia melihat kedua anaknya yang tertidur nyenyak di atas kasur bayi masing-masing. Membayangkan keluarga kecil mereka hidup bahagia hingga nanti, Devan tak henti-hentinya bersyukur pada Tuhan.

"Hallo anak ayah, Daffina dan Daffa. Mulai hari ini hingga nanti, kalian hidup bahagia ya, Nak ...."

ㅡㄴㄱㅡ

"Bunda, aku boleh berenang?" Gadis kecil berusia empat tahun itu memeluk kaki sang bunda yang sedang membuat Cookies. Sementara sang adik hanya duduk di depan televisi, memainkan mainan robot miliknya.

"Ajak Daffa main juga, ya?"

"Daffa tidak mau aku ajak. Daffa tidak suka sama Daffina."

"Bukan begitu, Sayang."

"Ya sudah, aku tetap mau berenang sendiri."

Daffina berlari menuju kamarnya untuk berganti pakaiannya sendiri. Gadis kecil itu memang mandiri dan lebih aktif. Berbeda dengan sang adik yang sedikit lebih pendiam.

Pelampung pinguin itu sudah melingkar di pinggangnya. Daffina berjalan mendekati Daffa. Bukan untuk mengajaknya, tapi mengambil sebuah permen yang ada di dekat Daffa.

"Daffina ...."

"Aku mau berenang. Kamu tidak bisa berenang. Jangan ikut, ya."

Berlari meninggalkan Daffa sendirian di depan televisi menuju kolam berenang belakang rumahnyaㅡgadis itu memang masih terlalu kecil untuk bisa mengerti.

Mengerti bagaimana perasaan sang adik yang sebenarnya sangat ingin ikut berenang. Ingin bermain sepeda bersama Daffina setiap hari minggu. Ingin mengikuti lomba menggambar bersama Daffina di festival hari anak dua minggu lagi. Daffaㅡmalaikat kecil ituㅡingin menjadi seperti kakaknya.

ㅡㄴㄱㅡ

"Daffina, Daffa, Ayo turun, Nak. Ayah bawa hadiah!"

Tak butuh waktu lama bagi pasangan suami istri itu menyambut kedatangan kedua anak mereka yang semula belajar di kamarnya. Sang kakak yang berlari dengan wajah excited, dan sang adik yang berjalan mengikuti.

"Wah! Puzzle!" girang Daffina.

"Daffa juga dapat Puzzle, lho! Sayang, sini." Sang bunda membawa si bungsu ke pelukannya.

"Daffa tidak bisa main ini, Bunda. Kasih kakak saja. Daffa tidak pintar," ucap Daffa pelan. Kedua orang tuanya tentu terkejut. Mengapa putra kesayangan mereka berkata seperti itu.

"Daffa itu pintar, Nak. Sama seperti Daffina. Kalian berdua anak Ayah dan Bunda yang paling pintar. Tidak ada yang berbeda, oke?" tutur Ayah.

"Kalau Daffa belum bisa, Daffina bisa ajarkan ya, Sayang?"

"Uhm, Daffina ajarkan," jawab Daffina. Si sulung merangkul sang adik dan mengajaknya kembali ke kamar. Sampai di sana, kedua saudara kandung itu duduk berhadapan di samping kasur. Sang kakak membuka gorden kamar lebih lebar agar terang.

"Puzzle-nya harus acak. Tidak boleh disusun dulu. Ayo, coba acak," tutur Daffina. Sang adik menurutㅡmengacak-acak potongan puzzle itu.

"Lalu susun saja. Boleh dari ujung dulu. Kamu pilih potongan yang mana, terserah saja. Ayo, sekarang kamu pilih."

Daffa sekali lagi menurut. Mengambil salah satu potongan puzzle ituㅡmemperhatikan papan di depannya. Dirasa satu sisi cocok dengan potongan puzzle di tangannya, Daffa meletakkan puzzle itu di atasnya.

"Daffa benar?" tanyanya pada sang kakak.

"Iya! Daffa pintar!" Daffina berucap bangga dan memeluk adiknya erat. Erat sekali, hingga rasanya terlalu erat untuk pelukkan pertama kali selama hidup, antara mereka berdua.

"Daffa tidak hebat. Yang hebat itu kakak. Daffa mau jadi kakak, tapi tidak bisa ...." lirih Daffa pelan sekali. Sangat pelan hingga sang kakak menyadari, selama ini adiknya tidak merasakan apa yang ia rasakan.

Karena pada kenyataannya, anak normal dan anak penderita Autisme, memang tidak pernah merasakan hal yang sama, meski mereka tidak diperlakukan dengan berbeda.

.
.
.
Butterfine
.
.
.

Daffina Artalla Mathana
4 years old

Daffina Artalla Mathana4 years old

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Daffa Artaka Mathana
4 years old

[ ㅡ ] Visualisasi yang saya lampirkan adalah yang saya bayangkan selama menulis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[ ㅡ ] Visualisasi yang saya lampirkan adalah yang saya bayangkan selama menulis. Jika pembaca memiliki visualisasi lain pada tokoh, tidak masalah. Karena membaca memang tergantung dengan seleraㅡdan selera itu relatif.

Vote for support, thanks!

Butterfine ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang