"Daffina."
Daffina menoleh saat Daffa memanggilnya. Mereka berada di tengah-tengah macet kota. Cuaca panas membuat seluruh pengendara kegerahan. Lelah dengan urusan kantor dan lainnya, hingga melampiaskan dengan menekan klakson mobil dan motor entah untuk apa.
"Ada yang memberi ini." Daffa mengeluarkan cokelat yang dititipkan Kevin kepadanya tadi. Daffina mengambilnya dan membaca isi suratnya. Kliseㅡsurat yang hampir setiap hari Daffina temukan di bawah mejanya.
"Cokelatnya untukmu saja."
Daffa mengambil kembali cokelat itu. Membuka bungkusnya dan mematahkan satu bagian. Menyodorkannya kepada Daffina. "Buka mulutmu."
"Aku tidak ingin makㅡ"
"Setidaknya kau menghargai orang yang membelikan ini untukmu meski sedikit."
Daffina menghela napasnya berat dan menyuap potongan cokelat itu. Lagipula, pencinta cokelat mana yang tidak mau menerima cokelat di siang hari begini.
"Bulan depan ada lomba karya tulis. Aku boleh ikut?"
"Aku tidak pernah sekalipun melarangmu."
Daffa tersenyum senang. Ia mengambil ponselnya di dalam tas dan menelepon Jeffrey. Memberi kabar bahwa ia akan ikut lomba karya tulis nanti.
"Hallo, Daffa? Ada apa?"
"Jeffrey! Aku akan ikut lomba karya tulis nanti!"
"Benarkah? Bagus kalau begitu! Aku akan mendaftarkan namamu pada Bu Hanna."
"Uhm, terima kasih!"
"Kau sudah sampai di rumah? Apa ada Daffina?"
"Ada apa mencariku?"
Di seberang sana, Jeffrey membelalak kaget. Orang yang ia bicarakan ternyata sedang berada di samping lawan bicara.
"Ehm ... tidak apa-apa. Hanya bertanya. Baiklah kalau begitu, aku akan mengikuti rapat OSIS. Sampai jumpa nanti, Daffaㅡdan Daffina."
Pip.
Panggilan itu terputus. Daffa memasukan ponselnya kembali ke dalam tas. Ponsel itu pemberian Daffina tentu saja. Hanya Daffa pakai untuk menelepon, mengirim pesan, dan menanyakan jadwal kerja kelompok. Ia tidak bermain sosial media karenaㅡ tentu saja tak ingin mendengarkan cemooh dari orang-orang tentangnya.
"Nanti sore aku akan bekerja di tempat baru. Toko bunga milik ibu Chandra. Kau ada kerja kelompok atau les? Akan kuantarkan nanti."
"Tidak, hari ini aku mengerjakan tugas di rumah saja. Tapi, Daffina ...."
"Ada apa lagi?"
"Aku ingin bekerja sepertimu."
"Hm?"
"Aku ingin bekerja sepertimu. Kau tau, bekerja lalu mendapatkan uang."
"Tidak, kau akan kelelahan."
"Itu artinya kau juga sering merasa kelelahan. Aku ingin bekerja. Bisa carikan aku tempat yang cocok?"
Daffina hanya diam. Melajukan mobilnya yang sudah terlepas dari macet kota. Singgah di super market untuk membeli bahan makanan di rumah. Meninggalkan Daffa sendirian di dalam mobil.
Lelaki manis itu menghela napasnya pelan. Daffina selalu melarangnya untuk bekerja dengan alasan jika bekerja terlalu melelahkan. Padahal Daffa merasa fisiknya cukup kuat. Ia menyukai olahraga basket dan ia mampu.
"Daffina membenciku, sama seperti mereka ya ...." lirihnya pelan. Menatap keluar jendela mobil, langit yang semula cerah berubah sedikit mendung. Musim pancaroba seperti ini, saat kecil biasanya Daffa sudah terbaring lemah di atas kasurnya dengan tubuh bergulung selimut tebal. Saat kecil, sistem imunnya memang lemah. Tak jarang ia keluar masuk rumah sakit karena penyakit tifus yang ia derita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfine ✔
Ficção Adolescente[ End ] || Teenfiction ㅡ Angst Untuk raga yang rapuh, sulit direngkuh. Mati enggan, hidup pun susah. Start : 13 September 2020 End : 15 September 2020