19. why we broke up

6 1 0
                                    

September, 2020

"Sudah sejak kapan Anindya mengalami perasaan tertekan seperti ini?" Dokter Eva mencoba berbicara perlahan-lahan padaku.

"4 tahun yang lalu, tidak sepertinya sudah lebih lama dari itu."

"Apa Anindya pernah mengalami perasaan ingin bunuh diri atau memikirkan hal - hal seperti itu."

"Now I'm suffering cause something that I can't understand. People try to fix me and ask me how to be a happily person. I never thinking about die or suicide. Just want to disappear to erase my memories."

"What kind of memories which make you fell so depressed?"

Itu semua bermula 4 tahun yang lalu,




Oktober, 2016.

Malam hari yang kelabu. Seseorang bernama Jonathan memutuskan hubungan secara tiba-tiba tepat 1 hari sebelum acara pertunangannya dengan Marsha Anindya Erlangga.


Malam ini, semua terlihat sangat jelas. Segalanya tampak canggung bahkan bagi kita berdua. Jarak yang sangat dalam diantara kita. Senyummu yang sengaja kamu paksaan, dan sinar matamu yang tak biasa malam ini. Aku masih saja mencoba mencari perhatianmu dengan bertanya tentang kabar dirimu.

Malam yang berkabut dibawah rinai hujan, samar-samar aku menyadari jarak diantara kita semakin lebar. Sesuatu yang pada akhirnya aku sadari ketika bibirmu mengatakan "Mari Kita Berpisah".

Untuk sesaat jantungku berhenti berdetak. Aku mencoba menatap matamu lekat. Meyakinkan diriku sendiri tentang ucapanmu barusan. Pikiranku seketika kacau karena ulahmu hari ini. Sepertinya kamu tidak bercanda.

Hubungan kita berada di tebing jurang. Aku hancur dari dalam.

"Apakah kamu sedang bercanda dengan diriku?" Pikiranku dan amarah yang kutahan sangat kontras dengan ekspresiku yang dingin. Lebih tepatnya aku mencoba tetap berkepala dingin.

"Jika bibirmu masih tertutup rapat, akan ku pastikan malam ini kamu berada di peti mati." Sungguh saat ini aku mencoba bersabar dengan tingkahnya itu.

Pria itu diam sebentar lalu menatap mataku lekat.

"Sayang, aku sudah tidak mencintaimu lagi. Saat ini aku sedang jatuh cinta dengan seseorang." Ha. Pria gila ini minta dibunuh rupanya.

"Jadi maksudmu kamu ingin berpisah dengan ku karena hal konyol begini?"

"Kamu mungkin membenciku saat ini. Tapi sungguh aku sudah jatuh cinta dengan orang lain, aku tidak bisa kehilangan dia?"

Cukup sudah. Pria di depanku sangat amat membuat frustasi. Apa dia sedang mencoba Play Victim?

"wanita penggoda mana yang berani menggoda milikku?"

Jonathan pria itu tertunduk dan tidak berani menatap mataku.

"Jawab Jo." Mataku yang dingin tanpa ekspresi berhasil membuat dia terpaku dan tertunduk lesu.

"Dia seorang pria, dan sepertinya aku kini berubah menjadi Gay."

Pisau steak yang sedang ku pegang tiba-tiba terjatuh dari tanganku. Mataku mencoba menatapnya untuk mengklarifikasi apakah yang aku dengar barusan adalah fakta atau ilusi.

Dahiku sedikit mengernyit. "Maksudmu, kamu sudah tidak tertarik dengan wanita ?"

Ini konyol, lelucon macam apa ini.

"Mey.. ini bukanlah sebuah hal yang ku inginkan. Aku tidak mengerti kenapa aku juga seperti ini."

"Aku selama ini sangat bersabar denganmu Jo. Aku berusaha melakukan yang terbaik untuk menjadi sahabat dan kekasih yang baik untuk mu. Jika memang dari awal kamu sama sekali tidak tertarik dengan seorang wanita semestinya kamu tidak perlu menghancurkan hatiku hingga seperti ini." Muak, aku sangat muak dengan pria dihadapan ku ini.

"I can't acceptance your tactics. Give me a reason, but not for lie about Gay. Are you crazy, how dare you!"

"Mey, thats right! Yeah for sure I'm Gay right now. I'm not interested with women anyway. But just for you i didn't want to hurt you but I love somebody else now. His name Chrish."

"Jo, its wrong being lovey dovey with a man, you already have a  girlfriend and its me. What the hell you doing to me."

Jo mencoba menahan tangisnya, dan dia berniat segera pergi dari restoran.

Aku sengaja menahan tanganmu ketika pria itu berdiri, air mataku tiba-tiba menetes.

Aku benci diriku saat ini. Aku menghapusnya.

"Mari saling tidak peduli satu sama lain dimasa depan."

Setelahnya kamu pergi tanpa pamit, meninggalkandiriku sendirian bersama makanan yang bahkan belum aku sentuh. 


Satu hal yang aku sadari, tidak peduli berapa lama kamu menghabiskan waktu bersama dengan seseorang. Pada akhirnya dia akan meninggalkanmu, atau kamu yang justru meninggalkannya duluan.

1001 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang