Chapter 1

11 2 0
                                    

   "Fyuh, akhirnya selesai juga," kataku lega.

   Sudah hampir malam ketika aku menyelesaikan tugasku. Sebenarnya, tidak ada yang berbeda dengan siang dan malam di sini, karena tempat ini terletak di bawah tanah, sehingga cahaya matahari tidak dapat menyinarinya. Meskipun begitu, tempat ini di sinari oleh cahaya matahari buatan, sebuah lampu besar yang terletak di langit-langit bebatuan di atas kepala kita. Cahaya tersebut akan meredup dan mulai terlihat remang-remang bila memang sudah waktunya, mengindikasikan bahwa malam sudah tiba di permukaan.

   "Yosh, saatnya pulang. Huh? Sudah sepi ya?" Aku memerhatikan sekelilingku dan mendapati bahwa tempat ini sudah tidak ada orang kecuali diriku sendiri. 

   Berjalan di malam hari, dengan angin yang bertiup perlahan membuat tubuhku terasa menggigil. Aku tidak tahu dari mana angin tersebut berasal. Apakah di bawah tanah juga ada angin? Entahlah, kurasa itu tidak penting. Yang terpenting bahwa aku bisa sampai ke rumah, mandi dan membersihkan tubuhku, serta memakan masakan ibu yang sangat lezat tersebut. Memikirkannya sudah membuatku tidak tahan lagi untuk segera pulang.

   Butuh sekitar 10 menit bagiku berjalan dari sekolah ke rumah, begitu juga sebaliknya. Aku mengkhayalkan makanan apa yang bakal ibuku masak untukku selagi dalam perjalanan pulang. Setidaknya untuk menghilangkan kebosanan dan ketakutanku berjalan sendiri. 

   Walaupun ini adalah salah satu dari ke 16 distrik yang ada di Fundamentum, yang memiliki luas yang terbilang lumayan luas, Himmelstadt sendiri merupakan distrik yang tidak terlalu ramai, bahkan  jumlah populasinya kurang dari seperduapuluh dari jumlah seluruh populasi Fundamentum. Oleh karenanyalah jalanan di sini terasa sangat sepi.

***

   Akhirnya aku pun tiba di depan rumahku. Aku meletakkan tanganku pada gagang pintu, merasakan dingin yang mengalir ke telapak tangan dan jari-jariku. Perlahan ku dorong pintunya, dan suara derit pintu terdengar. Pintu kubuka setengahnya dan ku pun masuk dan kembali menutup dan mengunci pintu tersebut. 

   "Aku pulang!" 

   Gelap. Aneh sekali pikirku. Biasanya rumah selalu terang ketika aku masuk rumah. Namun aku tak ambil pusing. Aku lalu berjalan ke arah dalam rumah menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diriku yang penuh keringat ini. Selagi menuju ke kamar mandi, aku berteriak memanggil ibu untuk menanyakan menu makan malam.

   "..."

   Hening, aku tidak mendengar ada balasan. Begitu pun balasan dari 'aku pulang' ketika aku memasuki rumah.  Aku pun mencoba sekali lagi.

   "Ibu! Apa masakan malam kita hari ini?"

   "..."

   "Apa-apaan itu?!" batinku. Aneh sekali, tidak biasanya ibu tidak menjawabku bahkan hingga dua kali. Akhirnya aku pun mencarinya sebelum sempat memasuki kamar mandi. Aku berbelok menuju dapur, tempat ibu selalu memasakkan makan malam untukku. Suasana masih terasa hening dan sunyi. Udara dingin malam terasa menusuk hingga tulangku. Aku berjalan perlahan sambil memegangi lenganku.

   Tiba-tiba aku melihat ibu tergeletak di lantai. Sontak, aku pun berlari menujunya. Kugoyang-koyangkan badannya sembari memanggilnya.

   "Ibu, Ibu, bangun, Bu. Aku pulang. Apa menu makan malam kita, Bu..." teriakku berulang-ulang. 

   Kubalikkan badannya dan kudapati ada cairan merah tergenang di lantai dan menyimbahinya. 

   "Merah? Darah? Ti-tidak, tidak, Ibu, ayo Bu bangun. Apa menu makan malam kita? Aku sudah pulang loh?! I..."

   Di tubuhnya kulihat sebuah lubang mengaga, darah mengucur dari lubang tersebut. Namun tak kulihat pisau atau benda tajam yang menancap. 

   Pandanganku mengabur, tetesan air pun terjatuh dan mulai membasahi pipiku. Suaraku perlahan menghilang.

   "Apakah ini mimpi? Apa aku bermimpi? Tidak, ini kenyataan. Ini pasti kenyataan. I- Ibu... Ibu pasti sudah..." aku tak dapat melanjutkan perkataanku lagi.

   Disaat aku sudah tidak dapat berpikir jernih lagi, tiba-tiba terdengar dentuman suara yang keras. Kaget, akupun mencoba melihat keluar mencari tahu asal suara keras tersebut.

   "Apalagi sekarang?!" pikirku sambil berlari ke arah pintu. Kubuka gagang pintu, dan tiba-tiba aku merasakan sesuatu- tidak, seseorang? Mendekat dengan kecepatan tinggi ke arahku. Kupalingkan kepala ku ke arahnya, dan kulihat seorang pria paruh baya, bersimbah darah, melayang ke arahku. Dengann cekatan, aku pun menghindarinya. Telat sepersekian detik, aku pasti sudah terkena dan tertimpa olehnya.

   "A- apa-apaan itu?! Tidak, tunggu dulu. Apakah dia sudah mati? Dan bagaimana dia bisa terlempar hingga ke sini?" berbagai pikiran mulai menghantuiku. Namun, pikiran yang tetap berkecamuk di kepalaku adalah tentang Ibu. Apakah dia su-sungguh-sunggu telah tiada? Bagaimana bisa?

   Tepat setelah aku berpikir banyak hal, aku merasakan aura yang sangat mengerikan. Tunggu, aura tersebut sangat dekat- tidak, dia tepat di belakangku. Mendadak aku pun berkeringat dingin, kaku, tapi tetap ku paksakan 'tuk bergerak. Kubalikkan tubuhku, dan kulihatー


I want to see the skyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang