"Ranting saja punya takdir untuk patah. Semuanya sudah tergaris, dan berkeyakinanlah akan selalu berakhir manis."_Silla Alfira_
__________________________
Setelah benturan dahsyat yang diikuti raungan klakson itu terhenti, semuanya terasa gelap. Banyak pasang sepatu yang terlihat melintas, riuh rendah suara dengan alunan musik sirine.
Amisnya cairan merah menusuk indera penciuman, bercampur aduk dengan asap jago merah yang melahap bangkai mobil di tengahnya.
Lirihan kecil gadis mungil itu memanggil bunda dan ayah tenggelam oleh bisingnya sekitar. Menyebalkan! Tidak bisakah mereka diam barangkali sejenak.
Pusing yang semakin terasa berat, membuat matanya sayu, karena sakit yang semakin terasa. Tiba-tiba semuanya gelap, sepi seakan semuanya hilang begitu saja.
***
Putri tidur itu masih terpejam, ntah butuh berapa bulan lagi dia akan tersadar, kasihan. Tubuhnya yang semula gemuk berisi, pipinya yang selalu menjadi squishy keluarga besarnya kini menirus.
Bulan september telah berganti februari, enam bulan lamanya gadis itu terpejam. Menikmati dunia mimpinya, yang mungkin sudah menyelesaikan satu kisah.
Wanita paruh baya di sampingnya menghela napas kasar, tiap kali dia berkunjung ke sini. Mata ayu itu selalu menjadi objek pengamatannya, berharap Tuhan berbelas kasih membiarkan kelopak mata itu terbuka.
"Mah, harta peninggalan tante dengan om tinggal seperempat lagi. Kalau Silla masih koma untuk beberapa bulan ke depan, terpaksa Aji berhenti kuliah saja, ya? Supaya ada biaya untuk perawatannya." Pemuda yang kini tengah duduk di atas sofa itu mengacak rambutnya kasar.
"Jangan bilang begitu, Nak. Do'akan Silla segera sadar," harapnya sembari mencium kening gadis malang di depannya.
Aji menyadari jari gadis itu bergerak, dengan semangat tinggi ia mendekati ranjang pesakitan itu.
"Ma," panggil Aji pelan pada Mamanya. Wanita di depannya mulai membuka mata, saat merasa dirinya dipanggil. "Silla, Ma," bisiknya.
Netranya membuka sempurna kala melihat hal yang ia tunggu-tunggu selama ini, dengan sabar, ia tetap menunggu hingga kelopak mata itu akan terbuka sempurna.
"Panggilkan dokter, Aji. Cepat!" titahnya tak sabaran. Aji menekan tombol di atas bed cepat. Merasa tak cukup dengan itu, ia pun keluar ruangan untuk memanggil siapapun penyandang gelar dokter di tempat ini.
Setelah tiga puluh menit setelah dokter memberi penanganan, kini status gadis itu hanya tak sadarkan diri. Berkat Tuhan, dia berhasil selamat dari koma.
Kelopak matanya kembali bergerak pelan seperti tadi, tapi kini tidak ada suara dari mesin seperti sebelumnya. Mendengar raungan mesin itu saja, sudah membuat Debby panik berlebihan. Takut kehilangan keponakannya, sempat terlintas di benaknya.
Erangan halus terdengar dari bibir pucatnya, dengan cepat Debby menghampiri Silla. Belum sempurna langkahnya terhenti di samping bed, gadis itu sudah berteriak histeris. Seakan dia melihat pembunuh yang kapanpun siap membunuhnya.
"Silla, Nak. Tenang nanti selang infusmu tercabut!" pekik Debby.
***
Silla tak berhasil mengingat apa yang menimpanya hingga ia berakhir terbaring di sini, di rumah sakit yang penuh dengan hal-hal aneh, bahkan tempat ini saja masih asing, karena beberapa makhluk yang tak biasa terlihat oleh mata.
Hanya suara decitan ban, benturan keras dan suara sirine yang senantiasa meraung di otak Silla. Argh! Siapa yang menyetel musik mengerikan itu, kenapa terus saja terdengar.
Belum sempurna pandangan Silla menelisik setiap sudut, sosok dengan baju hitam tanpa kaki itu menatapnya. Matanya hanya tersisa satu, satu mata lagi hanya dipenuhi oleh darah segar. Wajah tak karuan, tangan pendek. Meski pendek, ia mampu menggenggam kapak yang berlumuran darah. Aroma tubuh yang menyengat, ditambah dengan raungan sirine dan decitan ban. Rasanya kepala Silla akan pecah detik ini juga.
Sosok itu mendekat, dan kini bertambah dengan sosok mengerikan membawa keris. Wanita itu, sejak kapan dia berada di samping sosok tanpa kaki? Keduanya ingin membunuh Silla.
Meskipun tubuhnya masih terasa lemas, tapi sinyal dari otak Silla lebih kuat untuk melakukan perlawanan. Gadis itu beringsut, tetapi mereka semakin dekat saja. Tolong siapapun, bantu Silla sekarang! Teriakan gadis itu tak mengundang siapa-siapa, justru membuat mahluk tanpa kaki itu kian mendekat. Sementara wanita pembawa keris justru menghentikan langkahnya sembari berteriak tak jelas, ia seperti berteriak tapi tanpa suara.
Bola kecil dengan manik hitam di tengahnya kini terpampang jelas di depan Silla, tak lupa dengan campuran darah. Tangan kecilnya memaksakan agar gadis itu segera melahap bola mata itu, meski dengan sekuat tenaga Silla memberontak, memalingkan wajah dengan keras, tetap saja. Tetap saja tangan pendek sosok itu berhasil mencekik leher Silla, hingga wajahnya yang hancur semakin jelas terlihat.
Perlahan tetapi pasti, kuku panjang itu mulai menukik bibir yang berusaha dikatupkan rapat. Sial! Bibir gadis itu kini mengeluarkan darah segar karena kerasnya usaha sosok itu membuka bibir Silla. Hingga akhirnya, dia berhasil memasukkan benda menjijikkan itu.
"Argh!"
Mimpi itu selalu saja terulang, mimpi yang sebenarnya merupakan kilas balik kejadian sembilan tahun lalu. Wanita itu datang lagi. Sekilas, bayangan wanita pembawa keris itu selalu berkelabat dalam dirinya.
"Pergi!" Silla memekik keras, memintanya pergi saat wujud wanita pembawa keris itu terlihat.
"Silla, ini tante, Nak. Silla," panggilnya lirih. Silla begitu benci suasana seperti ini, sosok wanita itu selalu saja menangis saat memasuki kamarnya. Sosok wanita itu menangis karena sikap Silla yang seperti ini saat dia datang.
Acap kali, sosok wanita mengerikan nampak sangat lama dalam dirinya. Hal itu kadang membuat dia harus menjauh, dan sekedar untuk mengantarkan makan saja dia harus meminta bantuan tetangga atau orang sekitar saat kakaknya-Aji di luar kota.
Silla benci, ia begitu benci kehidupannya. Terlalu banyak mahluk yang mengganggu semenjak tidur panjang itu. Dan semenjak ia menutup mata, setelah itu pula Silla sendiri di dunia ini. Orang tuanya ternyata lebih disayang oleh Tuhan, tentu saja ini membuat Silla merasa Tuhan tidak adil. Kenapa dia harus membiarkannya sendiri? Kenapa dia tidak ikut memanggilnya saja? Daripada harus menjadi beban di dunia? Tidur panjang selama enam bulan, seharusnya ia mati saja.
Silla Alfira, nama yang tersemat pada raga lemah itu. Diusianya yang kelima belas, hanya ada tiga orang peran dalam hidup Silla. Tante Debby, Kak Aji, dan guru homescolling.
Dia terlalu aneh untuk berbaur dengan anak-anak normal di luaran sana. Saat berbaur di tengah keramaian, suara sirine dan decitan ban selalu terdengar tanpa henti. Hal itu membuatnya frustasi sendiri sampai menyandang gelar, anak aneh dan gila.
"Silla," bisik tante Debby. Silla berusaha menatap mata wanita cantik itu. Syukur, sosok itu hilang, membuatnya kali ini bisa bicara dengannya.
"Tante, tante mau ngomong sesuatu." Beliau terlihat sedikit ragu. "Bicara saja, Tan," paksa Silla. Ia tak suka dibuat penasaran dan menunggu seperti ini.
"Silla tau, kan? Kalau tante sedang sakit. Semua gaji kak Aji bahkan dihabiskan untuk berobat, dan uang peninggalan Ayah Silla. Mmh ... uang itu, uang itu sudah habis," jelasnya ragu.
Silla hanya mengangguk ringan, setuju dengan apa yang beliau ungkapkan. Menjalani homescolling selama sembilan tahun, dan biaya saat koma enam bulan, tidaklah menghabiskan sedikit dana.
"Jadi, apa Silla mau sekolah biasa, Nak?" tawarnya ragu.
Bagaimana ini? Berada di tengah keramaian hanya akan membuat suara sirine itu akan kembali meraung-raung.
__________________________
Story by;
ArliChrani1108
@AchairaPutri_04
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Dunia [TAMAT]
Fantasy[TAHAP REVISI PART MASIH LENGKAP!] Tanpa disadari dunia ini memiliki dua sisi berbeda. Atau lebih tepatnya dua dunia yang berbeda. Di luar sana ada dunia yang tidak bisa dilihat sembarang orang. Silla Alfira. Seorang gadis yang tidak tahu harus apa...