1

50 14 7
                                    

Dua hari sebelum kematian Yennie

Ziotha mengerjap kala membuka matanya. Kemudian dia duduk dan ternyata sudah ada empat belas orang yang berseragam sekolah sama dengannya di sana.

Gadis berambut cokelat sebahu itu memijit pelipisnya yang sedikit pusing. Dia kembali mengingat bagaimana dia bisa sampai di tempat ini. Ya, dia ingat terakhir kali dia sedang berada di kelasnya. Kemudian dia tiba-tiba merasa mengantuk kemudian ketika terbangun sudah berada di sini.

Apa aku diculik? Ziotha bertanya di dalam hati.

Ziotha berdiri lalu melihat sekelilingnya. Sesaat kemudian dahinya berkerut. Ziotha berpikir, tidak mungkin dia diculik ke tempat yang bisa dibilang sangat bagus seperti ini.

"Kau juga bingung, kan?"

Ziotha menatap seseorang yang barusan bertanya, kemudian dia mengangguk.

"Apa yang terjadi, Al?" tanya Ziotha kemudian.

"Aku pikir kita diculik," Agatha yang menjawab.

"Bukannya disekap, tapi ke tempat sebagus ini?" Ziotha kembali memegang pelipisnya.

Zein menghela napasnya seraya turun dari meja kayu kecil yang didudukinya. "Apa seseorang mengerjai kita?"

Sudut bibir Alexa naik sebelah, dia menatap satu per satu mereka yang ada di sana kemudian pergi begitu saja menaiki tangga ke lantai dua. Sedangkan Ziotha berlari keluar dari rumah itu.

Begitu keluar dari pintu, mata Ziotha disuguhkan dengan taman yang tampak terawat. Ada bunga-bunga yang bermekaran di sana. Dia berlari menuju taman itu kemudian berbalik, menatap rumah besar berlantai tiga yang sekarang sudah ada di hadapannya.

"Rumah siapa ini?" tanya Ziotha pada dirinya sendiri.

Seseorang mendekatinya membuat perhatian Ziotha kini tertuju pada orang itu.

"Kau yang terakhir bangun, kami sudah memeriksa rumah ini. Ada bahan makanan dan makanan instan di dapur. Kurasa seseorang sudah menyiapkannya. Di bawah ada tiga kamar tidur, dan di lantai dua dan tiga, masing-masing terdapat enam kamar tidur. Ah, ada beberapa ruang yang pintunya terkunci. Jadi kami tidak dapat memeriksanya." Jelas William seraya kembali memandangi rumah besar itu.

"Apa ini rumah salah satu dari kita?" tanya Ziotha.

William menggeleng. "Tidak. Karena kau yang terakhir sadar, kami pikir ini rumahmu. Tapi ternyata kau sama bingungnya dengan kami."

Ziotha yang tadi menatap rumah itu, kembali menatap William. "Kau bilang sudah ada makanan yang tersedia di dapur? Dan jumlah kamar tidur itu ada lima belas? Tunggu! Sepertinya ini sudah direncanankan."

William menaikkan bahunya. "Aku dan Ainsley juga berpikir begitu. Oh iya, kami memutuskan satu orang dapat memiliki satu kamar. Dan kamar yang tersisa ada di lantai dua, itu bisa menjadi kamarmu."

Ziotha tak menjawab, dia hanya diam karena tidak tau harus berkata apalagi.

"Dan satu lagi, pakaian kita juga sudah disiapkan di dalam lemari di kamar masing-masing."

Setelah itu William meninggalkan gadis itu. Ziotha juga melangkah kembali memasuki rumah itu dan pergi ke satu-satunya kamar kosong yang terdapat di lantai dua.

Ziotha melempar tas sekolahnya ke atas kasur, kemudian dia membuka lemari yang ada di dalam kamar yang akan menjadi kamarnya selama di sini. Benar apa yang dikatakan William, sudah tersedia baju bahkan pakaian dalam di sini. Ziotha lebih dulu mencocokkan pakaian dalam, lalu dia mendengus karena ternyata ukurannya sedikit sempit. Mungkin dia harus bertukar dengan yang lain.

Pakaian yang ada di sini hanya baju kaos dan sweater saja. Ada juga beberapa piyama yang membuat Ziotha semakin bertanya-tanya, kenapa mereka bisa berada di sini?

***

"Apa yang kau lihat?"

Pemuda berkacamata itu tersentak kala Alexa tiba-tiba menyentuh bahunya.

Alexa mengikuti arah pandang Franky yang menatap ke luar jendela besar di lantai tiga.

"Di mana kita?" tanya Franky kemudian.

"Apa kau serius bertanya? Atau kau tau sesuatu?" Alexa balik bertanya, membuat Franky menatapnya dengan sebelah alis terangkat.

"Kau yang paling aneh di sini," ucap Franky.

Alexa menunjuk dirinya sendiri, "aku?"

"Ya, kau." Franky mengangguk sekali. "Kau hanya diam sejak tadi dan hanya menatap kami satu per satu."

Alexa tersenyum dengan sebelah sudut bibir. "Aku memang selalu melakukan itu,"

Franky menghela napas jengah, "terserah."

Alexa menatap punggung Franky yang sepertinya akan menuju ke kamar, dengan tatapannya yang biasa, datar tapi misterius.

Sambil melipat tangannya ke depan dada, gadis yang biasanya selalu memakai pakaian abu-abu itu masuk ke dalam kamarnya. Tangan putihnya meraih buku catatan tebal bersampul abu-abu yang selalu ada di dalam tasnya. Dia sangat bersyukur buku itu tidak hilang. Alexa membuka lembaran demi lembaran hingga berhenti di satu halaman yang tertera nama dan foto Franky di sana.

"Apakah kau?" tanyanya pada foto itu.

A B N O R M A LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang