Malam tahun baru

13 1 0
                                    

🌟

Malam ini, langit menyala-nyala, bunyi kembang api mengirama, berdentum-dentum—bergantian. Memancar kemerah-merahan bagai bunga yang sedang mekar, dan merekah. Tahun baru telah tiba. Hampir semua orang menyembulkan kepala, mencari-cari sumber suara yang berhasil menghentikan mereka dari pekerjaan yang tengah di kerjakan, atau menyadarkan jika malam pertama bulan januari sudah tiba.

Taman kota terlihat riuh, lampu-lampu jalanan di nyalakan terang-terang, satu dua menggantinya dengan yang lebih terang. Tak peduli sudah pukul berapa sekarang, tak peduli dengan desau angin yang menyergap begitu dingin. Yang terpenting, malam kembang api detik ini harus disaksikan, tidak terlewat bahkan hanya beberapa detik saja.

Jangkrik-jangkrik di sela-sela rerumputan mengerik berisik, terkejut dengan genderang yang memancar di langit malam ini, hanya malam ini.

Di balkon, Ata menempatkan diri. Duduk bersama sapuan angin, dan meriahnya bunga-bunga api yang memekakkan telinga. Ia tersenyum, namun hatinya berdesir pilu.

"Ta, ada apa?," Aarav tiba di sampingnya, duduk di bangku sebelah yang masih kosong. Ata tak segera menjawab. Lengang sempat mengisi ruang diantara mereka, ia menghembuskan napas pelan.

"Bagaimana jika perhitungan medis itu benar Rav?," wajah Ata dirundung kecemasan. Sejumput  rasa gelisah selalu saja berhasil membuatnya  bersitegang dengan hatinya sendiri.

Sekelebat ingatan ketika ia bersama dengan dokter yang menjadi rujukan mereka kala itu hadir, kalimat sang dokter menggema di pikiran Aarav. "Bukankah kau suka tahun baru?, Ayo kita nikmati kudapan ringan malam ini, sama-sama." Aarav tersenyum, berusaha menguatkan sang istri. Mengalihkannya dari hal yang ia sendiri tahu, pasti akan membuat istrinya sedih.

Dua tahun lalu, mereka adalah pasangan yang serasi, tersenyum malu-malu dikala cincin sama-sama tersemat di jari manis. Tidak pernah terpikir oleh mereka jika bisa saja waktu dua tahun yang mereka lewatkan kedepannya, adalah waktu-waktu paling berkesan nantinya.

"Bagaimana jika empat bulan lagi, atau bahkan kurang dari itu, aku pergi Rav?," air mata Ata akhirnya meluruh, jika mengingat keadaan yang menimpa dirinya saat ini, rasanya seperti ada sembilu yang menikamnya terlalu dalam.

Aarav meraih puncak kepala istrinya itu, menyandarkannya pada bahu miliknya. Jilbab merah jambu yang di kenakan Ata mengayun-ayun pelan, menyamai angin malam yang piawai dalam menggetarkan perasaan, hatinya pun turut terseok-seok terbawa arusnya. Aarav memilih untuk diam, bukan karena ia merasa pasai akan keluhan Ata—yang sama, setiap malamnya. Mungkin dengan begini, ia dapat mengambil keputusan bijak.

Ia membiarkan Ata menangis, menyurutkan benak-benak yang menjejalinya, membebaninya, yang menindihnya secara paksa dengan kalimat "aku baik-baik saja, tenanglah," yang sering ia utarakan pada—semua orang. Tidak termasuk Aarav tentunya.

"Rav, aku.." Ata menghentikan sejenak kalimatnya, berusaha mengatur napas, menahan sesenggukannya, menata hatinya yang sedikit berantakan. "Rav, aku ingin segera pergi saja, buat apa aku masih disini jika hanya untuk meropatkan banyak orang, terutama kamu. Bukan kah, ada tidaknya aku tidak merubah apapun, tidak berpengaruh pada siapapun," air mata Ata mulai berderai, meskipun napasnya cukup stabil di banding sebelumnya.

"Hey, jangan pernah berpikiran seperti itu. Ada kalanya kita senang dengan kesenangan yang kita dapat. Tapi bukan berarti kita bisa begitu saja menolak mentah kesengsaraan yang meradang pada diri kita," Aarav diam, ia benar-benar memilah kata yang tepat untuk melanjutkan kalimatnya.

"Ta, bukankah tidak adil jika kita hanya berpihak pada kesenangan yang tersaji di hadapan kita?, senang susah yang kita rasa saat ini tentu sudah di atur dengan akurat oleh Allah, untuk apa kita bermurung durja jika menerimanya akan membuat kita merasa lebih tenang." Aarav paham benar dengan apa yang dirasakan Ata. Ia pun tak pernah menyangka ini semua terjadi.

Bukan hanya kamu yang merasa sedih Ta, aku juga. Batin Aarav ketika ia menghentikan tangannya mengusap kepala istrinya. Entah mengapa malam ini Aarav merasa ada yang berbeda, ia tidak tahu pasti, tapi seakan ada hal besar yang akan terjadi.

"Apakah aku terlihat tidak waras jika menginginkan untuk—mengakhiri hidupku?. Andai kau tau Rav, akupun ingin hidup untuk membersamaimu, dan menikmati masa dimana kita akan menua bersama, tapi apakah aku bisa?. Rav, aku tidak ingin menjadi beban untuk Ayah, Ibu, tante Ira, budhe Anggi, terutama kamu." Tubuh Alita terlihat semakin lemas, tangannya dingin. Pikirannya buncah dengan semua runtutan keadaan yang ia hadapi saat ini.

"Aku merasa seakan ini semua tidak adil untukku Rav, setelah semua hal sebelum kita menikah, sebelum aku bisa berdiri sendiri, sebelum semua terlihat baik-baik saja, semua terasa jatuh bangun dengan arus yang menderas Rav," perbincangan mereka semakin menekan, mengobrak-abrik keteguhan yang sedari lama mereka bangun. Ata masih pada posisi yang sama.

"Semua sudah ada batasannya Ta, semua sudah ada preskripsinya masing-masing, kita tidak bisa menyangkal apa yang sudah menjadi takdir kita." Aarav berdeham pelan, berusaha menguasai keadaan. "Ta, jika kita bicara tentang keadilan kau juga tidak adil pada Ibu, pada Ayah, tante Ira, budhe Anggi, mereka semua sudah menyisihkan waktu terbaik untuk menemanimu, dan bersusah payah meyakinkanmu untuk terus berjuang, kau sudah mengiyakan mereka bukan?. Dan, kau juga tidak adil padaku, mudah saja bagimu mengatakan ingin segera mengakhiri hidupmu, apa kau tidak melihat dari sisiku? Sulit bagiku untuk menerima kalimat klise mu itu Ta." Malam semakin larut, namun lampu-lampu kota masih bentir menerangi, memancar penuh ambisi, bersiap menanti datangnya hari baru.

"Tapi rasanya sakit Rav," ucap Ata begetar.

"Kita berjuang sama-sama ya Ta, tidak apa-apa kita lelah di dunia, kita akan istirahat Ta, tapi nanti di akhirat, bukan sekarang." Hati Aarav sungguh berkabut, tangan kanannya masih senantiasa merengkuh sang istri, sesekali ia melafalkan kalimat ampunan pada Sang Kuasa, lirih sekali. Meminta petunjuk, meminta kekuatan hati padanya, juga pada istrinya.

"Rav, bagaimana jika memang tidak lama setelah ini aku pergi, apa kau akan sedih?," Pertanyaan sederhana yang mendarat di pendengaran Aarav, telah berhasil menyita seluruh pikirannya, tenggorokannnya tercekat. Akan sedih? Ia bahkan tidak menyangka akan ditanyai hal semacam itu. Tentu saja Ta!.

"Ta, dengakan aku, jika besok pagi kamu masih bisa menatapku, dan dapat merasakan kehadiranku, aku sudah sangat bahagia Ta, aku akan sangat bersyukur untuk itu. Lantas mengapa kita harus susah payah memikirkan sesuatu yang belum pasti terjadi. Lebih baik, kita persiapkan diri, bersyukur dengan apa yang kita miliki saat ini," mata Aarav berkaca, ia tahu ini sulit untuk Ata—untuknya juga.

Benar kata Aarav, ia hampir selalu benar dalam banyak hal—sama seperti ayahnya. Meski kadang kala rasa takut mulai menjamu pikiran Ata,  ia akan segera menampiknya, pasti akan ada kalimat ajaib yang Allah kirimkan melalui Aarav, suaminya. Ata merasa lega, berbincang dengan Aarav tidak akan pernah membuatnya resah teramat dalam, justru sebaliknya, ia akan merasa baik-baik saja.

Perlahan, Ata terlelap. "Rav, terima kasih untuk semuanya," ucap Ata lirih, ia terlihat pulas sekali, sampai-sampai ketika Aarav mengguncang sedikit bahunya, Ata masih diam, merasa nyaman pada sandaran bahu yang dua tahun terakhir ini menemaninya. Perlahan, tubuh Ata terasa dingin, tak ubanya seperti angin yang menggeliat disekeliling mereka, menemani malam panjang mereka.
.
.
.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 15, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LANGKAH PANJANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang