Prolog

6.3K 459 42
                                    

Peringatan:
Cerita ini memuat konten dewasa.

Khusus di Wattpad hanya akan update 3 bab sebagai bukti kalau ini karya saya dan ini sudah pernah tamat di salah satu platform online tahun 2020.

***

PLAK!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Estella, dilakukan oleh suaminya yang baru saja pulang bekerja. Estella memegangi pipi kanannya yang terasa panas, sungguh sangat sakit.

"Kamu emang nggak tau diri, suami pulang kerja itu capek. Malah nanyain macem-macem," teriak pria itu, dia sepertinya mabuk.

"Aku cuma nanya Mas, kenapa selalu pulang malem? Emangnya salah?"

PLAK!

Satu tamparan lagi melayang. Kali ini di pipi kiri. Estella tidak bisa menahan air matanya, rasa sakit menjadi berkali-kali lipat. Isakan tangisnya terdengar lirih, tapi suaminya tidak peduli.

"Jangan melewati batasan, kamu nggak capek aku siksa?" Pria itu lewat begitu saja dengan langkahnya yang gontai. Dia bernyanyi sumbang menapaki jalan menuju kamar.

Hampir setiap malam selalu seperti ini, suaminya pulang larut malam dalam kondisi mabuk. Bila ditanya, pasti Estella akan dipukul. Bila didiamkan, suaminya itu akan bertingkah semakin gila.

Estella meneguhkan hatinya, dia tidak ingin pernikahan seumur jagung ini hancur berantakan. Apa yang harus dia ceritakan pada orang tua dan juga keluarga lainnya mengenai ini, Estella lah yang pasti akan disalahkan.

Suaminya sudah berbaring telentang di atas ranjang, suara dengkurannya terdengar di keheningan. Estella membuka sepatu pantofel hitam itu, lalu menaruhnya ke rak di dekat pintu. Setiap malam ini menjadi pekerjaan rutin yang jarang terlewatkan.

Saat pagi menjelang, tau-tau suaminya sudah berpakaian rapi padahal baru jam enam. Estella terlambat bangun, dia baru tidur satu jam sebenarnya.

"Udah mau pergi, Mas?" tanya Estella sembari membenahi rambutnya yang kusut. Dia buru-buru turun dari ranjang dan mendekati suaminya itu. Saat tangannya berusaha merapikan dasi yang miring, sang suami segera menepisnya.

"Kamu mau sarapan apa hari ini? Biar aku masakin, tapi yang gampang aja karena waktunya nggak cukup." Estella bertanya serius.

"Aku makan di luar." Nada dingin itu sudah mulai Estella rasakan di malam pengantin mereka. Sudah tiga bulan, dia semakin tidak paham apa yang diinginkan suaminya ini.

"Kenapa makan di luar, kalau aku bisa masak sesuatu untuk kamu?"

Pria dengan rahang tegas itu mengangkat tangan, nyaris melayang ke pipi Estella kalau saja seorang pekerja rumah tangga tidak datang. Berdeham, dia pergi tanpa berpamitan lagi.

"Nyonya Stella nggak papa?" tanya Bik Maria, satu-satunya yang peduli pada Estella di rumah itu.

"Nggak papa, Bik. Udah biasa," lirih Estella.

"Ya ampun Nyonya, saya tuh nggak ngerti kenapa Tuan sejahat itu. Padahal menikah pun bukan karena dipaksa, tapi atas kemauan sendiri."

Estella hanya tersenyum miris. Bik Maria tau segalanya tentang kekejian sang suami tapi tidak bisa berbuat banyak. "Bibik kenapa ke sini?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Oh iya, ini ada surat lagi untuk Nyonya dari pengirim yang sama." Bik Maria langsung mengeluarkan surat itu yang dia simpan di dalam bajunya karena takut ketahuan.

"Makasih, Bik." Estella cepat-cepat menyembunyikan surat itu ke dalam laci terkunci di dalam lemari pakaian. Di sana terlihat ada begitu banyak amplop surat berjenis sama, namun tak satu pun Estella baca.

Surat dari seseorang yang sangat Estella rindukan. Seseorang yang pernah sangat dekat, namun harus menjauh karena sesuatu hal.

***

Friends with BenefitsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang