Tujuh

658 94 14
                                    


"Aku tidak tertarik." Kupalingkan wajah dari Rico, membuat lelaki itu mendengkus halus.

"Baiklah". Dia menyahut. Mobil mulai bergerak lagi, lampu lalu lintas sudah beranjak hijau. "Tapi penawaran tadi berlaku seumur hidup."

Aku hanya menghela napas, tidak ingin membicarakan lebih lanjut lagi perihal janji-janji masa lalu. Saat itu kami masih terlalu kecil, itu hanya sebuah ucapan yang terlontar, lalu dilupakan. Seharusnya begitu, bukan untuk ditagih.

Setelah itu sepanjang perjalanan hanya ada hening di antara kami. Tidak ada percakapan apa pun. Bahkan ketika kami tiba pada bengkel, Rico yang mengurus semua. Aku hanya menanti di ruang tunggu, membuka menu mobile banking, dan mentransfer kembali dua puluh juta Rico ke rekeningnya. Setelahnya, sibuk dengan browsing hal-hal yang tidak jelas.

Sebuah kunci mobil tiba-tiba terlihat di depan mata, membuatku mengangkat pandangan dari layar ponsel. Mendongak, kutemukan Rico yang memegang kunci mobil sedang tersenyum.

"Ini kunci mobil pengganti selama mobil kamu diberesin." Disodorkannya kunci ke arahku.

Kuulurkan tangan untuk meraih kunci, tapi sebelum menyentuh benda keperakan itu, Rico sudah lebih dulu berbalik dan berjalan ke arah pintu keluar.

"Kita makan dulu," katanya, sambil terus berjalan tanpa menunggu persetujuanku.

Aku menghela napas panjang, tapi tidak punya pilihan lain selain beranjak dan mengekorinya dari belakang.

"Mau makan apa?" Rico bertanya saat kendaraan kami sudah berada di jalan raya.

"Terserah," sahutku tidak bersemangat. Di benakku saat ini adalah pulang. Tidak ingin berlama-lama dengan Rico, ini terasa canggung. Setidaknya menurutku.

"Hm ... terserah ya?"

"Apa aja. Kalau enggak tau ke mana, aku drop kamu aja ke kantor. Mau cepat-cepat pulang," kataku lagi, tanpa sekali pun menoleh ke arahnya.

"Ah! Aku tau di mana!"

Suara riang Rico membuatku menoleh ke arahnya. Sialnya, dia juga sedang menoleh ke arahku, membuat kami bersirobok sejenak sebelum kembali lelaki itu menatap ke arah jalan.

"Kamu terlihat tegang dari tadi," ucapnya pelan. "Apa setidaknyaman itu ya, bersama dengan aku?" Nada suaranya terdengar getir.

"Iya," sahutku tanpa menutupi perasaan ketidaknyamananku saat ini. "Bawaannya mau pulang aja."

"Ck!" Dia berdecak, lalu bungkam. Mengemudikan kendaraan, berjibaku dengan macetnya jalan. Kami melewati banyak rumah makan, tapi tidak sekalipun Rico menepikan mobil. Sepertinya dia mengurungkan niat untuk makan.

Benar saja, tidak lama kemudian kami sudah memasuki area gedung kantornya. Rico menghentikan kendaraan tepat di depan lobi.

"Padahal aku lapar ...," keluhnya.

Aku diam saja, memperhatikannya yang sedang sibuk melepas seat belt.

"Tapi aku enggak mau kamu ngerasa enggak nyaman." Dia menoleh ke arahku, kemudian tersenyum.

"Terima kasih," sahutku, lalu tersenyum untuk membalas senyuman.

Terlihat senyum Rico yang bertambah lebar. Ketika dia mencondongkan tubuh, dan tangannya terulur untuk mengusap kepalaku, aku sama sekali tidak sempat untuk menghindar.

"Aku senang, kamu tumbuh dengan baik," katanya terdengar tulus, sementara aku membeku dengan jantung yang berdegup kencang. "Apa aku harus berterima kasih pada Marsel, karena telah menjaga istri kecil-ku ini dengan baik?" 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 20, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Little WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang