Tentang Waktu

129 19 1
                                    

waktu adalah uang, tapi kebahagiaan keluarga adalah hal termahal yang tidak bisa dibeli dengan uang

Matahari sudah tenggelam, digantikan oleh bulan yang ditemani bintang. Aku memandang padatnya kota dari jendela bis, saat malam kota terlihat sangat indah. Hari ini terasa begitu menyenangkan, meski waktu sangat singkat.

Bis ku akhirnya tiba di pemberhentian, aku turun dan berjalan menuju sebuah Kedai nasi goreng. sekedar membeli makan malam untuk devan.

Setelah pesananku siap, aku bergegas untuk pulang. Tak butuh waktu lama untuk sampai di rumah, aku membuka sepatu sebelum masuk.
Gelap adalah hal pertama yang ku lihat saat membuka pintu.

Aku menyalakan lampu, lalu bergegas ke dapur untuk menyiapkan makanan. Jangan tanyakan Ayah dan Bunda, karena mereka lebih banyak menghabiskan waktu dengan pekerjaan dibandingkan dengan anaknya.

Setelah menempati makanan, aku membawa nampan yang berisi nasi goreng dan segelas air ke kamar Devan.

"Devan, bolehkah aku masuk?" ucap ku saat tiba di depan pintu kamar Devan.

"masuk saja," mendengar itu, aku masuk dan melihat Devan yang menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.

Aku menaruh nampan, lalu duduk di tepi tempat tidur. "ada apa? Apa ada masalah?" tanya ku seraya menepuk nepuk Devan yang masih menyembunyikan tubuhnya dibalik selimut.

Tak ada jawaban dari Devan, tak lama tubuh Devan bergetar. Ia menangis dalam selimut, aku sedikit terkejut karena tidak biasanya Devan seperti ini. "Devan, ada apa? Cepat bangun," ucapku membantu Devan untuk duduk.

aku memeluknya erat, entah kenapa hatiku terasa sakit saat melihat Devan menangis. Aku menepuk nepuk punggungnya sampai ia merasa tenang.

"apa kamu bertengkar dengan teman mu?" tanyaku, Devan hanya mengangguk.

"mereka marah karena salah paham," ucapnya, Seraya menundukkan kepalanya.

"apa yang noona lalukan jika berada di posisiku?" tanya Devan, menatap ku.

"aku cenderung menghadapi masalah daripada menghindarinya. ketika masalah muncul dengan orang lain, aku akan bertemu dan berbicara dengan orang itu," ucapan ku membuat Devan menunduk kembali.

"sudah, kau makan dulu mau ku suapi?" Devan mengangguk, aku tersenyum melihat Devan.

Dia masih seperti anak kecil, butuh banyak perhatian dan kasih sayang. Hanya saja orangtua ku sangat jarang memberi perhatian kepada ku dan Devan.

"noona, aku selalu ingin pulang sekolah di jemput oleh Ayah atau Bunda seperti teman-temanku,"

"Aku bisa dapat semua yang ku mau, tapi kenapa aku tidak bisa dapat perhatian Ayah dan Bunda," Devan menunduk seraya menitikkan air mata.

Aku sedikit terkejut mendengar ucapan Devan, aku mencoba menahan diriku untuk tidak menangis. Sungguh aku juga ingin seperti teman-teman ku yang selalu di beri perhatian lebih oleh orang tua mereka, bukan fasilitas, tapi waktu dan kasih sayang.

Aku kembali memeluk Devan, "Devan, sesibuk apapun ayah dan bunda mereka bekerja untuk kebutuhan kita, kamu punya noona untuk menjadi teman,"

"jadi jangan pernah berfikir seperti itu lagi, mengerti?" Devan mengangguk atas ucapanku.

Aku menyuruh Devan untuk meminum obat dan tidur, ia sangat mudah sakit. Ketika aku dan Devan sakit, orangtua ku tidak pernah tahu karena mereka sibuk bekerja. Aku selalu berusaha untuk menjadi kakak yang baik untuk Devan, meskipun itu sulit.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DEANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang