Tiga hari sudah rasa khawatir Wiha digantung.
[Wiha Bahiru]
Pandanganku tidak lepas dari Ay. Dia bilang malam ini akan pergi lagi. Jengkel rasanya. Ingin ke mana lagi wanita itu? Orang tuanya terlalu baik sampai tidak sanggup melarang Ay. Bagaimana perempuan dua puluh empat tahun itu akan mandiri? Akh, memang harus aku yang di sisi Ay. Tidak boleh orang lain.
“Kamu mau keluar lagi?” Aku mendudukkan diri pada sofa di depan TV. Ada Ayah—bapak Ay—di sebelahku yang asik menikmati berita dan secangkir kopi.
Ay mengangguk sambil berlalu ke dapur mencium tangan Bunda. Dia kembali lagi ke ruang tengah, meminta perlindungan selama dia keluar dari Ayah dengan mencium tangan beliau. “Yah ....” Aku berusaha mengkode Ayah agar melarang anak tunggalnya itu. Ayah menggeleng, tidak bisa dia melarang Ay.
Ayo lah, Yah. Anak gadismu akan keluar malam-malam begini. Aku menghela napas. “Aku yang antar, titik,” kataku tegas, Ay tersenyum sangat tipis, seolah dia tidak mau aku melihat itu.
“Raja janji mau jemput, kamu pulang aja. Yok! Bareng ke depan,” Ajaknya. Aku menyalimi tangan Bapak, lalu menyalimi tangan Ibuk yang baru masuk ruang tamu.
“Wiha pamit sama Ay, ya, Yah ... Bun ....” Mereka mengangguk. Lagi-lagi Ay tersenyum sangat tipis.
“Raja nanti jemput—”
“Aku antar.”
Ketika kutanya hendak ke mana dia, Ay tidak langsung memberi tahu lokasinya. Dia menunjukkan jalan mana yang harus dilewati secata bertahap. Dan aku sadar, ini bukan jalan yang aku lalui tadi saat mencari Ay. Pantas aja aku dan dia tidak berpapasan. Ay juga tidak menjawab akan dia ingin menghadiri acara apa, pasalnya, dia berdandan cantik.
Malam ini Ay duduk di jok bagian belakang sambil duduk miring ke arah kiri dan tangan melingkar pada pinggangku. Rambutnya diikat setengah berbalut helm, membiarkan dua juntaian rambut di bagian depan yang dia ambil dari bagian belahan tengah mengganggu wajahnya. Gaun warna moca selutut membalut tubuhnya, berpadu dengan flat shoes putih yang matching dengan tas kecil dan ikat rambut pita yang juga berwarna putih.“Tadi Raja yang antar pulang?”
“Ha?” sahut Ay menandakan dia tidak mendengar suaraku.
Aku mengulangi pertanyaan barusan sekali lagi. “Iya,” jawab Ay.
“Dari mana—” ucapku terpotong karena Ay tiba-tiba menepuk bahu kiriku.
“Di situ.” Tangan kiri Ay berpegang pada bahuku, sedang tangan kananya menunjuk pada bangunan bertema retro. Mau tak mau tubuhnya harus menempel pada punggungku. Wanginya tidak pernah berubah, selalu memaki parfum murahan dengan bau bubble gum.
Ay turun dengan perlahan setelah motor sudah berhenti di parkiran. Selesai Ay melepas helmnya, gantian dia melepas helmku tanpa aku minta.
“Ay? Aku mau langsung pulang.” Dia tidak perduli perkataanku.
"Kamu yang membawa pergi putri kesayangan bu Hartati ini, harus kamu juga yang kembalikan.” Ya sudah, aku nurut saja. Toh aku sama sekali tidak keberatan.
Yang jadi masalah, Ay langsung menutup mataku dengan telapak tangannya. Menuntun aku turun perlahan dan berjalan dengan dia ada di belakangku. Aku yakin dia mau membawa aku untuk masuk ke dalam kafe. Aku berusaha melepas tangannya dari wajahku, tapi dia malah menendang daerah lututku dari belakang. membuat aku bisa jatuh kapan saja.
“Nurut aja, sih!” gertaknya padaku.
Didudukkannya aku pada satu kursi. Sedikit susah untukku sampai mendapatkan posisi yang nyaman. Beberapa kali lututku bersilaturahmi dengan sudut meja. Aku merasakan ada sesuatu yang sengaja di oleskan ke mukaku, lembek. setelah itu, aku merasakan hembusan napas di sekitar telingaku. Apa Ay sedang berusaha berbisik padaku?
“Dirgahayu Wiha Bahiru!” bisiknya pelan dengan kecupan singkat pada pipiku selanjutnya.
Perlahan Ay menyingkirkan tangannya dari wajahku. “Yo, Bro. Selamat hari jadi.” Agak kesal rasanya ketika baru membuka mata bukan Ay yang aku lihat. Malah Raja. Di lain sisi, tunggu, bahkan aku lupa kalau tanggal dua puluh tiga bulan Juli di dua puluh tiga tahun lalu seorang Wiha Bahiru lahir.
“Met ultah, Mas!” teriak salah satu pengunjung pria. Sedang pengunjung lainnya ikut tersenyum.
Setelah aku masuk ke ruangan yang aku yakin sudah di booking khusus untuk acara ini, pengunjung lain kembali mengalir dengan fokus masing-masing. Aku berdiri berhadapan dengan Ay, dipisahkan oleh seloyang kue bundar dengan lilin yang sudah tidak sabar minta ditiup. Sedang Raja berdiri di belakang Ay. Ugh ... mengganggu pemandangan.
“Pantas saja kamu senyum-senyum waktu aku ngotot mau ngantar. Jadi, ceritanya aku terpancing?” Ay hanya tersenyum lebar menanggapi pertanyaanku. Aku juga ikut tersenyum.
“Tadinya aku aku mau langsung aja minta kamu antar. Tapi ternyata Raja punya rencana yang lebih seru,” Jelas, Ay. Tolonglah mengerti, Ay. Disaat seperti ini aku cuma kamu membahas diriku dan kamu. Raja menyengir memamerkan giginya, tangannya terangkat untuk mengelus puncak kepala Ay. Seolah memuji ekting kekasihnya itu.
Harusnya itu bagianku.
Untungnya anak kakakku berhasil melenyapkan kesal—yang sebenarnya cemburu—membara. Dengan suara khas balita dia berteriak, “Potong kue!” saat itu juga aku baru sadar kalau lelehan dari lilin sudah ada yang sampai pada permukaan kue.
“Make a wish!” ujar Ay.
★★★
Nanti di 00.03
Mendengar suara rangkaian besi itu terparkir di halaman rumah saja, aku sudah tidak nyaman.
Jangan sampai sang pemilik masuk.
★★★
(/ ^3^)/
Saya akan sebisa mungkin terus menghadirkan O M B A K setiap 3 hari sekali.
Mohon konsistensinya wahai saya.
Jambi, 22 September 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
O M B A K
RomanceBenarkan Tuhan akan mempertemukan ujung garis kita? Rasanya selalu ada penghalang untuk aku dan kamu. Rasanya ... memang aku tidak harus kepadamu. [Langkah satu] Rabu, 16 September 2020. Pukul 21.30