Iringi langkah Wiha dengan doa.
★★★
[Wiha Bahiru]
Pintar sekali dia membuatku khawatir setengah mati. Sebelum pergi, dia berjanji untuk pulang sebelum matahari sampai pada peraduannya. Dia juga berpesan, untuk mencari dirinya apabila janji itu tidak ditepati. Kalau sampai aku tahu Ay pergi dengan pacarnya, akan kuhantam kepala pacarnya dengan helmku. Beraninya pria itu telat mengembalikan Ay.
Roda motorku bisa berputar cepat di jalanan yang lenggang—karena sebentar lagi memasuki waktu magrib. Aku menuju sebuah kafe yang Ay katakan sebagai tempat tujuannya entah dengan siapa. Harusnya saat Ay menolak tawaranku untuk mengantarnya, aku harus mempertahankan sisi keras kepalaku. Kemana dia? Empat belas panggilan beruntun dariku tidak ada yang dia angkat. Aku sudah hubungi teman-temannya, barangkali salah seorang dari mereka tengah bersama Ay, tapi tidak.
Aku memberhentikan motor di depan sebuah ruko sembako yang sudah tutup. Kurogoh benda pipih dalam saku celana yang bergetar sejak tadi. Tanpa pikir panjang aku menjawab telepon dari ibunda Ay.
“Halo, Bun?” sapaku duluan.
“Halo, Wiha. Ay sudah pulang, ke sini aja, Wiha. Maaf, ya, Ayeri selalu ngerepotin kamu.” Rasanya lega Ay sudah pulang.
“Saya sendiri tidak apa-apa kalau Ay yang merepotkan saya.” Terbit senyum kecil di wajahku.
kembali aku memasukkan ponselku ke dalam saku celana. Memutar kunci motor dan menancap gas menuju rumah Ay. Tunggu, dengan siapa Ay pulang? Seharusnya aku papasan dengan dia, kan? Sudahlah, nanti akan kutanyakan padanya. Aku melajukan kecepatan motorku, karena sebentar lagi sudah memasuki waktu magrib. Entah kenapa dari dulu aku selalu percaya pada rumor pamali yang disebar oleh ibu-ibu.
Azan berkumandang ketika aku melepas sepatu di teras rumah Ay. Rasanya damai untukku. Sebelum tanganku mengayun untuk mengetuk pintu, sudah ada yang memutar knop dari dalam. Dia tersenyum ramah tanpa rasa bersalah.
“Selamat datang.” Suaranya ... lembut. Tidak terlalu tinggi, atau berat seperti lelaki.
“Masuk, Wiha. Sudah azan. Sudah ibu siapkan di kamar biasanya,” kata Ibu dari dalam rumah. Selalu saja Ibu merepotkan dirinya, padahal aku bisa saja mampir di masjid atau pulang ke rumah.
Ay berjalan duluan sembari menyampirkan handuk dan pakaian bersih pada lengan kanannya. Tiba-tiba dia menghentikan langkah menuju kamar mandi. “Oh!” Dia berbalik lanjut, “Kamu ambil wudhu dulu. Baru aku mandi,” tuturnya. Walau aku sudah hapal rumah ini sampai ke jumlah lampunya, tapi Ay tetap mengikuti aku dari belakang. Dia akan menunggu aku dari luar.
Rumah sederhana. Rumah seperti rumah kebanyakan pada tahun 90’ di kota. Dengan halaman yang luas, pagar tinggi, tidak bertingkat, dan hanya punya satu atau dua kamar mandi. Ay bilang, ibunya sangat menolak keras untuk pindah dari sini. Yah ... namanya juga ibu, dia pasti punya memori sendiri dengan rumah ini.
Kuputar keran di kamar mandi, air mengalir dengan deras. Aku membasuh muka dengan perlahan dan lanjut ke bagian lainnya. Rasanya letih seharian hilang.
“Sudah, Ay,” kataku saat keluar dari kamar mandi. Lagi-lagi Ay menunduk. Katanya, tak kuat melihat aku sehabis berwudhu. Gemas. Ingin rasanya saat ini kuacak-acak rambutnya.
“Ya sudah, cepat sana!” gertaknya.
“Tidak ingin lihat aku dulu?” Lucu sekali. Rasa-rasanya, aku bisa melihat asap muncul di pucuk kepalanya karena dia sedang merana. Cantik sekali jodoh orang. Tidak, dia jodohku. Aku paling yakin dengan hal ini.
“Apa kamu sedang coba jual diri? Cepatlah, Wiha! Aku mau mandi. Aku buru-buruharus pergi lagi.”
“Ke mana? Jangan buat aku tidak tenang, Ay. Aku benci perasan itu.” Aku juga benci memikirkan apakah kita akan berlanjut pada jenjang yang lebih lagi, Ay. Tapi aku yakin kamu jodohku. Kalimat itu tidak bisa aku sampaikan pada Ay.
“Aku mau mandi. Kamu juga, bukan aku yang bersalah kalau kamu melewatkan ibadahmu.” Aku berlalu sambil diam. Ay pasti jodohku.
★
“Apa yang kamu minta?” Aku sedikit terkejut dengan suara yang tiba-tiba datang dari arah pintu. Aku menaruh sarung yang tadi kupakai ke atas kasur Ay.
“Ha?” tanyaku balik pada Ay.
“Saat kamu membentuk tanganku begini.” Dia menirukan bagaimana tanganku saat berdoa. Lanjutnya, “apa yang kamu pinta?”
“Kamu,” jawabku tanpa ragu.
Muka Ay berubah masam, tapi pipinya sedikit bersemu merah. Dia maju mendekati Aku, mengangkat tangan dan melayangkan pukulan kecil pada bahuku. “Bahkan rasanya ‘tak sampai seperti digigit semut, Ay,” komentarku. Sekali lagi dia memukulku. Kali ini Ay menambahkan tenaganya, walau tetap saja tidak sakit. Namun aku tetap mengaduh.
Ay membawa bayang tubuhnya pergi meninggalkan aku. Aku serius, Ay. Kamu salah satu permintaan yang tidak pernah lupa untuk aku pinta pada-Nya.
★★★
Nanti di 00.02
Apa Ay tidak bisa berhenti buat aku kesal? Tidak. Ay tidak salah. Apa ini ....
Kalau iya, aku senang. Tapi juga sakit bersamaan.
★★★
Jadi tadi Ay pulang dengan siapa?
Semoga bisa komit. Semangat saya!Sip.
Jambi, 19 September 2020.
KAMU SEDANG MEMBACA
O M B A K
RomanceBenarkan Tuhan akan mempertemukan ujung garis kita? Rasanya selalu ada penghalang untuk aku dan kamu. Rasanya ... memang aku tidak harus kepadamu. [Langkah satu] Rabu, 16 September 2020. Pukul 21.30