Semua terlihat masih abu-abu.
Semua kebahagiaan ini hanyalah semu.
Omong kosong tentang kalimat yang menyatakan semua akan indah pada waktunya.Detik demi detik telah berlalu.
Waktu yang tak akan pernah ke masa lalu.
Omong kosong jika ada seseorang yang menyatakan ada mesin waktu yang mampu kembali ke masa lalu.Dulu, saat dunia hanya dihuni oleh orang-orang naif.
Mereka yang belum memiliki sifat egois, tamak, serakah, dan sifat buruk lainnya.
Dunia ini kejam sekali.
Sebenarnya bukan hanya perampok, pencuri, jambret, penodong, copet, pembunuh dan berbagai kejahatan lainnya yang disebut penjahat
Tetapi, juga mereka yang memakai dasi berbicara soal kemajuan negeri ini.
Mereka hanya memakai topeng itu untuk menutupi identitas aslinya.Saat ini,
Mari mulai membuka pikiran kalian agar tidak ada lagi kesalahpahaman, dunia ini perlu keseimbangan. Ada yang miskin dan kaya, buruk rupa dan rupawan, baik dan jahat. Semua itu perlu untuk keseimbangan dunia ini.Baiklah, sudah cukup basa basi ini.
Aku akan mengajak kalian untuk membaca kisahku.Saat seorang anak baru saja lahir ke dunia, tangis haru menyelimuti. Seharusnya seorang ibu merasakan kebahagiaan karena telah berjuang hidup-mati bukan? Ya, itu jawabannya. Namun, apakah wajar jika seorang ibu justru berteriak marah dan menyuruh dokter untuk membunuh bayinya yang baru saja lahir? Tidak, bahkan sangat tidak wajar. Malang sekali bayi itu.
Semenjak--
"KAKAK DITUNGGU SAMA YANG LAIN DI BAWAH!" teriak Dera dari bawah.
Mendengar suara adiknya, Bora segera menghentikan gerakan pena di buku hariannya. Ia segera merapikan gaunnya juga polesan wajahnya. Setelah itu, ia membuka pintu dan menuruni anak tangga yang terbuat dari kayu.
"Kenapa Kakak gak tinggal di rumah aja, sih? Ngapain coba tinggal di rumah pohon? Banyak nyamuk, terus kalo ada apa-apa juga aku yang repot," protes Dera sembari menatap Bora kesal.
Bora hanya diam memandang wajah adiknya datar. Ia sama sekali tidak berminat untuk meladeni adiknya. Terus tadi dia bilang apa? Tinggal di rumah kutukan itu? Bisa lepas dan tinggal di rumah pohon yang berada di samping rumahnya saja ia sangat bersyukur.
"Kalo diajak ngomong jawab kek, jangan diem aja!"
Bora sekali lagi hanya memandang adiknya datar.
"Cepetan ke mobil, yang lain udah nunggu," titah Dera.
Dera sudah berjalan cepat di depannya, ia berjalan seraya menghentak-hentakkan kakinya kesal. Saat masuk mobil pun ia membanting pintunya keras.
Saat Bora akan membuka pintu mobil, kaca mobil itu perlahan terbuka.
"Mau ngapain kamu?" tanya Ayu--Mama Bora. "Kamu pikir saya mau satu mobil denganmu? Jangan harap!"
"Leon, cepat jalankan mobil!"
Bora meneguk ludahnya kasar. Ia merutuki dirinya sendiri mengapa tadi ia tidak bertanya kepada adiknya lebih dahulu jika di mobil ini ada mamanya? Sudahlah, lagipula ia bisa naik taksi menuju tempat acara malam ini.
***
Bora berhenti di depan resto yang berada di pesisir pantai. Resto itu tampak ramai dengan berbagai hiasan pemanis untuk acara keluarganya malam ini.
Malam ini merupakan perayaan ulang tahun pernikahan kedua orang tuanya yang ke-20.
Semua tamu undangan terlihat anggun dengan membawa pasangan dan juga anaknya. Sesekali mereka mendatangi kedua orang tua Bora untuk mengucapkan selamat.
Di ujung sana nampak pria paruh baya yang terlihat tampan dengan stelan jas-nya, di sampingnya terdapat wanita cantik meskipun usianya kini tak lagi muda.
Sejenak ia tersenyum menatap pria paruh baya itu, papa yang telah membesarkannya dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Ia sama sekali tidak tertarik untuk menatap seseorang di samping papanya yang kini tengah melayangkan tatapan tajam kepadanya.
"Selamat malam," sapa Ayu--Mama Bora.
"Malam," jawab tamu undangan serempak.
"Sebelumnya, saya mau berterima kasih karena hadirin telah berkenan hadir malam ini untuk memenuhi undangan saya dan keluarga."
"Hari ini, saya dan sekeluarga tengah berbahagia untuk merayakan hari jadi pernikahan kami."
Semua tamu undangan bertepuk tangan dan memberikan semangat untuk keduanya.
"Hari ini juga, saya akan memperkenalkan kedua anak saya kepada kalian semua."
Lelucon apalagi yang sedang dilakukan mamanya? Bahkan untuk memperkenalkan dirinya di depan teman-temannya pun enggan.
Dera nampak anggun dengan gaun berwarna hitam selutut, di sampingnya terdapat Leon--kakaknya--ia menggunakan pakaian senada dengan sang papa. Keduanya naik ke atas panggung bersamaan dengan senyuman yang menghiasi wajah mereka.
Herlambang--papanya--berjalan menuju ke arahnya saat telah memberi kata sambutan.
"Kenapa kamu datang terlambat? Bukannya papa tadi sudah berpesan agar kamu satu mobil bersama yang lain?" ujar Herlambang saat sudah berada di depan Bora.
Bora hanya menanggapinya dengan senyuman tipis.
"Apa mama yang melarang kamu agar satu mobil bersama?"
Bora mengangguk sebagai jawaban. Herlambang menghembuskan napasnya pelan.
"Maafkan papa yang belum bisa membuat mamamu berubah. Papa janji, suatu saat akan membuat mama bisa menyayangi kamu kembali dan memelukmu," ujar Herlambang lagi dengan raut sendu.
Kali ini Bora menggeleng, "Bagi aku, Papa adalah Ayah sekaligus Ibu yang aku punya."
Herlambang menggeleng tegas. "Sampai kapan pun Ayu masih jadi Mama kamu, Sayang. Mau sejahat apapun dia, dia tetap seorang ibu yang telah melahirkan kamu ke dunia ini."
Bora tersenyum menyeringai. "Jika boleh aku memilih, aku nggak mau dilahirkan dari rahimnya atau lebih baik aku mati saja waktu sebelum lahir."
Herlambang sekali lagi menggeleng tegas, ia lantas merengkuh tubuh putrinya. "Jangan biarkan perasaan benci ini tumbuh subur di hatimu, Sayang," ucapnya sembari mengelus lembut surai putrinya.
"Bahkan untuk mengakui aku sebagai anaknya pun dia enggan, Pa. Mengapa dari jutaan anak di dunia ini harus aku yang mengalami?"
"Kamu percaya bahwa Tuhan mampu membolak-balikan hati manusia?" tanya Herlambang.
Bora mengangguk.
"Tunggu, Nak. Kamu hanya perlu menunggu sampai waktu itu datang, entah itu lambat atau lama."
Bora melepaskan pelukan sang papa. Ia pamit untuk mencari udara segar dengan berjalan-jalan di tepi pantai.
Bora melepas sepatunya dan menentengnya di tangan kanan. Ia ingin berjalan tanpa alas kaki agar kakinya menyentuh pasir.
"Kalo saja tadi Dera tidak memburu waktu, aku pasti sudah membawa peralatan melukisku ke sini," ujar Bora menyesal.
Bora melangkahkan kakinya lagi menuju pohon kelapa tumbang yang ia jadikan sebagai alas tempat duduk. Ia tersenyum menatap pantulan cahaya rembulan di air laut, juga banyaknya bintang gemintang yang menghiasi langit malam ini. Kesiur angin berhembus tenang menyapu wajah membuat suasana hatinya perlahan lebih baik.
***
Senin, 21 September 2020.
![](https://img.wattpad.com/cover/241672136-288-k233222.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Debora
RomanceMemilih tinggal di rumah pohon yang berada di samping rumahnya merupakan pilihan yang tepat bagi Debora Ardinasty. Buat apa dirinya harus tinggal satu atap bersama sang ibu jika nantinya ia hanya akan disiksa dan mengalami tekanan batin? Ia merasa b...