Siapin tisu sebelum membaca:)
***
Sebelum mengantar Bora pulang, Ganesh mendapat telepon penting dan dengan terpaksa ia meninggalkan Bora di tempat pemakaman. Sebenarnya tadi Ganesh sudah mengatakan akan mengantarnya terlebih dahulu, tapi ia menolak.
Berada di tempat pemakaman ini tidak membuatnya merasa takut. Justru ia menyukai suasana ini, tenang dan damai tanpa ada suara bising.
Bora membuka ponselnya, ia lantas berniat untuk memesan ojol. Ia menghela napas gusar, bukan karena ponselnya mati, melainkan ia lupa membeli kuota data. Dirinya pun sangat jarang untuk membeli pulsa, meskipun ia punya pulsa saat ini. Siapa yang akan dia hubungi? Keluarganya? Omong kosong! Bahkan saat dahulu ia sangat membutuhkan bantuan tidak ada satu pun yang mau mengangkat teleponnya, alhasil ia pun menghapus seluruh kontak keluarganya.
Ia kini mulai berjalan menelusuri jalanan aspal dengan patah-patah. "Wajar bila saat ini. Ku iri pada kalian. Yang hidup bahagia lekas suasana ... indah dalam rumah."
Sebenarnya Bora memang hobi menyanyi sejak kecil. Tapi, itu bukan sekedar hobi, karena ia melakukan itu untuk berbicara. Berbicara kepada angin lewat nyanyian merdu dari mulutnya, juga agar ia merasa punya teman untuk bicara dengannya saat berada di dalam rumah.
Untung saja ia memakai sepatu kets sehingga tidak menyulitkannya saat berjalan. Sepanjang perjalanan ia bersenandung kecil sembari matanya menengok ke kanan dan ke kiri. Namun, lama kelamaan kakinya mulai terasa kebas dan ia pun bertanya-tanya dalam hati. "Kenapa sedari tadi tidak ada kendaraan yang lewat?"
Pikirannya melayang pada kejadian dua jam yang lalu. Ah ... sepertinya ia tau sekarang. Tadi saat di perjalanan menuju kemari, Ganesh memberitahu bahwa makam mamanya ini terletak di tpu yang sedikit terpencil.
Bora menggigit bibir bawahnya, ia menghela napas perlahan. "Ya udahlah, mau gimana lagi?"
Baru lima belas menit ia berjalan, ia sudah tidak kuat. Bukan karena tenaganya, tapi karena perban di telapak kakinya terlepas. Ia harus berjalan dengan satu kaki dan kaki satunya jinjit.
"Kenapa gak ada satu pun orang yang mau berhenti buat nolong?" Ah ... percuma saja ia berharap pada manusia.
Keadaannya kini terdesak. Sepatunya kini berlumpur juga ada bercak darah, saat ia melepas sepatunya kakinya tidak sengaja menginjak paku yang membuatnya terpaksa berhenti di tengah jalan.
Bora hampir saja saja pingsan, ia dehidrasi dan juga kekurangan darah. Sebelum matanya menutup, ia sempat melihat sebuah mobil berhenti di depannya dan menanyakan keadaannya.
***
Setelah dua jam lamanya, akhirnya Bora membuka matanya perlahan. Pertama kali yang ia lihat adalah ruangan bernuansa abu-abu yang terlihat familiar di ingatannya. Sejenak ia memutar pandangannya dan menemukan sosok pria paruh baya yang tersenyum sendu menatapnya.
"Papa ...."
"Akhirnya kamu sadar, Nak. Untung saja tadi papa lewat jalan situ, bagaimana kalo tidak? Apa yang akan terjadi sama kamu?" tanya Herlambang beruntun.
"Papa bingung sama manusia zaman sekarang, setau papa jalan itu tidak terlalu sepi. Tapi kenapa gak ada satu pun yang berhenti buat nolongin kamu?" tanya Herlambang, dia terlihat marah dengan raut wajahnya yang kini berubah merah padam.
Bora tersenyum, kini keadaannya sudah lebih baik. Papa membawakan dokter keluarga untuk memeriksa dirinya, juga kakinya kini sudah di ganti perban dengan lebih baik.
Mengapa Herlambang tidak membawa Bora ke rumah sakit? Jawabannya satu, karena dia tau kalo anaknya tidak pernah menyukai tempat di mana orang sakit dan di rawat.
"Masih sakit, Nak?"
Bora menggeleng sebagai jawaban.
"Papa heran, kok bisa sih kamu ada di sana? Kamu ngapain?"
Kali ini Bora terdiam. Ia tidak mungkin kan mengungkap alasan sebenarnya?
"Bora mau istirahat dulu, Pa," ujarnya.
"Meskipun papa tau kamu cuma ngalihin pembicaraan, tapi tak apa. Yang penting sekarang kamu sudah baik-baik saja." Herlambang lantas bangkit dari duduknya, ia menaikkan selimut Bora ke atas.
"Selamat beristirahat, Nak."
Bora menutup matanya, dia hanya berpura-pura. Dia sangat bersyukur memiliki papa sehebat Herlambang. Dia sempat berpikir, bagaimana jika nanti Herlambang sudah tidak ada? Siapa yang nanti bakal menyayanginya? Ah, sepertinya harus dia yang lebih dulu meninggalkan.
Dia membuka selimut yang menutupi tubuhnya, lantas ia berjalan menuju jendela. Di sana ia berdiri takzim menatap satu per satu isi kamarnya yang sudah lama ia tinggalkan. Ia tersenyum kecut, tidak ada satu pun kenangan manis dalam kamar ini. Yang ada hanya kesepian juga kesakitan yang ia rasakan.
Wajahnya mengeras setiap kali mengingat perlakuan sang mama padanya, baik dulu maupun sekarang mamanya tetap saja.
Di sini ia dapat melihat taman kecil milik keluarganya yang berada di samping halaman rumah. Ia juga dapat melihat rumah pohon miliknya. Matanya memicing kala melihat ada kejanggalan di dalam rumah pohonnya. Beberapa kanvas lukisannya terjatuh, itu sangat mustahil mengingat ia menatanya sedemikian rupa. Lagipula bukankah tidak ada satu pun yang berani masuk ke dalam rumah pohon miliknya?
Bora membelalakan matanya saat mengingat satu nama yang bisa saja keluar masuk begitu saja ke dalam rumah pohon. Ayu! Pasti mamanya yang telah memporak-porandakan rumah pohon miliknya. Karena setaunya jika Ayu merasa kesal padanya, dia akan bersikap demikian.
Perlahan tapi pasti Bora naik tangga satu persatu, saat berada di tangga terakhir ia dapat melihat Ayu yang berdiri garang menatapnya. Bora menundukkan kepalanya dalam. Ia tidak bisa menatap mamanya dalam keadaan seperti ini.
"Dasar anak gak tau diri!" Ayu berjalan cepat mendekat lalu menarik rambut Bora kasar. Dia mendorongnya kasar hingga terjerembab ke bawah.
Bora menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Rambutnya kink terlihat acak-acakan. Tidak ada satu pun yang berani mendekat jika Ayu sudah mulai melukai Bora.
"Bangun!"
Dengan perlahan Bora berusaha bangkit tapi percuma. Ayu yang melihat itu kini mendekat, ia menampar keras pipi Bora. Lantas ia berjalan pergi meninggalkan Bora tanpa belas kasihan.
"Jangan ada satu pun orang yang membantu dia kalo tidak mau saya pecat!"
Bora menatap nanar kepergian Ayu. Kini sudah tidak ada lagi air mata saat Ayu bertindak kasar kepadanya. Mulai detik ini ia harus terlihat tegar, ia tidak boleh lemah. Anggap saja itu adalah cara Ayu mendidiknya.
Sekuat tenaga Bora mencoba berdiri hasilnya nihil. Karena sakit yang tadi belum reda, alhasil ia hanya berdiam diri hingga rasa sakit ini mereda.
Dalam hati ia berharap agar hujan turun, supaya dia bisa menangis tanpa terlihat oleh mata.
Bora menetralkan detak jantungnya. Ia perlahan mencoba untuk bangkit lagi, tapi ia hanya mampu berjalan hingga anak tangga pertama. Ia sudah tidak bisa lagi naik.
Kali ini Bora memilih untuk merayap bagaikan cicak. Meskipun kesulitan, namun ia berhasil masuk ke dalam rumah pohon miliknya yang kini sudah seperti kapal pecah. Bahkan beberapa peralatan lukisnya pun di sita oleh Ayu, mungkin saja kini sudah dibuang.
Bora mengambil kuas yang tersisa dan juga kanvas. Jarinya perlahan menari di atas kanvas. Ia melukis seorang wanita berambut panjang dengan senyum manis terukir di wajahnya.
Bora menatap datar lukisannya, sebenarnya ia ingin sekali melihat senyum tulus itu terbit dalam dirinya. Namun apa daya? Semenjak kecil bahkan untuk tersenyum pun sangat jarang ia lakukan.
Bora menghela napas pendek, ia segera menutup matanya karena merasa pusing menyerang tubuhnya.
***
Rabu, 30 September 2020.
![](https://img.wattpad.com/cover/241672136-288-k233222.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Debora
RomanceMemilih tinggal di rumah pohon yang berada di samping rumahnya merupakan pilihan yang tepat bagi Debora Ardinasty. Buat apa dirinya harus tinggal satu atap bersama sang ibu jika nantinya ia hanya akan disiksa dan mengalami tekanan batin? Ia merasa b...