"Harapan hanyalah harapan yang tak pernah menjadi kenyataan."--Debora Ardinasty
***
Perlahan kedua mata gadis ini terbuka. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali untuk beradaptasi dengan sinar matahari yang mulai masuk melalui celah jendela. Dia mulai merenggangkan tubuhnya, tapi saat itu pula dia merasakan sakit diseluruh tubuhnya.
"Enghhh," desisnya dengan suara parau.
Setelah semua kesadarannya terkumpul, dia mulai menegakkan tubuhnya dan menyandarkan punggungnya di dinding. Dia mengatur napasnya sejenak. Setelahnya, matanya menyapu seluruh isi rumah pohon miliknya dengan tatapan nanar. Banyak lukisan kesayangan miliknya yang kini hancur dan tak berbentuk.
Bora mendengus pasrah. Dia memilih untuk memejamkan matanya lagi dan berharap ketika dia membuka matanya semua kembali seperti sedia kala.
Namun apa daya, harapan hanyalah harapan yang tak pernah menjadi kenyataan.
Matanya terbuka saat telinganya menangkap suara dering telepon yang ntah dimana dia letakkan. Bora menemukan ponselnya dibalik selimut. Tapi, saat dia melihat sang penelepon mendadak ia malas untuk mengangkat. Dia memutuskan untuk mematikan ponselnya dan bergegas untuk membersihkan diri untuk berangkat ke kampus.
Bora melangkah pelan menuruni anak tangga kayu dengan berpegangan kuat agar tidak terjatuh. Dia menghela napas pelan, peluh menetes membasahi pelipisnya.
"Ra ...," panggil Leon pelan membuat langkah Bora terhenti.
Awalnya Bora terkejut saat Leon--kakanya--tiba-tiba tersenyum lalu menyapanya. Namun, Bora segera mengubah mimik wajahnya menjadi datar. Dia hanya menaikan sebelah alisnya sebagai jawaban.
"Gimana keadaan lo? Gue denger kemarin mama nyiksa lo lagi dan kali ini parah," tanyanya tersirat nada khawatir.
"Gue gak papa, lagian sejak kapan lo peduli sama gue," ujar Bora ketus.
Leon mendengus pelan, "Gue kakak lo, tugas kakak adalah menjaga adiknya," ucapnya dengan tatapan tajam miliknya.
Bora terkekeh pelan, "Oh, ya? Lantas kemana aja lo saat gue butuh bantuan? Saat mama nyiksa gue abis-abisan. Bukannya lo malah senyum di atas penderitaan gue? Dan sekarang lo berlagak seakan jadi kakak yang baik buat adiknya. Lo pikir gue peduli? Gak sama sekali!" Bora berseru marah.
Untuk beberapa saat Leon terpaku mendengar ucapan Bora. "Gue pikir, gue bisa perbaiki hubungan kita. Tapi ternyata enggak, percuma gue khawatir sama keadaan lo," katanya lalu meninggalkan Bora yang kini termangu mendengar kalimat terakhir dari Leon untuknya.
"Lo itu kakak gue, tapi kenapa gue ngerasa gak punya seorang kakak yang melindungi adiknya? Gue punya keluarga utuh, tapi kenapa gue merasa sendiri? Bukankah seharusnya gue bahagia? Bukan seperti sekarang ini selalu merasa kesepian, kesepian, dan ... kesepian."
Bora meluruhkan tubuhnya ke tanah yang ditanami rumput. Dia mendongakkan kepalanya agar air matanya tidak jatuh. Bora sudah tidak mampu menahan air matanya, kini dia menundukkan kepalanya dan membiarkan air matanya turun deras membasahi pipinya.
Leon yang berdiri tak jauh dari Bora. Dia seperti bisa merasakan apa yang dirasakan Bora saat ini. Bukannya Leon tidak mau membantu, hanya saja, dirinya tidak mau membuat sang mama terluka. Bahkan untuk sekedar menyapa sang adik pun dia harus mempersiapkan dirinya sejak semalam.

KAMU SEDANG MEMBACA
Debora
Storie d'amoreMemilih tinggal di rumah pohon yang berada di samping rumahnya merupakan pilihan yang tepat bagi Debora Ardinasty. Buat apa dirinya harus tinggal satu atap bersama sang ibu jika nantinya ia hanya akan disiksa dan mengalami tekanan batin? Ia merasa b...