JATUH DAN JUANG

11 2 0
                                    

Hari demi hari berlalu, Dimas selalu datang pagi, memperbaiki nilai nya dan ia selalu menunggu Fira di halte pertama kali mereka bertemu. Selalu sirkulasi nya seperti itu, entah Fira tidak masuk sekolah. Entah Fira sekarang sudah melupakan nya. Apa pertemuan mereka hanya sebuah pertemuan sementara. Sebulan pun berlalu, sore dengan hembusan angin hangat, menemani Dimas yang sedang menunggu Fira di halte bus itu.
Dimas yang sedang duduk sembari mengisi jurnal nya, selalu menanti kapan ia bertemu Fira lagi. Setelah menunggu cukup lama Dimas pergi ke warung langganan nya untuk memesan kopi. Melihat kedatangan Dimas. Mang Aat selaku pemilik warung mengajak ngobrol Dimas.
"Wahh, A Dimas, napa atuh muka di tekuk didie" tanya Mang Aat
"Biasa mang, masih bingung"
"Ooh si Fira ya?"
"Iya mang, masih belum nemu jawaban buat bapak nya Fira"
"Persis kayak Mang Aat dulu Dimas, bueh tapi mah Mang Aat lebih parah" Mang Aat menimpal
"Masa sih mang? Mang Aat belum pernah cerita ka aing"
"Haha, Mang Aat lupa sekarang, sudah sibuk ngurus warung atuh" Jawab Mang Aat "Ah tapi mah yang penting bagi Dimas mah, kalau memang Dimas masih pengen ketemu neng Fira. Ya sok atuh di perjuangkan, tanpa perjuangan rakyat pribumi, Indonesia jatuh ke tangan penjajah. Tanpa perjuangan Dimas, Fira akan jatuh ke tangan orang lain" Nasihat Mang Aat
Mendengar kata Mang Aat, Dimas langsung bergegas membayar kopi nya dan langsung menaiki vespa nya. "Eh mau kemana Dimas, Aduh mana bayar nya kurang"
"Mau berjuang Mang, Merdeka" teriak Dimas sambil mengangkat satu tangan ke atas, lalu melaju menuju rumah Fira. "Haha seandai nya kau masih hidup..." jawab Mang Aat sambil mengeluarkan foto.
Dimas sampai di rumah Fira dengan jantung yang berdebar debar. Segumpal keberanian Dimas yang masih tersisa untuk menekan bel rumah Fira. Semesta mulai menunjukkan takdir yang tidak terduga. Terdengar dari dalam suara yang ramai. Samar samar terdengar suara Fira, Fira yang ia tunggu selama sebulan.
Pintu pun terbuka menunjukkan siluet Pak Ucup yang berpakaian lusuh.
"Pak, Saya sudah mendapatkan alasan nya"
"Apa itu Dimas?"
"Entah ketika saya menunggu Fira di halte bus itu, saya selalu berpikir kalau pertemuan saya dan Fira hanya sebatas pertemuan biasa, yang hanya selewat di kehidupan kita masing masing" Dimas berbicara "Tapi bagi saya, pertemuan saya dengan Fira lebih dari sekedar pertemuan biasa. Karena saya selalu mempunyai perasa yang jarang meleset, dan saya tidak mau Fira jatuh ke tangan orang lain. Dan saya yang akan membuat Fira bahagia. Saya yang akan membawa Fira dari bapak dengan cara yang Sah" lanjut Dimas.
"Alasan yang cukup untuk bertemu Fira buat yang terakhir, Fira ada pangeran berkuda datang menemui mu" ucap Pak Ucup. Fira pun keluar pintu dan menggantikan posisi Pak Ucup.
"Hai Dimas" sapa Fira dengan sedih
"Fir aku berhasil Fir. Kita bisa bercengkrama lagi di halte itu. Ayo sekarang kita kesana" Ajak Dimas sambil menarik tangan Fira, tapi Fira menepis genggaman Dimas. "Gak bisa Dim"
"Kenapa Fira? Ada apa?"
"Aku akan pindah ke Jakarta"
"Apa?!" Ucap Dimas kaget, langit seketika mendung dan hujan mulai meneteskan air Tuhan.
"Maafin aku Dimas, entah jika kau datang lebih awal akan berbeda tapi yang sekarang aku akan pindah ke Jakarta"
Dimas yang hanya bisa mematung, tenggelam dalam perasaan bawah sadar nya. Dimas tidak bisa menerima sebuah kenyataan yang terlalu pahit untuk iya telan. Fira yang langsung berlari kedalam rumah meninggalkan Dimas di luar yang sedang di guyur hujan yang deras. Dimas mulai menaiki motor vespa nya. 'Entah kenapa aku gagal. Memperjuangkan sebuah negara untuk aku tinggalkan. Apakah aku cukup di sebut pejuang? Atau semesta akan mempertemukan ku dengan orang yang baru? Kapan aku bertemu lagi dengan nya? Kapan aku bisa melihat senyum nya lagi? Kapan aku bisa membuat iya tertawa? Tersenyum? Kesal karena gombalan ku? Abaikan semua pertanyaan itu, pertanyaan yang terlalu besar sangat tidak mungkin aku bisa melewati semua ini tanpa dapat jawaban yang pasti untuk jawaban ini. Kapan aku bertemu kamu lagi Fira Satrawijaya?.' Tulis Dimas di buku jurnal nya, dan menutupnya untuk yang terakhir kali nya.

SEBUAH TEORI SEMESTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang