First Voice: (Without) Good Bye

161 12 53
                                    

Persis seperti dugaanku, wanita itu benar merupakan pelakunya. Jujur saja, insiden tadi sempat membuatku kaget. Tetapi karena sudah terbiasa menangani berbagai kasus, itu sama sekali bukan masalah. Hanya butuh sedikit penalaran, tidak akan ada kasus yang sulit.

Setelah para polisi mengamankan sang pelaku, orang-orang yang berkerumun di sekitar TKP mulai berangsur berkurang. Mereka membubarkan diri tanpa diperintah. Tentu saja, kejadian tadi tidak akan sampai merusak kesenangan di tempat ini.

Tetapi sepertinya itu tidak berlaku untuk Ran.

"Oi, oi! Sudahlah, jangan menangis." Untuk yang ke sekian kali kuucapkan kalimat itu untuk menghentikan isak tangis yang semakin menjadi sejak kami angkat kaki dari wahana jet coaster. Akan tetapi kalimatku seolah hanya angin lalu yang tak pernah dianggap ada.

Dia mendelik kepadaku dengan mata berkaca-kaca. "Kenapa kau bisa kelihatan santai saja setelah kejadian tadi?" gadis itu bertanya di sela isak tangis yang masih belum mau berhenti. Ah, bukankah seharusnya aku yang bertanya mengapa dia terus menangis?

Aku hanya tersenyum tanpa beban. "Aku sudah terbiasa melihat mayat di TKP," sahutku ringan. Menemukan mayat sudah bukan hal yang aneh bagiku. Karena sudah terlalu sering terjadi di depan mataku, semuanya menjadi bukan sesuatu yang mengerikan lagi.

"Kau jahat!" Teriakannya berhasil menyentakku. Tetapi untung saja orang lain tidak ikut terkejut. Eh, memangnya apa yang sudah kuperbuat? Aku kan hanya menjawab jujur sesuai kata hati. Apakah itu merupakan perbuatan kriminal?

"Ayolah, lupakan saja. Itu tidak akan berpengaruh padamu kan?" Entah sudah berapa kali aku mencoba menenangkan teman masa kecilku itu. Yah, tidak ada yang bisa disalahkan atas kasus tadi. Semua terjadi tanpa bisa diperkirakan. Walaupun kami tiba-tiba memutuskan untuk tidak naik wahana itu, tetap saja jiwa detektif ini akan menarikku ke TKP.

"Mana mungkin!" serunya.

Aku mengembuskan napas panjang usai menerima respons itu. Atau ... ada cara agar Ran tidak perlu menyaksikan secara langsung? Ah, aku tetap saja merasa bersalah karena membuat ia melihat insiden pembunuhan itu. Tetapi apa boleh buat. Semua sudah telanjur sekarang.

Kualihkan pandangan ke arah lain. Sudahlah, aku menyerah membuat Ran berhenti menangis. Biarkan saja ia menumpahkan semua kengerian, atau mungkin juga kekesalan dengan menangis. Ya, tentu itu lebih baik daripada membiarkan dia mengalami trauma parah akibat hal itu.

Tanpa sengaja, sosok pria mencurigakan mengenakan pakaian serta kacamata serba hitam yang kutemui di jet coaster tampak di antara kerumunan orang. Dia menoleh ke sana kemari seolah mencari sesuatu, atau mencoba memastikan tidak ada yang melihat.

Apa yang dilakukannya di sana? Aku punya firasat buruk tentang orang itu. Mungkin sebaiknya kuikuti saja kemana ia pergi. "Maaf, Ran. Aku pulang duluan." Sebelum itu, tak lupa aku berpamitan pada Ran. Semoga saja setelah ini mood-nya membaik, sehingga aku bisa meneruskan waktu menyenangkan ini besok.

Ran yang berhenti menangis memandangku dengan ekspresi wajah yang sulit ditebak apa artinya. "Aku akan menggantinya lain kali!" seruku sambil terus berlari menembus kerumunan orang. Ya, aku berjanji untuk itu. Akan kulakukan, tapi tidak sekarang.

"Shinichi!" Samar-samar, kudengar teman masa kecilku itu mencoba memanggil. Tetapi aku tak terlalu memedulikannya. Yang terpenting sekarang adalah mengikuti kemana orang misterius berbaju hitam itu pergi menjauhi kerumunan.

Pria itu pergi tak jauh dari wahana Tropical Land. Tepatnya, di sebuah lokasi yang hampir tidak mungkin ditemukan orang lain. Dia tampaknya sedang menemui seorang lelaki dengan kacamata hitam bertengger menutupi identitasnya. Laki-laki itu membawa sebuah koper besar yang ternyata berisi uang yang kutaksir bernilai jutaan yen.

Voice from My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang