1 / Sebuah Tanya

30 3 1
                                    

"Udah jangan nangis, nanti mata lo segede bola pingpong mau?" ujarnya menepuk punggung perempuan yang tengah dipeluk.

"Gue mau ke toilet bentar," melepas peluk kemudian beranjak dari kursi.

"Perlu gue temenin nggak?"

"Nggak usah,"

Punggung perempuan itu terlihat naik turun, isakan kecilnya juga masih terdengar. Melihat sahabatnya yang terluka karena cinta, menjadikan tanya baru dalam hidupnya. Mengapa seseorang berani menjalin kasih, jika konsekuensinya patah hati. Tersadar dalam lamunannya sendiri, ia menggeleng-gelengkan kepala untuk tidak lagi menyelami pertanyaan yang selama ini tak ada jawaban pasti. 

Mungkin itu sebuah dalih untuknya tak menjalin hubungan dengan lawan jenis. Perempuan itu bernama Seina Kaneishia. Seorang perempuan yang selama ini memegang teguh prinsipnya dan sulit dimengerti kebanyakan orang. Bel masuk sudah berbunyi, semua siswa-siswi yang ada di kelas sudah duduk dengan rapi ketika guru Bahasa Indonesianya itu memasuki kelas. Intan, sahabatnya yang tadinya menangis sudah jauh lebih baik. 

Pelajaran pertama pun dimulai. Kurang lebih setengah jam wali kelasnya menjelaskan, Seina dipanggil ke depan untuk menulis poin penting di papan tulis. Karena tugasnya menjadi sekretaris di kelas. Selesai menulis di papan, ia kembali ke tempat duduknya dan meminjam buku Intan untuk menyalin catatan. Tak terasa sebentar lagi ia akan menjadi murid SMA yang super sibuk, dimana ujian-ujian berskala nasional akan dihadapinya nanti.

Hari yang dimaksud pun tiba, suasana kelas yang baru membuat dirinya sulit untuk beradaptasi. Untungnya Intan masih satu kelas dengannya, jadi kekhawatiran akan lingkungan baru itu berkurang sedikit, ia mengenal setengah dari seluruh jumlah siswa yang ada di kelasnya, karena beberapa dari mereka yang pernah satu sekolah dasar atau satu kelas sebelumnya.

Kelas itu menjadi hening ketika wali kelas memasuki ruangan. Pak Toni menjelaskan beberapa hal penting yang perlu diingat oleh para siswa sekaligus membentuk perangkat kelas. Akhirnya perangkat kelas terbentuk dari hasil voting yang sudah disepakati bersama. Arga sebagai ketua kelas, Citra sebagai wakil, Ratri sebagai bendahara, dan Seina sebagai sekretaris. 

Ya, perempuan itu selalu menjadi mangsa teman-temannya untuk menjadi sekretaris, mungkin karena tugas sekretaris yang selalu berkutat dengan spidol dan papan tulis membuat mereka tidak berminat sama sekali. Bisa dibilang ia sudah ketiga kali menjadi sekretaris, dan karena itu pula ia sudah terbiasa dengan semua itu.

"Jadi, tugas ketua kelas dan wakil ketua adalah menjaga seisi kapal ini berangkat dan pulang dengan jumlah penumpang yang sama, dalam artian kalian harus berjuang untuk lulus bersama-sama. Ratri, tugas kamu menarik kas setiap seminggu sekali dengan jumlah yang sudah kita sepakati tadi. Dan kamu Seina, selesai kelas ini kamu menuju ruang tata usaha untuk mengambil jurnal kelas, untuk teknik pengisian kamu bisa tanyakan saya nanti" tegas Pak Toni.

Seina mengiyakan dan mengangguk mantap.

"Permisi pak, mau ngambil jurnal kelas." ucapnya pada staf TU.

"Itu di meja dekat daftar absensi, ambil yang sampulnya merah."

"Oh iya pak terimakasih."

Di tangannya sudah ada jurnal kelas dan kakinya sedang berjalan menuju ruang guru, untuk menemui Pak Toni seperti yang sudah diperintahkan tadi. Selesai dari ruang guru, ia kembali ke kelas dan mulai mengisi jadwal pelajaran hari itu di jurnal, sehingga guru pengajar tinggal memberi tanda tangan saja. 

Lama tak berselang, bel berbunyi dan guru pengajar datang tepat waktu. Pelajaran Bahasa Inggris dimulai dengan helaan napas beberapa siswa yang tidak berminat dengan bahasa internasional itu. Berbanding terbalik dengan Seina yang sangat antusias dengan pelajaran itu.

SELESATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang