DALAM sebuah hidup ada yang namanya, perbedaan. Sebuah antonim tersendiri yang menjadi kelompok, yang baik atau yang buruk kedua manusia itu berdeda. Dari tujuan ataupun sebuah pola pikir.
Hitam dan putih.
Dua warna yang sangat kontras, bagaimana jika disatukan? Tidak akan menjadi warna cerah tentu saja, jangan mengharapkan hitam akan menjadi putih, dan jangan harapkan putih akan mengikuti hitam.
Sayang, sebuah perbedaan terjadi pada mereka berdua. Kadang menyalahkan sebuah benang takdir yang mengantarkan mereka pada sebuah pertemuan yang tak disangka, ada hati yang patut di syukuri karena mengenal lebih banyak dirinya.
Keheningan menyelimuti keduanya, suara dari desis api biru masih berkobar tak kunjung padam "Ayo buat keputusan." Katanya.
Masih bersabar menunggu apa yang akan dikatakan figur didepannya dengan sebuah perasaan campur aduk "Dalam hitungan ke tiga masing-masing dari kita harus melukai, tanpa satupun keraguan. Jika salah satu dari kita terluka-"
"Itu artinya harus menjauhi orang yang membuat luka."
Dia terkekeh. Apanya yang lucu? Itu sebuah keputusan konyol yang diutarakan, bagaimana bisa ia mengambil sebuah tujuan tanpa keraguan sedikitpun.
Bibirnya menghitung pelan. Sangat jelas terdengar kendati suara dari hutan terbakar sangat berisik, masih belum ada Pro Hero dengan Quirk air kemari ataupun sebuah mobil pemadam kebaran untuk mematikan api biru.
Mereka tahu seharusnya menjauhi hal yang paling dibenci adalah sebuah keharusan tanpa batahan, tak ada seorang pun dengan kewarasan yang masih tingkat tinggi mendekati yang tidak rasional, bukan?
Tapi rasanya mereka berbeda...
Tiga detik sudah berlalu. Dia menatap figur didepannya dengan datar, padahal ranting besar dibelakangnya sudah siap membentuk sebuah ombak yang mungkin akan mengunci seluruh pergerakannya.
"Aku... tidak bisa melakukannya."
Senyum tipis terulas pada wajahnya, tangan terulur mengangkat dagu lancip memaksanya untuk bersitatap dengan iris matanya. "Kita sama, saling membenci namun tak ingin menyakiti."
"Ini salah, seharusnya aku tidak mencintaimu... Dabi."
Dalam terangnya api biru, netra Turqoisenya tertimpa oleh nyalanya biru dari Quirk yang telah ia lepas membakar sebagian hutan. Ia yakin bahwa Pro Hero akan datang sebentar lagi, menangkapnya dan memasukkannya pada penjara Tartarus yang tak pernah tahu keberadaannya dimana.
"Mau bagaimana lagi? Sudah terlanjur. Kau tidak bisa mengelaknya."
Wajah mendekat beberapa centi, seperti ini rasanya ia memang tidak bisa mengelaknya juga bahwa sebuah perasaan itu akhirnya muncul juga. Jantung yang kian berdebar serta perut yang seakan terisi ribuan kupu-kupu terbang.
"Begitu juga aku, aku mencintaimu [Name]."
Bibir hangatnya menyapu bibir ranum gadis itu. Dingin. Entah itu karena sebuah kegugupan atau karena gadis ini yang terlalu lama berjaga hingga larut malam.
Pemuda itu bagai representasi api yang berkobar panas mencairkan es, meluluhlantakkan hati dan pikirannya, entah dari berbagai aspek yang sangat jelas kentara perbedaan mereka berdua.
Kedua jantung kerap berpacu, berlomba-lomba memompa darah naik. Saat bibir tak sebatas menempel saja.
Ini memang gila dan tidak rasional. Tapi sebuah sensasi tersendiri yang sangat sulit untuk sekedar dideskripsikan hanya dengan sebuah kata singkat.
Barangkali keduanya memang gila. Mencintai sisi dari pribadi yang mereka benci. Tapi, mungkin ada sebuah alasan mereka saling bertemu bukan?
Kata-kata 'Jangan menilai buku dari sebuah sampul' sepertinya memang benar-benar ada, dirinya yang dulu sering kali berpikir bahwa berurusan dengan Villain adalah hal yang paling ia hindari dari daftar list teratas. Tapi kini kemunculannya bak asteroid menghantam bumi dengan kecepatan tinggi.
Begitu juga pada sisi sebaliknya, dirinya sangat membenci manusia dengan sebutan 'Hero' sebagaimaja dikatakan bahwa orang dengan topeng pahlawan penyelamat nyawa banyak orang rasanya seperti omong kosong belaka. Namun kini, yang ditemukannya adalah bunga mawar merah berduri yang tak seharusnya genggam erat tangkainya. Kendati menyakitkan rasanya menatap kelopak merahnya menyenangkan juga.
Keduanya membutuhkan pasokan oksigen. Canggung.
"Aku harus pergi."
Pergelangan tangannya dipegang, lagi dan lagi rasa hangat tersalur pada tangannya "Sampai jumpa lagi."
Pada malam itu sebuah perasaan dinyatakan secara gamblang, namun kenapa mereka tak membuat keputusan untuk sekedar tinggal dihati?[]
━━━━━━━━━━━━━━━━━
Ukiyo, Sep 23rd 2020
A/n : AidaSenju Tolong buatkan saya boncap untuk Shigaraki, setidaknya sebagai balasan saya menyelesaikan ini chap(༎ຶ⌑༎ຶ)
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐄𝐍𝐄𝐌𝐘 || Dabi
Fanfic˚ ༘♡ ⋆。˚ 𝒅𝒂𝒃𝒊 ↳completed. ❝for the first time, I'm attracted to you.❞ ©𝐮𝐤𝐢𝐲𝐨. 𝐄𝐬𝐭 : 2020/09/14 ©𝖬𝖾𝖽𝗂𝖺/𝖿𝖺𝗇𝖺𝗋𝗍𝗌 𝖿𝗈𝗋 𝖼𝗈𝗏𝖾𝗋 𝗎𝗌𝖾𝖽 𝗁𝖾𝗋𝖾 𝖽𝗈𝖾𝗌𝗇'𝗍 𝖻𝖾𝗅𝗈𝗇𝗀𝗌 𝗍𝗈 𝗆𝖾, 𝗂𝗍...