Percayalah, egois tak akan menjadikan dirimu semakin kuat. Semakin engkau egois, maka semakin sulit kau menyeimbangi segala halnya
***
"Turunin anak saya sekarang!"
Anisa terdiam sejenak, mulutnya hendak terbuka dan mengucapkan sebuah kalimat namun tidak sempat karena tangisan Ulya lebih dulu memotong niatnya.
Sangat jarang untuk seorang Anisa melihat Aidil marah atau sampai berteriak di hadapan Ulya, mengingat selama ini Aidil hanya memanjakan Ulya dan selalu berkemah lembut dengan gadis kecil berpiayama yang tengah di gendongannya.
"Appa marah? Hiks...hiks," Ulya berseru, sembari menenggelamkan wajahnya pada bahu Anisa.
"Eh, kok nangis? Appa enggak marah kok," kata Anisa menenangkan Ulya, mengelus punggung kecilnya dan mencoba membuatnya merasa aman.
"Apaa marah, Kak. Uul pernah lihat Appa marah ke Uncle Andika."
"Cup-cup, enggak kok Appa Uul enggak marah. Iyakan dok?" tanya Anisa seraya menggerakkan alisnya mengode dokter Aidil untuk mengatakan kalau dirinya tidak marah.
"Apa?" tanya dokter Aidil dengan gerakan bibirnya tanpa suara.
Anisa membalas gerakan bibirnya tanpa suara lebih sengit dari dokter Aidil, dengan mata melotot meminta duda muda itu untuk bersikap dewasa layaknya seorang Ayah.
Mungkin selama ini Aidil terlihat manis kepada Ulya, selama ini Aidil juga tidak pernah menunjukkan sisi keras dirinya kepada siapapun selain keluarganya.
Aidil pernah benar-benar marah kepada Andika, hanya karena sebuah pertemuan tak terduga Aidil dengan gadis muda pilihan Papanya. Dan, semuanya di susun rapih oleh Andika.
"Ulya, jangan kayak anak kecil gitu," tegur Aidil.
Anisa terperangah. "Ulya memang masih kecil dok."
"Anisa, kamu enggak tahu apa-apa."
"Appa marah sama Ulya, Bunda...hiks...hiks"
Aidil mengepal kedua tangannya, rahangnya mengeras dan wajahnya semakin memerah. Kulit putih Aidil berubah merah gelap, menahan gejolak kekesalan di dirinya.
"Dia bukan Bunda kamu!"
"Dokter! Enggak bisa ngomongnya enggak bentak gitu? Ulya masih kecil," ujar Anisa yang juga terpancing emosi.
Aidil menghela napasnya gusar. "Serahin anak saya," sarkas Aidil, kemudian menarik paksa tubuh Ulya dari gendongan Anisa.
Anisa terdiam, pasalnya yang di lakukan Aidil saat ini benar-benar di luar dugaannya. Aidil yang selama ini lemah lembut berubah menjadi begitu sarkas dalam berbicara, wajahnya memerah dan rahangnya menggertak penuh emosi.
Apa Aidil marah kepadanya? Hanya karena Anisa belum menjawab pertanyaan Aidil tadi? Anisa hanya belum menjawab, bukannya mengatakan tidak mau.
Aidil sibuk mengusap air mata yang mengalir di pipi Ulya, sedangkan Anisa menatap Aidil dengan perasaan bercampur aduk hingga membuatnya ingin sekali menangis.
Entah karena apa, tapi Anisa merasa kalah Aidil sudah berlaku begitu kasar kepadanya.
Biasanya Anisa dengan Ulya sudah sering bermain bersama di rumah sakit. Biasanya Anisa akan menemani Ulya saat Aidil tengah memiliki jadwal operasi, karena itulah Anisa berani mengiyakan permintaan Ulya untuk beli es krim karena Aidil sedang ada pasien operasi pagi ini.
Namun, Anisa sangat tidak menyangka kalau respon Aidil akan sangat marah seperti itu. Bukankah selama ini Ulya sudah sering bermain dengannya? Bukankah selama ini Aidil juga terima-terima saja saat Anisa mengajak Ulya untuk bermain.
Ada apa dengan Aidil yang sekarang?
"Kasar," lirih Anisa, namun samar-samar suaranya masih dapat di dengar oleh Aidil.
Anisa membalikkan tubuhnya, berjalan menjauh dari Aidil dan Ulya.
Tangis Ulya mereda karena Aidil meminta maaf kepadanya. Namun, mata pria itu tak bisa lepas dari kepergian sosok Anisa saat ini, gadis muda itu berjalan dengan tergesa-gesa menjauh darinya dan Ulya.
Apakah ucapannya sudah berlebih? Aidil hanya merasa kalau semuanya salah, tidak seharusnya Ulya begitu dekat dengan Anisa hingga memanggilnya dengan panggilan Bunda.
Aidil menatap nanar punggung Anisa yang lama-kelamaan menghilang dari pandangannya.
Gadis yang beberapa jam lalu ia lamar, bukan, lebih tepatnya dia hanya bertanya dan pertanyaannya tak mendapatkan jawaban. Gadis yang bahkan masih ia ragukan kehadirannya di dalam hatinya, bukan diragukan tapi lebih tepatnya gadis itu belum hadir disana. Anisa adalah sosok ideal sebagai ibu untuk Ulya namun belum sebagai istri untuk Aidil. Ya, begitulah pikiran Aidil saat ini.
Cinta? Apa itu? Rasanya semuanya sudah menjadi gambar sejak kepergian Zahra, sang istri kembali ke sang pemilik semesta. Cinta tidak lagi ada untuk yang lainnya, satu cinta hanya untuk Zahra. Prinsip tetap prinsip, dan Aidil menjunjung tinggi atas nama prinsip hidupnya.
Jika tak ada yang boleh menyakiti Ulya, maka tak akan pernah juga ada pengganti Zahra di hatinya. Egois, tapi begitulah perasaannya saat ini.
"Appa!" panggil Ulya.
"Hmm? Iya, kenapa sayang?" tanya Aidil tersenyum. Seraya mengusap puncak kepala Ulya yang tengah mengenakan jilbab.
"Kak Anisa sakit hati, ya?"
Aidil menggeleng pelan. "Cuman salah paham."
Aidil melirik koridor yang tadinya ada Anisa namun kini udah sepi tanpa penghuni, hanya beberapa perawat yang berkepentingan saja yang melintas disana.
Kasar? it's better that way. Batin Aidil.
Percayalah, Aidil hanya tak ingin kelak putrinya tak mengenal sosok Zahra, yang tak lain adalah Ibu kandungan sendiri. Aidil hanya ingin Ulya terus bersama Zahra, jika tak di dunia maka kelak di akhirat, yang pasti Aidil ingin menghadirkan Zahra di hari putrinya.
Apa Aidil egois? Dirinya hanya sedikit merasa luka, jika sosok Zahra lama-kelamaan tersisihkan.
Ya, hanya itu. Aidil yakin langkahnya tak salah.
***
Next, besok atau lusa?
Jangan lupa follow Instagram aku di @nurliayensy_ 😁
KAMU SEDANG MEMBACA
Kali Kedua
SpiritualMenikah untuk yang kedua kalinya? Kembali menjadi beban untuk sosok Aidil yang masih mencintai Almarhum istrinya. Namun sebuah amanat menjadi kewajiban untuknya menikahi sosok Anisa. ~Sequel Tulang rusuk dokter Aidil. Desember 2020-