Aneh

189 45 11
                                    

Dingin.

Kata pertama yang terlintas dari benakku setelah memasuki rumah besar milik Mama. Bukan karena rumah ini difasilitasi pendingin ruangan, bukan. Hanya saja, seperti tidak ada kehidupan sebelumnya disini. Semuanya terasa dingin, pengap, dan hampa.

Aku mengitari pandangan pada setiap sudut di rumah ini, hingga pada akhirnya tatapanku terhenti pada sebuah dinding dengan banyak pajangan foto. Sungguh keluarga yang harmonis, ada Mama yang tengah tersenyum, pria yang aku yakini adalah Ayahku, dan juga seorang gadis yang tidak aku kenal.

Aku memperhatikan satu persatu foto itu, semuanya berisi foto Mama, Papa, dan gadis yang sepertinya seumuran denganku. Tapi kenapa— kenapa tidak ada satupun fotoku di sini? Bukankah jika aku memang anak mereka, setidaknya ada satu fotoku terpajang di sana?

'Jangan percaya siapapun... termasuk Mama kamu.'

Perkataan Juyeon tiba-tiba terngiang. Sepertinya, dia memang satu-satunya orang yang bisa aku percaya.

"S-sayang maafin Mama, ya? Mama gak ada maksud buat gak pajang foto kamu. Tadinya ada, kok! Cuma Mama simpen lagi soalnya Mama kira kamu, kamu– kamu bakal m-meninggal."

Aku mengangkat sebelah alis, bingung. Alasan yang tidak masuk akal, bukankah jika memang aku meninggal, fotoku harus terpajang di sana sebagai kenangan?

Apa Mama memang menginginkan kematianku?

Tidak! Ini masih terlalu awal untuk mencurigai Mama, setidaknya aku harus punya bukti kuat agar tidak salah mengambil langkah.

Selanjutnya ruangan yang aku masuki adalah kamarku sendiri. Yah, aku tidak sengaja melihat tulisan namaku di depan pintu. Sebenarnya aku sedikit heran, kenapa kamarku berada dipojokan dan malah terlihat seperti kamar asisten rumah tangga?

Tidak ada tv, tidak ada lemari. yang ada hanya satu buah kasur lantai, dan sebuah laci kecil yang bisa aku pakai untuk menyimpan baju.

Ini semakin aneh, apa selama ini aku diperlakukan secara tidak adil? Apa Mama itu sebenarnya ibu tiri?

"C-chaeyoung kok kamu bisa ada disini? Ayo Mama anterin ke kamar kamu."

"Bukannya ini kamar aku? Itu ada tulisannya didepan."

"A-anu, udah mending sekarang kamu ikut Mama aja, ya. Mama kasih tau kamar kamu yang baru." hmm, kenapa Mama selalu bicara gagap? Lagi, kamar yang baru? Berarti kamar ini memang kamarku?

Bisa aku lihat ada Juyeon dengan tatapan tajamnya seolah tengah mengawasi gerak gerik Mama, sepertinya Mama juga takut dengan Juyeon. Mama tak pernah menatap balik Juyeon, Mama selalu menunduk.

"Ini kamar kamu, nak. Mama permisi."

Ada apa, sih? Kenapa semuanya terasa aneh?

"Ngapain kalian?" tanyaku bingung pada Juyeon dan juga Yunho yang tengah menenteng koper masing-masing.

"Mau tinggal disini, lah. Apa lagi?" jawab Juyeon dengan santai membuka koper lalu memasukan pakaiannya kedalam lemari besar.

Tunggu— seperti ada yang aneh. Jika Juyeon dan Yunho memasukan pakaian mereka ke dalam lemari di dalam kamar ini berarti mereka akan...

"Kalian mau tidur disini?!" aku memekik histeris sambil menunjuk kearah keduanya secara bergantian.

"Emang apa salahnya? Kita udah tunangan, Kate." Argh! Jawaban Yunho malah membuatku semakin pusing!

Bisa tidak mereka berhenti menggangguku setidaknya untuk satu hari saja?

"Gak bisa. Kita ditakdirin bersama." Hee? Jangan-jangan Juyeon itu bisa membaca pikiran? "Udah sana istirahat, jangan banyak pikiran. Kamu udah janji gak bakal mikir."

"Cih." cibirku lalu membaringkan diri diatas kasur empuk. Sejak kapan aku berjanji untuk tidak berpikir, ha? Sejak kapan?! Memangnya ada makhluk hidup yang tidak berpikir?

"Udah tidur dia?"

Samar aku mendengar suara bisikan Yunho, disusul oleh langkah kaki mendekat yang aku yakini adalah suara langkah kaki Juyeon. Aku segera memejamkan mata lalu mendengkur halus, berpura-pura jika aku memang sudah tidur lelap.

Setelah aku yakin jika Juyeon sudah menjauh, aku kembali membuka mata, menajamkan telinga agar bisa menguping pembicaraan mereka. Entah kenapa aku yakin jika mereka berdua akan membicarakan hal penting

"Jadi rencana lo apa sebenernya? Lo sengaja jauhin Katarina dari gue? Lo udah janji gak bakal gangguin hubungan gue, Juyeon!"

"Gue udah bilang, bantu gue, dan gue bakal pastiin Katarina lo itu aman."

"Gue bisa lindungin dia!"

"Buktinya? Lo malah main ama cewek lain disaat tunangan lo itu ditembak orang." Yunho menggeram, seperti menahan marah.

Seketika aku bersyukur, aku tidak merasa sakit hati saat mendengar fakta ini.

"Terus, lo pikir lo lebih baik dari gue, huh? Lo lebih bajingan karena udah nabrak Katarina dan cu—"

"Shut the fuck up, sialan. Buka mulut lagi, gue pastiin lo sendiri yang kubur mayat Katarina nanti."

Suara Juyeon terdengar sangat serius, menusuk langsung kedalam pikiran. Membuat tubuhku gemetar hebat, merasakan takut yang teramat sangat. Itu artinya, jika Yunho tidak menurut, nyawaku yang menjadi taruhan?

Apa nyawaku semurah itu di mata Lee Juyeon?

Lalu siapa yang harus aku percayai sekarang?

"Sekarang fokus sama orang tua sialan itu, kalo sampe dalam sebulan ini dia gak balikin semua harta Chaeyoung, kita abisin anak kesayangannya."

"Fine, asal lo bisa tepatin janji. Setelah semuanya beres, balikin Katarina dan jangan pernah ganggu hidup kita lagi."

"Deal."

Jika aku memang Katarina, lalu kemana Chaeyoung?

Tapi jika aku ini memang Chaeyoung, kemana Katarina?

Aku bisa mengambil kesimpulan jika memang aku ini Katarina, aku pasti hanya digunakan sebagai alat untuk melindungi Chaeyoung. Jika memang aku ini Katarina, aku pasti memiliki luka tembak. Jika a—

"S-sakit!"

Aku memekik. Memegangi kepalaku yang terasa sakit sekali. Kenapa? Apa ini efek samping kecelakaan dan luka tembak yang aku alami?

Pikiranku melayang, bayangan saat aku menangis dan menampar laki-laki yang samar-samar terlihat seperti Juyeon tiba-tiba berputar. Adegan lalu berpindah, mobil  hitam melaju sangat cepat, datang menghantam tubuhku.

Tuhan, kepalaku terasa makin sakit, apa aku... akan mati?

"Juyeon? Lo gila? Lo mau apain suntikan itu?!"

"Chaeng, kamu tidur dulu sebentar, ya?" Juyeon berbisik, merengkuh tubuhku, mengabaikan Yunho yang terus menyuruhnya meletakkan kembali suntikan itu. Pandanganku semakin mengabur saja. Sepertinya, aku benar-benar akan mati.









i n c e p t i o n

INCEPTION;Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang