1. Memahat Luka

172 18 4
                                    

-Luka yang tercipta tanpa disengaja-

***

Dibiarkannya hati itu jatuh pada lubang hitam yang begitu dalam nan menakutkan. Berkelana mencari-cari kawan seirama, selaras, juga sepadan. Ia mulai mengenal perjalanan cinta yang diawali oleh sapaan membahagiakan dan berakhir dengan perpisahan yang menyakitkan.

Sesungguhnya, ia sedang memahat luka. Dilorongnya terpaut rasa yang siap berubah seiring pergantian masa. Semuanya terjadi begitu saja. Tanpa mengetahui risiko sebelumnya, ia terlanjur memutuskan untuk menjalaninya. Ingatlah kawan, kekecewaan itu buah dari harapan.

Harapan yang terlalu dalam dan tak bisa terlupakan. Ia menjelma menjadi sosok yang menyedihkan, tatkala semuanya hancur dalam satu waktu di tengah petualangan. Ia merasakan sakit yang amat dalam dan kehilangan yang menyebabkan dirinya lupa akan tujuan. Lupa akan mimpi dan angan yang selama ini ia rencanakan. Di kepalanya hanya ada: dia, dia, dan dia.

Saat seseorang itu merasa hatinya dipatahkan, maka ia mengklaim dirinya sebagai orang paling menyedihkan sedunia. Merasa kesepian dalam satu waktu. Teman-teman tidak peduli, keluarga tidak mau menanggapi, sampai-sampai hewan malam pun acuh terhadap dirinya yang kala itu sedang patah hati.

Lambat ia menyadari, paradoksal yang menampar kuat pendiriannya. Ia terlalu larut dalam kisah cinta yang tak ada gunanya, sama sekali tidak. Seketika ia ingin menyerah. Ditambah dengan arah yang salah.

Saat ini, kawannya adalah sepi. Ia merayakan kesedihan itu bersama buku-buku. Lambat ia menyadari, kalau cerita-cerita di dalamnya adalah nyata. Sampai pada satu halaman penutup: kala kau merasakan cinta, maka kau siap menggenggam luka.

Ia tertampar keras oleh kata-kata. Padahal, jauh sebelum ia terluka, kata-kata itu sudah ada. Di himpunan sajak-sajak, di kerumunan buku-buku sastra. Kelam raut wajahnya yang sayu, lingkar hitam tercetak samar di matanya yang abu. Kala itu, ia sedang merayakan kesedihan. Dipikirnya, semua asa itu usai terlaksana dan ia tak berhasil mendapatkannya.

Seperti awan yang tak kunjung digenggamnya, seperti angin yang tak kuasa dipeluknya. Kala itu, ia tak baik-baik saja. Namun, langkah yang terhenti membuatnya harus tetap berlari. Pelan, namun pasti akan sampai pada tujuan.

Lagi-lagi di kepalanya adalah luka itu. Yang ia pahat sendirian, ia rasakan sendirian. Tak ada penawar yang bisa menutupi rasa sakit itu, sedemikian ia menjalani kehidupan. Tabiat manusia. Hatinya serapuh kaca, logikanya selalu keras kepala.

Diraihnya gelas berisi teh manis, ia memandang nanar pantulan wajahnya pada air itu. Tegukan pertama, rasanya pahit, tidak ada manis-manisnya. Apa mungkin ia mati rasa? Tidak, mungkin ia lupa menambahkan gula. Tegukan demi tegukan dihabiskannya. Tepat di tegukan terakhir, ia merasakan manis yang begitu lekat. Ternyata, teh manis itu belum diaduk.

Ia meletakan gelas itu. Lambat laun ia menyadari, hidupnya adalah perihal kesedihan yang berkepanjangan dan kebahagiaan yang singgah dalam waktu sebentar. Pahatan luka itu jelas dan tak ada alibi yang bisa menampiknya.

Kendati demikian, ia harus tetap berjuang.





Jawa Barat, 01 Februari 2021

Are You Okay?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang