Mimi

67 13 32
                                    

Aku tidak yakin kapan dan di mana kali pertama berjumpa dengan Mimi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku tidak yakin kapan dan di mana kali pertama berjumpa dengan Mimi. Bertahun-tahun sudah kami lalui bersama, dari sekian banyak peristiwa kami lewati dengan suka dan duka, semua terasa samar. Entah karena banyak hal yang kulalui atau justru aku memang tidak bisa merekam kembali kisah masa lalu kami. Padahal kami hanya bersama dalam waktu yang cukup singkat dibandingkan anak-anak lain.

Segala hal yang bersangkutan dengannya, seolah memengaruhi setiap langkahku. Tak terbayang hari dilalui tanpa menyebut nama sahabatku. Semua tentangnya adalah pelengkap hidup dan anugerah terbesar yang pernah hidup berikan. Kalau mendengar namanya saja sudah membuat hati berbunga serta segelintir perasaan kasih sayang seorang sahabat, meski kami berbeda.

Aku tidak bermaksud menyebut perbedaan seperti ras. Kami memang pada permukaan adalah dua sosok yang sama walau pada dasarnya berbeda tapi saling melengkapi. Kalau Mimi sangat menyukai sastra, akulah yang melukis kisah indahnya ke dalam sebuah kertas dan menjadikannya seolah nyata. Kalau dilanda lelah atau sakit, Mimi yang menjagaku tanpa pamrih. Dia bagaikan malaikat pelindung bagiku, cermin hidupku.

Aku dilahirkan di keluarga yang sangat sederhana. Orangtuaku kerap mengeluh tentang betapa miskinnya kami. Bahkan untuk kebutuhan sehari saja terasa berat.

"Lihat pengeluaran hari ini, banyak!" Itulah kalimat andalan Ibu selama tujuh tahun merawatku. "Kalau bisa, jangan beli yang tidak penting!"

"Bagaimana? Uang kita memang segitu sejak awal," sahut Ayah.

Di usiaku yang ketujuh ini, aku tidak begitu paham mengapa mereka mengeluh. Bukankah seharusnya bersyukur masih bisa bernapas hingga sekarang?

"Kita butuh dana tambahan," ujar Ibu setengah berbisik, mengira aku sudah tidur.

"Ah, aku ingat Seth menawariku sejumlah uang kalau ..." Ayah lalu berbisik ke Ibu.

"Ide bagus!" Ibu membalas dengan bisikan meski terdengar jelas. "Besok, langsung saja buang! Jangan ada basa-basi!"

Pada malam itulah, aku tahu ini perpisahan bagi kami.

***

Kalau kuingat kembali–meski masih ragu karena bayangan itu kini samar hingga aku tidak bisa membedakan mana yang nyata atau kreasi pikiranku–kami dipertemukan di sebuah rumah mewah berlapis marmer dengan pilar kokoh mengelilingi. Rumah luas serta pagar pelindung nan tajam dan besar membuatnya terkesan bagai istana alih-alih rumah. Tidak disangka tempat ini hanya ditinggali oleh dua orang saja, begitulah kata Ayah saat membawaku ke sana dengan berjalan kaki.

"Kamu tinggallah di sini," ujar Ayah. "Nanti Ayah jemput."

Tanpa pamit, ia langsung pergi. Aku tahu itu hanya tipu daya. Ia tidak akan kembali, bahkan setelah tiga tahun lamanya. Saat mengingat kembali, tiada lagi kabar dari mereka dan apa yang terjadi. Tak ada pesan atau panggilan, mereka seolah lenyap ditelan bumi begitu aku menginjakkan kaki di sini.

Einstopia van WereldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang