Bagian Ketujuh

9K 3.3K 144
                                    

Setelah beberapa saat berada di ruang ganti, akhirnya Hendery keluar. Melihat bagaimana penampilannya saat ini, aku terdiam dengan senyum lebar. Alih-alih Arjuna, aku ingin berkata bahwa tuxedo itu lebih cocok untuk Hendery kenakan. Dia tampan sekali.

"Ini kayak gue anjir yang mau kawin sama lo." tahu-tahu dia menyeletuk dengan wajah jengkel yang lucu. Membuatku tidak bisa berhenti menertawakannya.

"Kok bisa pas gini sih? Kayaknya lo bener-bener kudu cari cewek deh, Hen. Lupain Alena, karena lo pantas dapat yang lebih baik dari dia. Gue kadang nggak ngerti sama lo, apa yang lo suka dari Alena sampai-sampai 2 tahun lo nggak bisa move on dari dia."

Sedetik kemudian aku terdiam. Bilang apa kamu barusan, An? Aku sampai teringat lagi dengan adegan dimana Hendery berciuman dengan gadis itu di belakang gedung perpustakaan. Tahu bagaimana rasanya terbakar api cemburu tapi seketika sadar bahwa kita tidak lebih dari sekadar teman? Haha, sakit.

Setelah menghela napas panjang karena ingatan itu, aku mendongak. Hanya untuk menemukan Hendery begitu lekat menatapku.

"Hen?" panggilku, dan dia langsung mengerjap kebingungan.

"Hah?"

"Kok lo bengong? Pasti kepikiran Alena kan. Dia lagi ngapain sekarang? Udah makan atau belum?"

ADUH ANDARAAAA, KAMU BICARA APA LAGI SIH?! BISA TIDAK UNTUK BERHENTI MEMBICARAKAN ALENA?!! astaga.

"Gue cuma kepikiran aja..." aku terhenyak untuk beberapa saat. Rasanya ada sebuah aliran hangat saat Hendery menggenggam kedua tanganku. Rasanya sangat nyaman, sampai aku lupa bahwa status ini tidak bisa lebih seperti apa yang aku harapkan.

"Setelah ini semuanya nggak akan pernah sama, An. Kita akan berjalan di jalan kita masing-masing. Lo dengan kehidupan rumah tangga lo, sementara gue dengan pencarian gue yang entah sampai kapan bakal ketemu ujungnya. Kadang, kita akan merasa seperti dua orang asing hanya karena kita jarang ketemu. Tapi gue berharap lo tahu, An. Selamanya, lo akan selalu menjadi bagian terbaik dari hidup gue. Sahabat yang nggak akan pernah gue temukan dimanapun. Jadi kapan pun, An, ketika lo merasa hidup lo berat dan lo terlalu takut buat cerita ke orang lain, datang ke gue ya, An. Lo boleh sibuk dengan segala rutinitas lo yang baru, tapi gue nggak akan pernah pergi. Gue akan tetap ditempat dimana lo akan selalu bisa menemukan gue."

Tahu, apa yang membuat aku lemah saat ini? Hendery mengikis jarak di antara kami. Kemudian dengan tatapan yang begitu lembut, ia mengusap suraiku dengan gerak yang menenangkan. Ucapannya benar-benar membuat perasaanku semakin sesak tidak karuan. Seolah-olah sedang memperingatkan bahwa setelah ini, akan ada jarak yang sangat lebar di antara kami.

Hen, apa sekarang kamu sedang membuat pembatas di antara kita?

"Lo akan selalu jadi sahabat gue kan, Hen?" aku hanya ingin memastikan bahwa dia tidak akan pernah peegi dari hidupku. Jujur saja saat ini aku sedang ketakutan.

Dia mengangguk. "Iya, An. Selamanya, gue akan tetap jadi sahabat lo."

9 tahun mencintai Hendery adalah saat-saat paling bahagia meskipun aku menyimpannya dalam keterdiaman panjang. Tapi bagiku, diberi kesempatan untuk bisa mencintainya sudah lebih dari cukup. Meski di titik ini, semuanya berlalu begitu cepat tanpa sempat bisa aku cegah. 9 tahun yang awalnya lama tiba-tiba saja berubah begitu singkat.

Setelah ini, habis sudah kesempatanku untuk mencintainya. Karena besok, aku akan berusaha keras mencintai Arjuna.

Maafkan aku, Jun. Perasaan ini jelas diluar kendaliku. Maafkan aku juga, Hen. Karena tidak semudah bagaimana aku jatuh cinta padamu, ternyata mencoba menghapusnya begitu sulit.

"Makasih ya, An. Makasih karena sudah terlahir dan bersedia jadi teman terbaik gue. Makasih untuk 10 tahun yang kita habiskan sama-sama. Gue tahu, apa yang udah kita lewati selama ini nggak mudah. Tapi dengan adanya lo di hidup gue, gue merasa lebih baik. Di saat hidup gue rasanya sulit, gue selalu bersyukur karena gue selalu bisa menemukan lo. Makasih, An. Dan maaf, karena mungkin... gue masih belum cukup untuk menjadi bagian paling baik yang pernah lo punya. Makasih untuk selalu temenin gue ngerjain tugas sampai malam di Starbuck TB Simatupang sampai akhirnya kita disuruh pulang karena mereka mau tutup. Makasih untuk bubur yang selalu lo bikinin setiap kali gue sakit. Untuk apapun itu, An, terima kasih."

Sesak dalam dadaku tiba-tiba berubah semakin berat. Aku kehilangan kendali hingga perlahan-lahan pandanganku mengabur. Hendery pasti kebingungan saat aku menunduk di hadapannya. Semakin aku mencoba melepaskan rasa sakit ini, semakin kuat aku cengkram bagian depan tuxedonya.

Kenapa mencintai kamu harus berakhir semenyakitkan ini, Hen? Kita udah lama kenal, kita udah lama jalani semuanya sama-sama. Susah, senang kita selalu berdua. Kenapa kita nggak berakhir dengan jalan yang sama?

"An.." dia menyebut namaku dengan lirih.

Akhirnya aku biarkan segalanya tumpah ruah. Aku menangis semakin kencang. Dan lebih kencang lagi saat sepasang lengannya merengkuh tubuhku. Mendekapku dalam dada yang hangat dan pundak yang begitu kokoh. Pelukan ini adalah hal yang paling aku sukai dari dia. Karena setiap aku merasakan pelukan Hendery yang tulus, aku merasa damai. Aku selalu merasa bahwa aku telah pulang ke rumah yang membuatku nyaman.

Tapi kini aku mengerti, ternyata kamu bukan rumahku, Hen. Tidak peduli seberapa keras aku berharap, kamu bukanlah ujung dari perjalananku.

-

Elegi Patah Hati✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang