BAB 8 - THE GIFT

38 1 0
                                    


"Yenikapi" suara pemberitahuan stasiun berikutnya dikumandangkan dari MRT. Menandakan kereta yang aku tumpangi ini akan segera berhenti.
Mas Andi saat ini sedang melakukan hal yang tidak pernah terbayangkan olehku sebelumnya. Dengan santainya ia mengalungkan syal hitamnya di leher ku. Aku yang merasa tidak nyaman ini bingung ingin bertindak karena kondisi kereta saat ini sedang penuh. Sesaat setelah pengalungan syal hitamnya selesai, kereta berhenti dan membukakan pintu otomatisnya. Orang yang  pertama kali kulihat dihadapanku adalah.. Mas Hafidz.
Aku kini sadar segala sesuatu tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semesta sudah digariskan takdirnya oleh Sang Pencipta. Begitupula pertemuan antar setiap makhluknya sudah tersusun dengan apik skenarionya. Bahkan, daun yang jatuh dari pohonnya sudah ditentukan waktunya. Kapan, dimana dan sampai kapan daun itu bertahan. Maka, akan sangat mudah bagi Tuhan untuk berkehendak mengatakan “kun” , dan hal yang tidak terduga-duga akan terjadi.
Dan disinilah aku. Berdiri diantara kedua lelaki yang baru aku kenal beberapa hari saja di negeri dua benua ini. Di depan ku ada Mas Hafidz dan di sebelahku ada Mas Andi. Entah mengapa aura yang aku rasakan berbeda. Aku dapati wajah Mas Hafidz yang mengeras. Air mukanya tampak masam dan auranya jelas menggambarkan bahwa dirinya sedang emosi. Aku tidak mengerti. Dengan siapakah dirinya merasa kesal?
Aku menoleh kesebelahku, dan kudapatkan Mas Andi hanya menatap Mas Hafidz, seolah-olah pandangannya seperti tidak peduli dengan kemunculan Mas Hafidz ini.
Sepersekian detik kemudian, akhirnya aku memutuskan untuk menyapa Mas Hafidz.
“Mas Hafidz, wah ga nyangka ya kita bisa ketemu disini” jawab ku kaku menyapanya.
Mas Hafidz hanya tersenyum dan memandangiku. Aku tidak mengerti apa yang terjadi disini. Apakah dia marah padaku ? atau marah dengan Mas Andi?
Aku lihat sedari tadi tatapannya fokus lurus menuju Mas Andi. Dan dengan santainya Mas Andi menyapa dirinya.
“Hai fidz, kebetulan banget ya ketemu disini. Aku lagi ada urusan sama Adinda, kamu mau kemana?”.
“Aku mau makan siang. Maaf aku buru-buru” jawab Mas Hafidz dingin. Ia langsung berjalan masuk ke dalam kereta melewati kami. Aku hanya diam tidak menyangka dirinya tidak peduli pada diriku seperti sebelumnya. Aku dan Mas Andi keluar dari kereta dan berjalan membelakangi kereta yang akan ditumpangi oleh Mas Hafidz.
Aku tidak mengerti apa yang salah disini. Dan aku butuh penjelasan ada apa dengannya.
Aku menoleh ke arah mas Andi seraya menunjukkan wajah meminta penjelasan padanya. Aku harap dirinya mengerti apa yang ku maksudkan. Sepertinya, Mas Andi pun mengerti maksudku dan dia berkata.
“Kamu bingung ya kenapa si Hafidz wajahnya kesel kayak gitu?”
“Iya mas. Sebenarnya ada apa?”
“Sebenarnya aku disini juga salah din” jawabnya sambil menundukkan pandangan.
Aku diam dan menunggu kalimat selanjutnya. Mas Andi hanya melirikku sesaat.
“Aku memang mengenal sifat dan perilaku Hafidz din. Dia paling ga suka kalau lihat ada orang yang berkhalwat atau berdua-duaan dengan yang bukan mahram, dia memang sekaku itu. Tapi aku paham niat dia hanya ingin menjaga dari hal yang tidak dibenarkan dalam agama.”
Aku diam termenung. Aku ingin membalas kalimat yang diucapkan oleh Mas Andi tapi sepertinya tanpa sadar aku juga melakukan kesalahan karena meminta tolong pada Mas Andi tanpa berpikir panjang.
“Apa.. kita batalkan saja mas pencarian jam tangannya?” jawab ku merasa malu mengingat apa yang kulakukan saat ini dengan Mas Andi.
“Memang benar kita tidak baik jika pergi berdua saja. Tapi kondisi kamu saat ini tidak ada orang yang bisa membantu mencarikan jam tangan kamu. Dan ini masih siang, kita masih ada waktu untuk mencari jam tangan sebelum waktu pengumuman lomba kamu. Bahkan besok kamu juga sudah pulang din.”
Aku diam menimbang-nimbang kalimat Mas Andi. Jika aku tidak segera memutuskan waktu akan cepat berlalu dan belum kulakukan pencarian jam tangan ini. Akupun mengiyakan untuk segera mencari jam tanganku.

Aku dan Mas Andi kembali menyusuri jalan setapak melewati pasar-pasar tempat kemarin kami mencari oleh-oleh di Grand Baazar. Aku berjalan terengah-engah karena sudah mulai menanjak menuju kebagian atas pasar. Kami berdua sepakat untuk menyusuri setiap toko-toko yang pernah aku, mas hafidz dan Mas Sam pernah kunjungi. Setiap aku dan Mas Andi memasuki toko, Mas Andi membantuku bertanya dengan Bahasa Turki pada setiap penjual apakah pernah melihat jam tangan yang berwarna keemasan dan jatuh kemarin malam. Tapi tanpa diartikan pun, aku bisa mengerti jawaban mereka dari ekspresinya saja. Mereka tidak tahu. Atau. Mereka tidak melihatnya.
Rasanya seperti ingin menyerah saja. Tapi, setiap ku mengingat jam tangan itu adalah pemberian almarhum nenekku dan beliau pernah berpesan ada rahasia di dalam jam itu yang bisa aku temukan, tentu membuat aku ingin selalu menjaga jam tanganku agar selalu baik-baik saja. Karena sampai saat ini pun, aku tidak menemukan apa rahasia dibalik jam tanganku itu. Nenekku berpesan bahwa, di dalam jam tanganku itu ada pesan yang hanya bisa di buka jika aku memahami makna apa itu cinta yang suci menurut Tuhan. Lucu bukan ? tetapi itulah teka-teki yang ditinggalkan nenekku padaku dan harus kucoba pecahkan. Nenekku suka bermain tebak-tebakan denganku sejak ku kecil karena beliau bilang itu mengasah rasa keinginan tahuku. Baru 1 tahun jam tangan itu dengan ku, tapi aku tidak bisa menjaganya dengan baik. Apa mungkin ku ikhlaskan saja jamnya?
“Mas.” Panggilku pada mas Andi yang baru saja keluar dari toko kelontong.
“Iya din?”.
“Gimana.. kalau kita sudahi aja pencariannya? Sudah mau sore.” Jawabku lemas.
Mas Andi diam. Mungkin dirinya berusaha berpikir solusi terbaik untukku.
“Yasudah, setelah pencarian terakhir ditempat kamu kemarin singgah di Masjid Al-Fatih ya. Kamu jangan sedih ya. Setidaknya kita udah usahakan mencari jamnya” jawabnya tersenyum sembari dirinya melanjutkan langkahnya.
Aku tatapi tubuh Mas Andi dari belakang. Baru kusadari, dirinya sedari tadi mencari jam ku tidak ada keluh dari mulutnya. Dirinya terus berusaha membantuku, tanpa memikirkan rasa penat yang ada pada dirinya. Siapa sih yang tidak lelah setelah menemani banyak orang semalaman suntuk dan besoknya lagi saat dirinya sedang istirahat sejenak paginya, sudah ku hubungi untuk menemaniku mencari jam tangan? . Pasti dia lelah. Tapi tidak dia ungkapkan. Dia.. Tampak tulus menolongku. Dan aku terenyuh karena itu.
Lesuku menjadi senyum saat melihat dirinya tanpa lelah berjalan didepanku. Aku susul langkahku agar bisa menyamai Mas Andi dan mulai mengajaknya ngobrol lagi.
“Mas Andi, aku mau nanya dong.”
“Tanya apa din?”
“Menurut mas andi, aku sama Syifa bisa dapat juara gak ya? Hehe”
“Hemm.. tisu kentang yaa hemm . haha kamu anak kedokteran tapi invention kamu unik banget tau”
“Haha iya kan mas?” seru ku senang dengan respon Mas Andi yang sumringah.
“Iya Din. Menurutku penemuan kamu berdua itu layak di apresiasi. Inovasi itu bisa masuk kriteria juara entah nanti dapet gold, silver atau bronze medal syaratnya tuh, apakah inovasi kamu itu bisa bermanfaat untuk orang banyak, dua keaslian inovasi kamu dan ketiga, kemampuan alat inovasi kamu dapat di aplikasikan secara nyata. Dan aku lihat tisu kentang mu udah layak banget idenya dan bisa bermanfaat buat orang banyak, tapi untuk hasil produk kamu belum teraplikatif banget din karena kamu kemarin nunjukkinnya bukan dalam bentuk tisu yang banyak, masih dalam lembaran”.
“Hemm gitu ya mas, ga mungkin ya kali ya dapet medali?”.
“Ga ada yang tau din, tapi kalau dari perkiraan ku bisa aja dapat silver atau bronze medal din”
“Really??”
“Haha ya really, kamu udah tahajud kan kemarin2 haha”
“Hehe alhamdulillah udah, yang penting udah ikhtiar ga si mas?”
“Iya din, seng penting usaha sek! Haha”
Aku tertawa dan akhirnya tanpa sadar kami sudah berada di depan pintu masuk Masjid Al Fatih.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 30, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta 2 BenuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang