Epistolary Ignis - @Mocynna_

8 1 0
                                    

Cerita atas nama Salwa, didedikasikan untuk hunterspin88.

***

Sore itu aku sedang mengerjakan tugas di depan rumah. Suasana dingin kota bandung terasa kontras dengan kepalaku yang sebentar lagi akan mengeluarkan asap.
Tidak kusangka Alina datang dengan menenteng sebuah benda persegi panjang yang kuyakini itu adalah laptop.

Langkahnya terasa ringan seakan tidak ada beban, apa mungkin ia sudah menyelesaikan semua tugasnya dan datang ke sini untuk mengangguku? Kutepis pikiran itu jauh-jauh.

"Rika, kamu ada waktu sebentar saja?" Aku melihat Alina yang berseri-seri. Apa ia tidak melihat kekusutan wajahku ini?! Batinku ingin berteriak sekencang mungkin agar Alina mengerti betapa ingin istirahatnya aku.

Tapi, melihat Alina yang benar-benar membutuhkan bantuanku, aku jadi merasa egois bila menolaknya. Sebentar saja mungkim tidak apa.

"Memang tugasmu sudah selesai semua, Lin?" Ia mengangguk.

"Ah, begini saja. Aku akan membantumu tapi bayarannya kau juga harus membantuku menyelesaikan tugas ini, bagaimana?" Aku mengulurkan tangan untuk menyelesaikan kesepakatan ini. Tanpa pikir panjang, Alina menyambut uluran tanganku dan mengatakan deal.

Setelah kata itu terucap, aku memasukan kembali semua tugasku ke dalam tas dan menyimpannya di ruang tamu. Aku langsung mengambil sepatu dan mengambil tas, tidak pamit karena kebetulan orang tuaku sedang tidak di rumah.

"Ayo, berangkat!" Alina mengangguk dan menyusulku pergi.

***

Akhirnya dengan kemauan Alina dan sedikit berdebat perihal tempat. Kita berdua memutuskan untuk bernaung di Sydwic. Sydwic adalah tempat makan yang berada di cilaki dan memiliki tema tumbuhan untuk tempatnya. Alunan musik soft itu masuk mengalun di telinga ketika aku dan Alina masuk. Untungnya tempat itu tidak terlalu ramai.

Kami memutuskan untuk duduk di pinggir jendela. Tanaman yang sengaja disusun rapi membuat nilai tambah untuk tempat ini. Belum puas aku mengamati keindahan cafe ini. Alina sudah menyodorkan laptopnya.

"Kamu 'kan udah menulis cukup lama. Jadi, boleh enggak aku minta saran dari kamu Rencananya ini akan aku bawa ke penerbit." Ternyata ini toh, aku memutar laptop itu agar menghadapku.

Selagi menunggu pesanan kami, aku membaca naskahnya dengan teliti. Aku sedikit kagum dengan Alina, padahal ia menulis baru-baru ini tapi tulisannya sudah terbilang cukup rapi. Ia juga sudah tahu kaidah kepenulisan yang benar bagaimana meski ada beberapa kesalahan.

"Rika, aku ingin bertanya. Menurutmu apa aku harus ikut kelas penulis seperti kamu? Mungkin dengan begitu, tulisanku akan semakin lancar." Tatapanku tetap fokus pada naskah sementara kepalaku mengangguk.

"Iya, coba saja." Jawabku tanpa menolehkan kepala bersamaan dengan pesanan kami yang datang.

"Ah, kalo tidak salah kamu mengikuti kelas HUNTER 'kan? Salah satu komunitas penulis yang crewnya sudah menerbitkan sebuah buku yang sedang viral ini? Siapa nama penulisnya, ya?" Alina menimang. Sementara tanganku sibuk menggulir naskah.

"MosaicRile dengan buku Love Cruise dan Heartbeat: The Last Heir. Itu salah satu crew favoritku. Kenapa memangnya? Kamu mau ikut kelas HUNTER?" Ia sedikit mengangguk.

"Sebenarnya memang iya, sih. Oh ya! Bagaimana perasaan kamu ketika mengikuti HUNTER GAMES? Kamu pernah cerita padaku bagaimana susahnya menulis cerita ketika tidak ada ide. Coba ceritakan." Aku menghela napas, akhirnya aku melihat Alin.

"Hmm, begini. Perasaanku ketika mengikuti HUNTER GAMES itu sangat sulit dijelaskan. Kadang kala aku merasa tugasku dengan HUNTER sedikit agak bertubrukan, untungnya ada salah satu rekan yang selalu membantuku. Tapi aku akan ceritakan."

"Dulu, aku pernah menjadi wakil ketua di suatu distrik. Meski wakil tapi aku merasa memang itu tugas yang sangat berat, aku juga sering kali insecure ketika melihat teman satu distrikku menulis cerita untuk HUNTER GAMES. Aku memang sudah beberapa kali membuat cerita kolaborasi. Tapi entah mengapa saat itu aku seperti kehilangan semua semangatku."

"Karena aku tidak kuat menjadi wakil akhirnya ketika perombakan dimulai. Aku memilih seseorang yang kurasa sanggup untuk itu. Saat itu aku harus membuat cerita kolaborasi berbau thriller. Bayangkan saja, aku yang tidak pernah membaca atau menulis cerita berbau teka-teki. diharuskan menulis cerita itu. Kamu bisa lihat di lapakku. Judulnya Labirin Kematian."

"Awalnya aku memang merasa tidak sanggup untuk menyelesaikan cerita itu, tapi ketua distrik dan rekan-rekan selalu membantu memangkitkan semangatku kembali hingga akhirnya aku berhasil menyelesaikannya."

"Bagaimana dengan para crewnya? Aku sangat tertarik dengan MosaicRile."

"Semuanya aku suka, karena mereka punya porsinya masing-masing. Baik hati dan ramah merupakan andalan crew HUNTER. Bahkan ketika aku bertanya terus-menerus mereka tetap sabar menjawab. Intinya mereka semua adalah crew terhebat selama aku mengikuti berbagai kelas kepenulisan. Kamu harus ikut tahun depan, Alina."

"Lalu, bagaimana dengan kaidah kepenulisanmu setelah mengikuti kelas itu? Apakah ada kemajuan?" Aku mengangguk, menyesap sebuah susu yang mungkin sudah dingin.

"Ada, aku merasa lebih percaya diri ketika ingin menulis, banyak yang aku dapatkan dari sana. Termasuk bagaimana caranya agar cerita itu menarik dan diminati pembaca. Aku merasa tanda baca yang sering kali aku gunakan ketika menulis cerita sudah jauh lebih baik ketimbang dulu."

Alina memakan kentangnya, sedangkan aku hanya memilih minuman untuk dipesan. Jari Alina mengetuk di meja berusaha berpikir untuk memberiku banyak pertanyaan. "Sudah, deh. Ada pesan enggak yang ingin kamu sampaikan untuk HUNTER?" Aku mengangguk lagi, kusingkirkan kembali laptop Alina.

"Tentu, aku ingin berterima kasih untuk semu crew yang mengizinkan aku bergabung di HUNTER. Tetap pertahankan apa yang kalian ajarkan pada aku termasuk semua murid HUNTER. Sukses terus, ya! Aku cinta kalian, Crew HUNTER ZONE. Saranghae, ehe."

Akhirnya, aku kembali membaca naskah yang tidak ada habisnya oleh Alina. Aku sedikit merasa Insecure melihat tulisannya. Jujur saja, aku belum serapih itu untuk ukuran seseorang yang sudah cukup lama bergelut di dunia kepenulisan. Meski enggak beberapa puluh tahun.
Aku melihat Alina yang sedang memakan kentangnya, aku sedikit bingung ketika ia memberi pertanyaan seputar HUNTER GAMES itu. Padahal aku hanya menceritakan sedikit tentang HUNTER GAMES padanya.

"Kamu tertarik dengan HUNTER, Alina?" Alina tersedak minumannya, aku mengerutkan kening ketika menangkap kegugupan Alina.

"Iya, aku sebenarnya tertarik untuk menjadi salah satu crew mereka. Tapi, aku sadar aku belum memenuhi kriterianya." Aku terkejut, bahkan Alina saja ingin menjadi salah satu crew ketimbang menjadi muridnya.
"Pasti bisa kalo kamku berusaha, Lin. Aku doakan semoga kamu bisa menjadi salah satu dari mereka." Aku tersenyum manis. Ia mengangguk.

"Ah, bagaimana dengan cerita yang kutulis?"

"Alurnya sudah bagus, tulisannya juga sudah rapi, Lin. Tapi karakter utamanya kurang memuaskan untuk seseorang yang sedang kasmaran. Mungkin kamu bisa menambahkan jantung berdegup dengan kecang, pipi memerah bak kepiting yang sedang direbus atau hal lainnya yang menonjol." Ia mengangguk mendengar masukanku.

"Selebihnya sudah bagus, kok." Aku menyodorkan laptopnya kembali. Ia tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
"Sudah hampir malam, aku harus menyelesaikan tugas. Ayo pulang, Alina." Ia mengangguk dan memakan kentang terakhirnya. Seperti biasa ia selalu menggandengku seakan aku ini adalah pacarnya. Sudah sejak sekolah menengah pertama ia melakukan ini padaku.

"Baiklah, ayo. Aku juga sudah berjanji untuk membantumu." Aku tersenyum dan menaiki mobil. Untungnya supir Alina menjemput kami.

Alina memang berasal dari keluarga kaya tidak seperti aku yang bisa dibilang sederhana. Tapi, kami selalu berteman baik sejak SMP.

Mocynna_

IGNIS_HUNTER GAMES EPISTOLARY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang