Epistolary Ignis - @Putrinwd

7 1 0
                                    

Cerita atas nama Ayang, didedikasikan untuk hunterspin88.

***

(Bukan) Pelacur Kecil

✽✽✽
           
Masih membekas dalam ingatan sesuatu yang terjadi tujuh belas tahun silam. Saat itu, Kak Kinan jatuh sakit. Wajahnya yang pucat dan lesu, bagaimana tubuh lemah itu terkapar di brankar rumah sakit, serta rambutnya yang digundul terus terngiang dalam memori. Singkat kata, dia akan kehilangan nyawa bila tidak diberi pertolongan segera.

Ayah yang barusan di-PHK tidak tahu harus ke mana mencari biaya puluhan juta rupiah untuk menyambung nyawa anak kesayangannya, apalagi Ibu yang tidak kerja. Kak Kinan memang anak kesayangan, aku tidak berlebihan soal itu. Aku dijadikan anak bayang-bayang—atau seperti itulah yang kurasakan.

Namun, tak disangka justru saat itulah aku merasakan perubahan sikap kedua orang tuaku. Kasih sayang yang selama ini tercurah pada Kak Kinan dilimpahkan padaku. Aku yang masih lugu—meski umurku sudah menginjak lima belas tahun saat itu—senangnya bukan kepalang. Dibelikan baju baru dan ini itu. Sempat terpikir dari mana mereka dapat uang di tengah kesulitan, tapi akhirnya tak mau ambil pusing. Toh, jarang-jarang diperlakukan begini.

Selang beberapa hari setelahnya, seorang laki-laki tiga puluh tahunan berstelan jas datang ke rumah. Kupikir aku akan ke pesta besar bersama lelaki itu, sebab Ibu mendandani serta memberiku baju terbaik. Namun, kata Ibu, kami hanya sebatas menemui seseorang yang penting, bukan ke pesta besar. Katanya lagi, pertemuan itu akan menentukan nasib keberuntunganku, maka harus berpenampilan sebagusnya.

Sedikit gamang sebenarnya sebab dia masih terasa asing, tapi Ayah meyakinkan jika dia orang baik. Sekali lagi, aku menurut saja tanpa berpikir panjang. Mungkin aku harus mengutuk diri sendiri sebab aku terlalu lugu saat itu.

"Segini dulu," katanya sambil menyerahkan amplop cokelat panjang yang tampak tebal ke Ibu. "Selebihnya nanti saya setor lagi jika semua berjalan dengan baik."

"Baik," balas Ibu dengan senyum, lalu tatapannya beralih padaku yang duduk di sampingnya, "Kiara anak yang baik, pasti akan berhasil."

Setelah transaksi berlangsung, aku dituntun memasuki mobil sedan milik lelaki itu. Kami duduk di belakang, sementara sopir mulai melajukan mobilnya.

Aku duduk tak tenang. Rasanya risi saat dia menumpukan telapak tangannya di pahaku. Jika aku punya keberanian besar saat itu, mungkin tangannya akan terkilir seketika. Sayangnya, aku hanya mampu memberi tatapan tak suka dan dia langsung melepas tangannya. Ketika terbayang kembali kekehannya, ingin rasanya merobek bibir gelap itu. Dan kusadari, Ayah telah berbohong soal 'dia orang baik'!
           
Masih membekas dalam ingatan sesuatu yang terjadi tujuh belas tahun silam. Saat itu, Kak Kinan jatuh sakit. Wajahnya yang pucat dan lesu, bagaimana tubuh lemah itu terkapar di brankar rumah sakit, serta rambutnya yang digundul terus terngiang dalam memori. Singkat kata, dia akan kehilangan nyawa bila tidak diberi pertolongan segera.

Ayah yang barusan di-PHK tidak tahu harus ke mana mencari biaya puluhan juta rupiah untuk menyambung nyawa anak kesayangannya, apalagi Ibu yang tidak bekerja. Kak Kinan memang anak kesayangan, aku tidak berlebihan soal itu. Aku dijadikan anak bayang-bayang—atau seperti itulah yang kurasakan.

Namun, tak disangka justru saat itulah aku merasakan perubahan sikap kedua orang tuaku. Kasih sayang yang selama ini tercurah pada Kak Kinan dilimpahkan padaku. Aku yang masih lugu—meski umurku sudah menginjak lima belas tahun saat itu—senangnya bukan kepalang. Dibelikan baju baru serta ini dan itu. Sempat terpikir dari mana mereka dapat uang di tengah kesulitan, tapi akhirnya tak mau ambil pusing. Toh, jarang-jarang diperlakukan begini.

IGNIS_HUNTER GAMES EPISTOLARY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang