©Sugarill
Aku tersadar saat bau kayu putih yang menyengat masuk ke dalam paru-paruku. Seragamku masih basah dan tubuhku mengigil.
"Jeno, kamu gapapa? Ada yang sakit?"
Segera aku mendudukan tubuhku yang semula ada di pelukan gadis itu, disusul ringisan kecil yang keluar dari mulutku.
"Maaf aku nggak bawa kamu kemana-mana, aku gakuat bawa kamu. Tadi kamu menggigil, makanya tadi aku peluk," ucapnya dengan nada takut. Mungkin ia khawatir jika aku tak suka dipeluk olehnya sembarangan.
"Nggak papa, aku pulang dulu."
Sesaat setelah mengucapkan kalimat itu tubuhku limbung, beruntung ada Rania yang sigap menopang tubuhku. Dapat kurasakan suhu tubuhku yang meningkat disertai pusing yang hebat, bahkan hanya berdiri diam saja rasanya seperti ingin pingsan.
"Pegangan, Jen. Kamu sakit," ucapnya sembari mengalungkan lenganku ke bahunya.
"Aku nggak lemah."
"Kamu sakit. Aku nggak pernah bilang kamu lemah. Bedain orang sakit sama lemah," gadis itu menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan perkataannya. "Kamu nggak mau kelihatan lemah di hadapanku?"
Aku hanya diam mendengar ucapannya. Antara kalimat yang diucapkannya itu benar, atau sedang tidak memiliki tenaga untuk membalas.
Gadis itu memutar bola mata malas karena tak kunjung mendapatkan jawaban dariku.
"Kamu pulang naik bis aja ya, bareng aku. Tenang aja, aku yang bayarin. Pokoknya hari ini kamu pulang sama aku."
Aku membelalakan mataku, tak setuju dengan apa yang barusan gadis itu ucapkan. Baru saja hendak melayangkan protes, gadis itu menutup mulutku dengan jari telunjuknya.
"Aku nggak mau masuk koran gara-gara ninggalin orang sakit sendirian. Kalo pingsan lagi gimana? Aku nanti yang kena."
Jantungku bekerja dua kali lipat lebih cepat dari biasanya. Entah karena sedang sakit, atau karena gadis ini. Tetapi aku bersyukur, setidaknya aku sedikit terbantu karena Rania ada di sampingku.
----------------------- Solitude -----------------------
"Bunda... aku mau jadi dokter... supaya kalo aku sakit bisa nyembuhin diri sendiri... semuanya nggak kerepotan ngurus aku lagi..."
Gadis itu mengusap kepalaku yang tersandar di bahunya setelah mendengar racauanku. Kami masih dalam perjalanan, tetapi karena kepalaku pusing akhirnya aku mengistirahatkan tubuhku sebentar.
Dia memelukku, mengusap kepalaku, dan menyeka keringatku. Dia juga membisikan kata-kata penenang untukku selama perjalanan pulang.
"Jeno bangun, udah mau sampai," ujarnya sambil menggoyang pelan tubuhku.
Setelah membayar ongkosnya, dia langsung menuntunku berdiri dan keluar dari bus yang lumayan sepi itu. Pandanganku bertemu dengan Kak Jaehyun yang berjalan mendekat ke arahku sambil membawa jaket tebalnya.
"Aduh Jeno, kok bisa sampe gini sih? Makasih ya dek udah kasih tau keadaan Jeno tadi."
Aku hanya diam mendengarkan percakapan mereka. Dari yang aku dengar, saat di bus Kak Jaehyun menelponku dan Rania lah yang menjawabnya. Berakhirlah Kak Jaehyun yang menjemputku di halte dengan rasa khawatir menyelimuti pikirannya.
Kami menunggu Rania hingga taksi online menjemputnya. Setelah memastikan Raina telah masuk ke dalam mobil, Kak Jaehyun merapatkan jaketku dan memasangkan helm ke kepalaku.
"Dek, pegangan. Jangan tidur di motor ya, tahan."
Aku mengangguk sebagai jawaban, lalu segera naik ke jok belakang motornya. Kak Jaehyun menarik tanganku agar aku memeluknya, ia memegang kedua tanganku yang melingkar di perutnya selama perjalanan agar aku tidak terjatuh.
"Dek, jangan tidur. Bentar lagi sampai kok, tahan dek."
----------------------- Solitude -----------------------
"Habis darimana kamu sampe kakakmu repot-repot jemput kamu hah? Main sampe malem, ngerepotin aja sukanya."
Kak Jaehyun mendekapku sangat erat, seolah-olah aku ini barang berharga yang harus ia lindungi.
"Jeno lagi sakit, Yah. Dia nggak main kemana-mana," ucapnya dengan hati-hati, berusaha tak membuat emosi ayah memuncak.
"Anak kayak gitu jangan dimanjain terus. Dikasih hati malah minta jantung. Udah berasa raja apa-apa dilayanin," ujarnya sebelum masuk ke kamarnya dengan raut muka kesal. Di depan Kak Jaehyun ayah tak berani menyakiti fisikku, tapi dia menyakiti mentalku dengan kata-katanya.
Kak Jaehyun tak terlalu mempedulikan perkataan ayah. Segera ia membawaku kembali ke kamar, mengganti bajuku, dan merapatkan selimutku.
"Dek, makan dulu ya? Biar bisa minum obat," ujarnya pelan. Namun sayang, hal itu tidak bisa dilakukan karena aku sudah terlebih dahulu terjun ke alam mimpi.
To Be Continue...
.
.Halo Reader, gimana kabarnya? Maaf baru bisa menyapa.
Aku beneran nggak nyangka ceritaku ini bakal rame banget, banyak yang nunggu tapi otakku malah buntu gini hadeh. Maaf ya temen-temen t____t
Oh iya, aku juga berniat nge-pending cerita ini dulu karena aku udah lupa alur ceritanya. Gimana, pada setuju nggak?
Tapi sebagai gantinya aku bakalan up cerita baru kok, genrenya masih sama karena aku suka nyiksa orang hehehe. Tapi gaya penulisanku udah agak beda karena aku selama ini udah mulai belajar cara nulis yang baik dan benar. Di part ini juga gaya nulisku udah keliatan beda nggak sih?
Kalo iya kalian setuju, boleh komen pemainnya kira-kira siapa yang cocok ya. Sama enaknya pakai nama asli atau nama buatan? Boleh kok keluarin pendapatnya!! <3
Semoga kalian setuju sama yang aku saranin ya, aku mau langsung hide cerita ini takut banyak yang protes soalnya 😢💔
Itu dulu spika-spiki dari aku, maaf membuat kalian menunggu 🥺🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
SOLITUDE - Lee jeno
Любовные романы❝ Jen, kamu nggak papa dibenci terus sama mereka? ❞ ❝ Kita harus belajar dari dibenci lebih dulu untuk paham arti dari kasih sayang dan kepeduli...