Berdamai dan Memaafkan

15 2 0
                                    

From throwing clothes across the floor
To teeth and claws and slamming doors at you
If this is all we're living for
Why are we doing it, doing it, doing it anymore?

"Balik ke meja lo, Bad. Gue mau ngomong sama Jeffrey dulu." Gue memutar kursi gue kearah jendela kembali, membawa jari telunjuk gue ke bibir dan menggigitnya kencang.

Ini kenapa keadaan tidak berpihak ke gue? Sialan, bisa-bisanya Jeffrey menerima project Naya. Tidak pernah sekalipun terlintas diotak gue adanya kejadian kaya gini. Gue membalikkan kursi gue kearah Jeffrey yang mulai gelisah, gue menatap netranya tajam dan menggertak gigi gue keras.

"Lo kenapa gak confirm dulu soal proyek ini?"

Jeffrey menarik kursinya mendekat kearah gue, memantapkan duduknya dan tersenyum polos menatap gue.

"Lo biasanya kalau gue confirm proyek selalu iya doang, gue pikir yaudahlah accept aja. Keuntungannya juga besar, sekalian ngajak anak-anak liburan ke Bali, Bim."

"Ya setidaknya lo ngomong dulu sama gue, lo gak mikir sih. Seenaknya lo nerima proyek tanpa confirm gue. Ini yang jalanin bukan lo sendiri ya, gue juga ada andil disini. Jangan semau lo dong." Emosi gue memuncak dan membanting map kehadapan Jeffrey kesal.

"Kenapa lo? Karena Mbak Naya mantan lo, jadi lo gak mau? Be professional, Bim. Lo mau ngasih gaji anak-anak apa? Duit monopoli? Gue ngambil proyek juga ada pertimbangan kali, Bim. Gue ambil karena ini menguntungkan kita, calon suami Mbak Naya punya relasi kuat buat bikin usaha kita maju."

"Gak ada urusan sama Naya, gue cuman gak suka tindakan lo seakan-akan lo jalanin usaha kita cuman sendiri. Kalo emang lo mau gitu, gue quit."

"Baperan terus lo kaya bocah, udah fix lo masih belum move on dari Mbak Naya mah ini. Nih, gue jelasin ya Abimana terhormat. Dia bayarnya lumayan, relasi calonnya juga oke terus alasan gue nolak proyek ini apa? Jangan libatin perasaan pribadi lo di kerjaan dong, Bim. Lo pikirin nih anak-anak yang kerja dibawah tanggung jawab lo, dia mau pulang bawa duit, mau pulang bawa makanan, lo pikir anak-anak mau dikasih beras yang ada di pantry?"

"Terserah lo deh, Jeff. Gak akan paham lo maksud gue." Ujar gue kesal.

Gue bangkit dari kursi dan berjalan keluar dari meja, mengambil handphone serta merapikan letak jam dan melihat arah jarum jam, gue menghela nafas. Gue mulai bergerak menuju keluar ruangan sampai suara Jeffrey menghentikan langkah gue.

"Mau kemana lo?"

"Ngaibon, mau ikut lo? Kepo banget, suruh anak-anak pulang ya. Gue cabut duluan."

I used to recognize myself
It's funny how reflections change
When we're becoming something else
I think it's time to walk away

Gue keluar dari ruangan gue dan bergerak menuju pintu keluar kantor gue, tangan gue bergerak mengetik beberapa huruf di smartphone gue. Gue menempelkan layar handphone gue ditelinga sembari gue menekan tombol lift. Gue kerja disalah satu gedung dengan 8 lantai yang ada didaerah Jakarta, gue sama rekan-rekan gue memutuskan untuk menyewa satu lantai di gedung ini. Karena, usaha gue baru bergerak sekitar 2 tahun, buat mengadakan modal untuk beli bangunan atau mendirikan belum cukup. Jadi, gue dan rekan-rekan memutuskan untuk menyewa salah satu lantai di bangunan ini. Lift terbuka dan membawa gue turun menuju basement. Nada berdering dibalik handphone gue terdengar, kaki gue bergerak tidak sabar menunggu sambungan telepon gue diangkat disebrang sana.

"Halo, kenapa?"

Gue menarik nafas lega dan tersenyum tipis. "Lo dimana, Bang?"

Gue berjalan keluar dari lift menuju parkiran di basement, gue menatap sekeliling mengingat tempat gue memarkirkan mobil.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 02, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RUMAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang