Ini minggu pagi. Sebagian orang masih berkemul di balik selimut. Bukan, mereka sama sekali tidak kedinginan. Namun ingin melindungi diri dari sinar yang perlahan menerobos melalui celah jendela. Membuat seluruh ruangan terlihat terang.
Sebagian lagi sudah duduk di teras rumah. Ditemani secangkir kopi, atau teh, mungkin. Lengkap dengan satu piring penuh pisang goreng. Menyapa tetangga yang sumringah dengan seplastik besar sayuran di tangan kanannya. Menghirup udara pagi yang menyegarkan.
Tetapi Gilang, laki-laki tanggung itu, sepagi ini, sudah sibuk menata hatinya. Telapak tangannya basah oleh keringat dingin. Untuk duduk tenang barang satu dua menit saja tidak bisa. Gelisah sepanjang malam. Takut sekaligus bersemangat. Ini membingungkan sekali.
Dia berdiri lama di depan kalender yang menggantung di dinding rumah. Menatap lekat-lekat tanggal dengan lingkaran merah diluarnya. Tersenyum.
“Semoga ini hari baik. Semoga hasilnya baik.”Gilang melesat dengan sepeda motornya setelah berpamitan dengan ibu dan ayah. Meminta do’a. Semoga hasilnya baik, semoga segala rencana bersambut indah.
“Apapun hasilnya, itu yang terbaik, nak!” Senyum hangat tercipta di wajah ibu. Ayah merengkuh pundak ibu. Bilang betapa bangga memiliki anak seperti Gilang.
“Lihatlah, Bu. Dia tumbuh dengan baik, wajah tampan dan perangainya yang menawan, sempurna menuruniku,” ucap ayah mengiringi punggung Gilang yang dimakan belokan. Tersenyum, bangga kepada dirinya sendiri.
“Wajah tampannya mungkin menuruni kau, tetapi perangainya jelas lah itu menuruniku.”
Ibu beranjak ke dapur, ayah hanya tersenyum, kembali sibuk dengan koran dan kopi hitamnya.Hari beranjak siang. Matahari meninggi, udara semakin panas. Pak Iwan—wali kelas Gilang—sudah sampai pada bagian penutupan, nasihat-nasihat indah tentang kehidupan terlontar sepanjang pidatonya.
Ini hari pengumuman kelulusan sekolah. Di atas meja guru, tumpukan amplop tergeletak rapi. Amplop dengan kertas berisi Surat Keterangan Lulus (SKL) yang membuat Gilang resah sepanjang malam. SMA tempat Gilang bersekolah terkenal dengan prinsip kejujuran. Jika sekolah lain berlomba-lomba memberikan kunci jawaban kepada siswa sekolahnya agar mendapat nilai bagus dan lulus, maka sekolah Gilang sebaliknya. Pengawasan saat ujian diperketat. Polisi didatangkan. Sekali ada yang ketauan mencontek, maka tidak ada kesempatan kedua, lembar jawabannya di sobek, dia akan diusir dari kelas saat itu juga. Tidak ada pengulangan, tidak masalah jika tidak lulus.
Tetapi, sebelum amplop itu dibagikan, kepala sekolah dan beberapa guru memberikan wejangan, nasihat-nasihat kehidupan.
“Kesempatan selalu ada. Pintu perjuangan selalu terbuka. Tinggal kita yang memilih, mau melangkah masuk lalu berjuang, atau melangkah menutup pintu lalu berbalik. Pergi. Melewatkan kesempatan untuk menyesal dikemudian hari.”
Itu nasihat indah dari Pak Iwan. Guru itu, tidak pernah habis kesabarannya. Walaupun suka menghukum dan sangat tegas, tetapi sebenarnya beliau orang yang baik, sifatnya sangat ke-bapa-an.
Bu Hana—kepala sekolah—berbicara tentang betapa pentingnya menjadi orang jujur.“Yang pandai tak terperi banyak, yang prestasinya melambung sana sini juga banyak, ada lebih dari seribu orang di dunia ini. Yang susah itu mencari orang yang jujur, apalagi orang pandai yang jujur. Jadilah salah satu dari orang itu.”
Itu sekaligus menjadi nasihat penutup. Kelas kembali diambil alih Pak Iwan. Atmosfer ruangan terasa mencekam. Wajah-wajah ngantuk terangkat, beberapa merapalkan rentetan do’a, komat-kamit. Lengang.Gilang meremas jemarinya, meyakinkan diri sendiri bahwa dia pasti lulus. Dia sudah berusaha mati-matian, belajar siang malam, merelakan waktu nongkrong dengan teman-temannya, dan mengurangi jam tidur hanya untuk menghadapi ujian akhir itu.
“Aditia!” Pak Iwan mulai membagikan amplop itu. Aditia yang namanya dipanggil langsung maju, menerima amplop. Membukanya.
Adit sumringah, air wajahnya mencair. Berlarian kembali ke tempat duduknya, mengepalkan tangan tinggi-tinggi. “YES!”
Yanto—teman sebangku Adit—memberikan selamat, menonjok senang bahu Adit.Perlahan suasana kelas mencair, seluruh siswa yang namanya sudah dipanggil dinyatakan lulus. Bahkan Bobi—siswa yang terkenal dengan kenakalannya—bisa lulus, meskipun dengan hasil yang pas-pasan.
“Gilang!” Akhirnya namanya disebut. Urutan terakhir.
Patah-patah Gilang maju, menerima amplop “itu”. Dalam hati dia tak henti berdo’a, semoga lulus.
Perlahan Gilang membukanya, jika dia tidak lulus, berarti tahun ini, dia adalah satu-satunya orang yang tidak lulus. Dia buru-buru mengusir pikiran jelek itu.
Ternyata ada tiga kertas di dalam amplop. Bagian pertama, berisi pemberitahuan untuk menggunakan kertas ini sebaik-baiknya. Itu pemberitahuan dari sekolah. Setelah selesai membaca, Gilang langsung menuju kertas kedua.Dia termenung lama menatap kertas itu. Pak Iwan sampai bertanya apakah dia tidak lulus.
Kelas lengang. Menuggu hasil dari Gilang. Sepi. Sunyi.
“YEEEESSS LULUUUSS!!!” Gilang teriak. Mengangkat kertasnya tinggi-tinggi.
Pecah sudah suasana kelas. Lengkap sudah seluruh angkatan Gilang lulus. Pak Iwan, Bu Hana, dan deretan guru lain tersenyum bangga sekaligus terharu. Semua siswanya bisa lulus dengan hasil kerja keras mereka sendiri.
Beberapa siswi menangis, bahagia. Ucapan selamat menggema memenuhi sudut ruangan. Terangkat sudah bayangan yang setiap hari mengintai, meresahkan hati dengan kata LULUS yang di coret. Hari ini, malam-malam panjang yang terlewati dan hari-hari yang menyesakkan terbayar lunas dengan satu kertas bertuliskan LULUS.Hari suka cita itu diakhiri dengan sungkem kepada guru-guru. Meminta maaf, mengucapkan terimakasih. Tangis haru tak dapat dicegah. Semua yang ada di ruangan itu, terisak. Bahagia bercampur sedih. Burung-burung kecil berterbangan di halaman sekolah, matahari semakin meninggi, ujung pohon terombang-ambing dibawa angin. Sekolah itu sedang bersuka cita, sekaligus berduka cita.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/243096373-288-k703004.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kabut Waktu
General FictionDan, waktu, tidak pernah keliru menjalankan tugasnya. Tidak bisa diperlambat dipercepat, apalagi dihentikan. Tidak perduli pada perasaan siapapun. Siapapun, termasuk Gilang. Cerita ini tentang Gilang. Remaja tanggung yang terpaksa memendam semua mi...