Berbalik

19 1 4
                                    

Sementara jarak ratusan meter dari sekolah, pertengkaran hebat sedang terjadi. Berlarut-larut. Nada bicara yang tinggi, dibalas nada bicara yang tinggi juga. Nasihat yang disampaikan dengan wajah merah padam ditolak mentah-mentah—ada saja jawabannya.

Bocah berumur sepuluh tahun berdiri di balik pintu. Takut-takut mengintip kejadian di teras. Wanita setengah baya dengan rambut yang sudah memutih separuh terduduk lemas, menduduki koran yang tergeletak. Pisang goreng di meja sudah habis separuh, kopi hitam sudah kehilangan kepul asapnya.

Laki-laki medan berperawakan tinggi besar dengan rambut yang hampir seluruhnya putih itu murka. Rahangnya mengeras. Seluruh wajah merah padam persis seperti kepiting rebus. Laki-laki di depannya tidak kalah seram—meski jauh lebih muda. Mendongak, menatap laki-laki tua di hadapannya dengan sorot mata menantang.

“Cuma motor, Yah.” Anak muda itu berteriak, menyepelekan.

“Cuma kau bilang hah? Kau pikir beli motor pakai daun? Motor itu satu-satunya harta Ibu kau dari almarhum abahnya. Sekarang sudah kau jual. Ya Tuhan... uangnya, hanya untuk bermain judi? Galih... kenapa Ibu kau harus melahirkan kau.” Laki-laki berambut putih itu mengusap wajahya, tertunduk. Menahan tangannya yang sejak tadi gatal ingin menampar anak yang berada di hadapannya.

“Contohlah itu adik kau. Gilang. Dia selesaikan sekolah SMA, perangainya baik, selalu bikin Ayah dan Ibu bangga—,”

“Aku bosan dibandingkan dengan Gilang. Aku Galih, bukan Gilang. Puji-puji saja lah itu anak kesayangan Ayah!”

Galih—Kakak Gilang—beranjak pergi. Mengabaikan panggilan marah ayahnya dan tatapan tidak suka dari tetangga yang perlahan memenuhi selasar rumah Gilang. Ibu-ibu bergegas mendatangi Ibu Gilang yang terlihat semakin lemah. Menenangkan dengan memberi secangkir air hangat. Julia—bocah yang tadi berdiri di balik pintu—berjalan menuju kamar. Bosan dengan pemandangan itu.

Kakak tertuanya itu jarang pulang, sekalinya pulang, ada saja masalah yang dibawa. Membuat ayah dan ibu marah. Meskipun kali ini ayah terlihat lebih menyeramkan, dan ibu lebih syok, tetapi sama saja, mereka saling berteriak marah. Julia tidak pernah ingin ikut campur.

***

Gilang melesat meninggalkan halaman sekolah dengan sepeda motornya. Tidak sabar menyampaikan kabar baik ini kepada ayah dan ibu. Senyumnya mengembang sepanjang perjalanan, menyapa setiap orang yang berpapasan dengannya. Mempersilakan ayam menyebrang, menyingkiran kayu yang melintang di tengah jalan. Kemudian melanjutkan perjalanan, masih tetap dengan senyum mengembang.

Jarak ke rumah semakin dekat, Gilang semakin bersemangat. Tiba di belokan jalan, rumahnya terlihat. Ramai. Senyumnya sirna, berganti perasaan cemas. Ada apa? Tidak biasanya orang-orang berkerumun di rumahnya.

“Gilang... akhirnya kamu pulang juga, nak.” Bu Rena—tetangga sebelah rumah Gilang—grasak grusuk menghampiri Gilang.

“Cepat nak, cepat. Bawa Ayahmu ke klinik.”

Gilang langsung mengerti situasinya. Dia berlari. Menemukan ibu masih terduduk lemas di kursi teras, ditemani ibu-ibu. Bapak-bapak tergopoh-gopoh mengangkat ayah. Membawanya ke dalam. Ayah pingsan. Julia menangis di samping ayah. Tadi, persis saat Julia memutuskan beranjak dari balik pintu, tetangga yang dari tadi melihat pertengkaran ayah dengan Bang Galih teriak kalap. Memanggil-manggil nama ayah.

Julia urung kembali ke kamar, bergegas keluar, ingin melihat apa yang terjadi.

“AYAAAAHHH....” Julia berlari kalap. Menghampiri ayah dengan air mata yang menderas.

Kali ini giliran Gilang yang berlarian, mengambil alih ayah. Tergopoh-gopoh menaikkannya ke atas motor. Pak Yadi ikut naik untuk menjaga ayah di jok belakang. Menancapkan gas, melesat menuju klinik terdekat.

“Aku mohon. Bertahanlah, Yah.”

Beruntung jalanan sepi. Gilang meliuk-liuk melewati jalanan, jika tadi dia dengan ikhlas dan sabar menunggu ayam menyebrang, maka kali ini dia membuat ayam terbang dengan kokokan keras. Kaget karena hampir tertabrak. Sapaan orang disepanjnag jalan tidak dia gubris. Kayu kecil yang melintang di jalan dia terobos. Yang ada di pikirannya hanya ayah harus cepat diperiksa.

Motor bebek itu mendarat mulus di halaman parkir yang luas. Lahan di bawah pohon rimbun menjadi tempat favorit menaruh motor. Terhindar dari terik matahari. Beruntugnya, meskipun itu hanya sebuah klinik, tetapi pelayanannya amat bagus. Perawat-perawatnya cekatan, petugasnya tegas, dokter dan bidan selalu datang tepat waktu. Memberikan pelayanan terbaik.

Ayah dibawa ke ruang khusus. Ruang darurat. Hanya ada satu di klinik ini. Gilang terpaksa menunggu di luar. Di rumah, ibu sudah terlelap, terlalu lelah. Julia masih menangis, memaksa ingin menyusul Gilang dan ayah di klinik.

“kan Ayah sudah ditemenin Bang Gilang. Julia di sini aja yaa temenin Ibu,” bujuk Bu Rena untuk yang kesekian kalinya. Julia tetap menangis.

“Kalo Julia ke klinik, Ibu nggak ada yang nemenin dong. Julia di sini aja yaaa... biar nanti, pas ibu bangun, Julia ada di samping ibu.”

Julia mengalah, mengangguk. Bu Rena mengusap air mata Julia. Memeluknya, semoga anak itu bisa lebih tenang.

***

Hari ini, tepat di hari pengumuman kelulusannya, Gilang mengabaikan seluruh nasihat Pak Iwan. Dia memilih menutup pintu itu. Berbalik. Lantas pergi, untuk menyesal dikemudian hari.
Dia membuka kembali surat yang ada di dalam amplop. Lembar pertama, beralih ke lembar ke-dua, tersenyum. Usahanya selama ini tidak sia-sia. Nilainya mendekati sempurna. Setelah puas, dia beranjak ke lembar ke-tiga. Informasi pendaftaran tentara, kata Pak Iwan—yang memang tau menjadi tentara adalah impian Gilang—nilai gilang berpotensi lolos seleksi tahap pertama. Tidak ada salahnya mencoba.

Tadi siang dia begitu bersemangat, sangat yakin dengan rencana ini. Namun waktu memang tidak pernah peduli dengan perasaan siapapun, waktu selalu melakukan tugasnya dengan baik. Tidak bisa diperlambat, dipercepat, apalagi dihentikan. Malam ini, bulan menggantung Indah di langit. Sendirian. Tertutup awan setengahnya. Kertas itu dia lipat, dimasukkannya kembali ke amplop. Bersiap mengubur dalam-dalam impiannya.

Sah sudah Gilang menjadi yatim. Bang Galih tidak bisa dihubungi, menghilang entah kemana. Julia tidak berhenti menangis sejak ayah pulang dengan seluruh tubuh yang dingin. Asmanya kambuh, terlalu emosi terhadap Bang Galih. Dan sayangnya, tidak seperti beberapa kasus pasien lain yang berhasil diselamatkan. Ayah tidak memiliki kesempatan itu. mungkin lebih tepatnya kesempatan itu sudah habis. Dipakai berkali-kali saat tidak bisa mengendalikan emosinya karena Bang Galih. Selalu karena Bang Galih.

Tadi Pak Yadi menceritakan semua yang terjadi. Gilang hanya diam. Abangnya itu memang tidak pernah jelas maunya apa.

Ibu sempat siuman, berhasil menelan beberapa suap bubur. Namun tak lama setelah ibu siuman, Gilang datang, membawa kabar itu. Kabar yang bahkan dia sendiri tidak ingin percaya. Ayah tidak berhasil diselamatkan dan ibu kembali pingsan.

Hari ini, sempurna sudah Gilang yang memikul tanggungjawab itu. Tanggungjawab atas kehidupan ibu dan Julia. Hatinya teriris melihat ibu yang berbaring dengan wajah pucat, pun Julia yang meringkuk dengan wajah penuh bekas air mata.

Mulai hari ini, Gilang bertekad, apapun akan dia lakukan, demi ibu dan adiknya. Demi senyum yang harus mekar setiap hari.
Mulai hari ini, Gilang bertanggungjawab penuh atas kebahagiaan ibu dan adiknya.

***

Kabut WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang