Waktu bergerak merangkak. Tertatih meraih detik, terhuyung mencapai menit, lalu tercekik memeluk hari. Setiap helaan napas terasa berat. Bahkan rembulan seindah malam ini pun terlihat sendu. Menarik awan-awan kelabu ke arahnya. Terlihat jelas dari balkon rumah Gilang.
Balkon ini satu-satunya potongan kehidupan yang masih tersisa. Di sini, setidaknya Gilang merasa sedikit tenang. Rehat sejenak dari gaduhnya perasaan. Gilang baru 18 tahun, satu minggu lagi beranjak 19 tahun. Ayah menjanjikan kado motor baru tiga hari sebelum kepergiannya, motor matic.
“Imbalan atas telah menjadi anak yang baik,” kata ayah sambil memperlihatkan brosur berisi gambar berbagai merek motor.
Di sini, di balkon samping rumah. Gilang biasanya duduk berdua bersama ayah. Menghabiskan sisa malam, melihat sepotong kehidupan dengan segala hiruk pikuknya. Membicarakan apa saja. Kejadian menarik hari itu, masa lalu, masa depan, mimpi-mimpi. Benar-benar apa saja.
Gilang menarik napas panjang. Mengembuskannya. Berbalik, bersandar pada pagar balkon. Kamar ibu masih terang, siluet tubuhnya terlihat jelas dari jendela. Berdiri memandangi tembok. Gilang hafal sekali letak foto itu, foto mereka bersama Bang Galih saat masih bayi. Ibu dengan bang galih di pangkuannya, ayah merangkul ibu. Tersenyum bahagia.
Foto itu persis di depan tempat ibu berdiri. Begitulah, tiga hari belakangan, hanya itu yang ibu lakukan. Berdiri memandangi fotonya bersama ayah. Tersenyum, memandang kosong, tertawa, menangis, tertawa lagi, memandang kosong lagi. Cepat sekali ekspresinya berubah.
Sekali lagi, Gilang menarik napas panjang. Tidak banyak yang bisa dia lakukan. Satu-satunya hanya berusaha terlihat kuat. Mengubur semua rasa sakit, mengusir sedih atas hilangnya orang yang teramat berharga. Membunuh tanpa ampun setiap rindu yang menelisik jauh memenuhi relung hati. Kehilangan kesempatan menjadi tentara tidak seberapa. Lebih baik kehilangan itu dari pada harus kehhilangan ayah. Namun, Gilang kehilangan keduanya. Ditambah Bang Galih yang sampai saat ini tidak ada kabar. Perasaan Gilang semakin sesak. Bernafaspun rasanya berat.
Lampu kamar Julia—terletak di sebelah kamar ibu—sudah padam. Semoga anak itu tertidur lelap, mimpi indah. Sejak ayah dikebumikan, Julia tidak banyak bicara. Lebih banyak diam, menolak makanan dalam bentuk apapun.
“Julia maunya disuapin ayah,” lirihnya hampir tak terdengar.
Gilang menaruh piring di meja terdekat, menggenggam lengan Julia. “Julia... dengerin abang. Tiga hari yang lalu, saat ayah pulang dengan seluruh tubuh dingin, Julia ingat?” Julia mengangguk. “Saat itu ayah sudah memutuskan untuk pergi. Menunggu Julia tumbuh menjadi anak yang cantik dan pintar di tempat yang jauh. Nanti ibu juga ke sana, Bang Galih, Bang Gilang, dan Julia juga nanti akan menyusul ayah. Tapi tidak sekarang, nanti ayah kecewa kalo Julia menyusul sekarang. Lihatlah, bahkan makan pun julia masih ingin disuapi ayah.”
“Tapi Julia pengen ketemu ayah, Bang. Julia maunya ketemu ayah, bukan makan.” Julia makin tertunduk. satu tetes jatuh mengawali puluhan tetes lainnya. Julia mulai terisak. Percuma sudah bujukan Gilang. Jika sudah menangis, Julia tidak akan mau melakukan apapun, apalagi makan. Bahkan untuk menenangkannya kembali pun Gilang butuh bantuan dari ibu-ibu tetangga. Akhirnya makanan itu sama sekali tidak tersentuh, dan Gilang memutuskan memeluk adiknya. Berusaha menenangkan meskipun tidak akan berdampak banyak.
Selalu begitu, proses bujuk-bujukan itu pasti berakhir dengan tangisan. Itu kejadian tadi siang. Sebenarnya tidak hanya Julia, Gilang juga tidak pernah berselera. Bahkan jika makanan terenak dihidangkan, Gilang tetap tidak tertarik. Jangan tanya bagaimana ibu. Mendengar kata makan saja dia langsung menangis tersedu-sedu, tidak ada yang mengerti ibu kenapa. Sesekali tetangga menjenguk. Mengajak ibu bercakap-cakap, menceritakan apa saja, meski yang diajak bicara hanya diam, tidak memperhatikan.
Gilang kembali menghadap bulan yang kini separuhnya tertutup awan kelabu. Menatap nanar indahnya langit malam. Berandai-andai.
“Andai Bang Galih tidak senekat itu, andai ayah bisa mengontrol emosinya, andai ayah tidak pergi, mungkin—” Gilang tercekat. Dadanya sesak. “Mungkin aku sekarang sedang resah menunggu pengumuman seleksi berkas tahap 1. Mungkin masih ada kesempatan untukku mengejar mimpi itu.”
Malam semkain larut, Gilang mengenyahkan segala andai-andai itu. Menguburnya dalam-dalam. Masih ada ibu dan Julia yang harus bahagia. Senyum menenangkan milik ibu, tawa riang milik Julia. Gilang harus mengembalikan semua itu. Tidak ada waktu memikirkan mimpi itu lagi.
Gilang segera melupakan segala kesedihannya, menghalau air mata yang sudah siap untuk jatuh. Menghabiskan sepanjang malam di balkon itu. Sendirian, menatap bulan yang ¾ nya sudah tertutup awan kelabu.***
Waktu tetap bergerak merangkak, tidak bisa berjalan, apalagi melesat cepat. Memasuki hari ke-tujuh semenjak kepergian ayah. Rumah Gilang sudah ramai sejak pagi, tetangga berdatangan membantu Gilang menyiapkan selametan tujuh harian ayah.
Kemarin, Bou Yuli—adik ayah—datang dari Medan membawa satu koper besar berisi baju dan beberapa peralatannya yang lain. Dengan kondisi ibu yang tetap seperti itu dan julia yang juga masih sering merajuk, Gilang tidak bisa kemana-mana. Dia hanya sibuk menemani ibu , menjaga Julia, berusaha membujuk keduanya untuk makan. Mengajak Julia keliling komplek agar kembali ceria. Meminta bantuan kepada tetangga untuk menjaga ibu. Namun, tetap belum berhasil.
“Maaf, Bou jadi harus tinggal di sini,” ucap Gilang di balkon favoritnya tadi malam.
“Tidak perlu lah kau meminta maaf. Lagipula ini kemauanku.”
Senyap. Gilang dan Bou Yuli sama sama terdiam. Bou Yuli memperhatikan Gilang yang menatap langit dengan tatapan nanar. Itu juga tatapan yang dulu dimiliki Bou Yuli saat ibunya pergi. kejadian itu masih teringat jelas meskipun sudah bertahun-tahun berlalu.
“Boy! Kau tau? Dulu, saat nenek kau meninggal, aku lebih parah dari Julia. Julia masih bisa dibujuk sedikit-sedikit. Aku sama sekali tidak bisa. Orang-orang harus siap mendengar teriakanku saat mencoba membujukku. Yang lebih parah, aku tidak segan melempari mereka dengan apapun, kemudian pergi mengunci diri di dalam kamar.” Bou Yuli tertawa mengenang masa itu. Dia kekanak-kanakan sekali, padahal usianya waktu itu setara dengan usia Gilang saat ini.
“Satu-satunya yang berhasil membuatku tersadar ya ayah kau itu. Aku masih ingat betul, waktu itu dia bilang begini: Hey Yuli! Terserahlah kau mau apa. Mengurung diri di dalam kamar setahun pun tidak akan bisa membuat emak kembali. Lelah sekali membujuk kau. Sekarang, biarlah kau sadar, emak itu sudah pergi meninggalkan kita untuk selamanya. Kalau kau mau menyusul emak dengan keadaan kurus kering karena tidak mau makan dan kumal karena tidak mau berusaha hidup kembali, tidak mungkinlah emak senang melihat kau. Sekarang terserah kau, mau bertemu emak dengan keadaan menyedihkan atau dengan membawa sejuta hal yang bisa membuat emak bangga,” ucap Bou Yuli meniru gaya bicara ayah Gilang.
“Tidak ada lembut-lembutnya dia berbicara padaku, Lang. Tapi justru itu, ucapannya yang gamblang itu yang akhirnya membuat aku sadar. Aku lebih beruntung karena memiliki abang seperti ayah kau. Andai Galih bisa sedikit lebih mengerti. Ah, sudahlah.” Bou Yuli menarik napas panjang. Merasa bersalah telah menyinggung perihal Galih.
“Ibu kau dan Julia, percayakan saja padaku. Aku janji akan membuat mereka kembali seperti dulu, membuat mereka bisa berdamai dengan keadaan ini. Kau sungguh hebat telah mampu bertahan sejauh ini. Malam ini, pikirkan apa yang ingin kau lakukan besok. Hati kau boleh hancur, jiwa kau boleh terkoyak, kau juga boleh merasa jatuh sejatuh jatuhnya, tetapi bagaimanapun kau harus tetap bangkit bukan? Entah hari ini, besok, besoknya lagi, atau bahkan besoknya lagi, lagi, dan lagi. Sama saja kan? Kau harus berusaha untuk bangkit. Semakin cepat semakin baik.”
Gilang takzim mendengarkan semua perkataan Bou Yuli. Benar-benar meresapinya. Bou Yuli benar, dia harus bangkit sesegera mungkin. Maka tadi malam, Gilang menuruti perkataan Bou Yuli. Dia mulai menyusun rencana, berusaha berdamai dengan kenyataan yang ada.
Maka hari ini, tepat di hari ke tujuh kepergian ayah, untuk pertama kalinya Gilang kembali tersenyum. Ringan sekali senyumnya. Menyambut tetangga yang datang untuk ikut mendo’akan ayah. Semua beban itu, sedikit banyak telah terangkat. Dan Gilang, sudah siap dengan rencana-rencana besarnya esok lusa.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Kabut Waktu
Ficción GeneralDan, waktu, tidak pernah keliru menjalankan tugasnya. Tidak bisa diperlambat dipercepat, apalagi dihentikan. Tidak perduli pada perasaan siapapun. Siapapun, termasuk Gilang. Cerita ini tentang Gilang. Remaja tanggung yang terpaksa memendam semua mi...