Pengantar Daging

13 1 0
                                    

Pukul 21.00 WIB, rumah Gilang mulai sepi. Tetangga yang hadir untuk mendoakan ayah satu persatu pamit pulang. Mereka menjabat tangan Gilang, tetap mengucapkan belasungkawa atas kepergian  ayah, melontarkan kalimat-kalimat penguat. Gilang membalasnya dengan senyum tulus, bilang terimakasih banyak telah datang untuk mendoakan ayah. Mereka juga menuju ibu yang duduk di teras depan. Ibu masih tetap sama, hanya diam, memandang kosong. Bedanya, empat hari belakangan dia tidak lagi memandangi fotonya bersama ayah, tetapi dia membawanya kemanapun, selalu dipeluk erat.

Ibu ditemani Bou Yuli dan Julia di sana. Bou Yuli membuktikan ucapannya, ada yang berbeda dengan Julia. Wajahnya, sedikit banyak telah kembali berwarna. Meski belum sepenuhnya kembali, sorot mata Julia terlihat lebih hidup. Mungkin Bou Yuli juga membicarakan sesuatu dengan Julia tadi malam. Karena setelah berbicara dengan Gilang, Bou Yuli beranjak ke kamar Julia yang lampunya sudah mati. Sedikit lagi beban Gilang terangkat.

Malam semakin larut, rumah Gilang sudah benar-benar sepi sekarang. Rombongan ibu-ibu yang membantu menyiapkan selametan malam ini juga sudah pamit pulang. Sama seperti yang lain, mereka menyalami Gilang, meminta maaf tidak bisa membantu banyak.

“Aku yang minta maaf, Bu. Tidak bisa memberi apa-apa, padahal kalian sudah membantu sampai selarut ini. Terimakasih banyak,” lirih Gilang. Dia merasa malu, sekaligus bersyukur.

“Tidak apa, Nak. Melihat senyummu sudah ringan saja kami senang. Ayahmu pasti bangga di sana, memiliki anak yang mempunyai hati sekuat kamu. Semoga ibumu juga lekas membaik ya,” ucap Bu Rena. Ibu-ibu yang lain mengiyakan. Mereka langsung pulang setelah berpamitan pada Ibu, Bou Yuli, dan terakhir Julia. Bu Rena memeluk Julia, lama sekali.

Sekarang, Julia sudah terlelap di kamarnya—setidaknya begitu laporan Bou Yuli. Ibu juga sudah berbaring di kamarnya, tetapi tidak tidur, lebih tepatnya tidak pernah bisa tidur. Sedih sekali melihat ibu yang sekarang. Tubuhnya menyusut, kantung matanya membesar, wajahnya selalu pucat. Bou Yuli sampai menangis melihat ibu saat baru tiba kemarin.

Gilang seperti biasa, berdiri di balkon samping, menatap bulan dengan langit bersih. Bintang juga terlihat jelas. Namun kali ini, dia ditemani Bou Yuli.

“Jadi, apa rencanamu, Lang?” tanya Bou Yuli.

“Aku akan mulai mencari pekerjaan besok,” jawab Gilang mantap.

Maka besoknya, pagi-pagi sekali, sama seperti tujuh hari lalu. Gilang kembali menata hatinya, memantapkan langkah menuju rencana yang sudah dia susun. Berdandan rapi. Mengenakan kemeja putih dengan celana hitam bahan. Digembloknya tas dengan surat lamaran kerja di dalamnya. Gilang berjalan menuju halaman rumah, memanaskan motor bebek yang sudah jarang dipakai kecuali untuk mengajak Julia keliling komplek.

“Abang mau kemana?” tanya Julia.

Ajaib! Gilang senang sekali. Itu adalah pertanyaan pertama dari adiknya—selain pertanyaan tentang ayah—setelah kepergian ayah.

“Abang mau jalan-jalan. Bosen di rumah terus,” jawab Gilang dengan cengiran khas miliknya.

Julia terdiam, tak lama kemudian satu tetes air matanya jatuh, puluhan tetes lainnya menyusul.

“Julia minta maaf ya, Bang,” lirih Julia disela isakannya. “Julia sedih Ayah nggak pulang-pulang. Tapi, kata Bou Yuli, abang jauh lebih sedih dari Julia.” Julia semakin terisak.

“Maaf Julia malah bikin Abang tambah sedih. Julia janji, mulai hari ini, Julia akan jadi anak yang baik, Julia akan nurut sama Abang sama Bou Yuli. Julia juga mau Ibu sehat lagi. Julia minta maaf.” Susah payah Julia menyelesaikan kalimatnya. Sering terhenti karena sedang terisak.

Mata Gilang berkaca-kaca mendengar kalimat adiknya. Ini sungguh mengharukan. Jurus apa yang digunakan Bou Yuli untuk membuat Julia sedewasa itu.

Gilang memutuskan menahan air matanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 24, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kabut WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang