Hari pertama sekolah ditahun ajaran baru aku mulai dengan berjalan-jalan keliling area sekolah. Tetap tidak berubah, semua masih sama seperti dulu. Perpustakaan, kantin, Lab IPA, dan beberapa tempat lainnya masih sama.
Aku masuk ke salah satu ruangan penuh buku di sudut sekolah. Ini adalah tempat paling aman untukku, aku selalu suka berada disini. Menikmati ribuan kata dan sajak bersama hembusan angin sepoi yang membelai rambutku manja. Aku duduk di sudut perpus seperti biasanya. Ini menjadi kebiasaanku sejak dulu. Membaca buku, aku memang suka membaca buku, baik itu ilmiah atau cerita fantasi.
Suara riuh di luar ruangan membuatku sedikit terusik. kenapa bising sekali? Apa mereka tidak tahu kalau ini perpustakaan? Suara mereka bahkan lebih besar dari suara angin yang bertiup pelan dari sela-sela ventilasi disini.
“Gue yakin, sih. Tu anak gak bakal berani lagu datang ke sekolah,” terdengar suara salah satu dari mereka.
“Ya iyalah, kalo dia berani masuk sekolah, itu artinya dia ngajak perang!” balas temannya.
“Lihat aja, gue bakal bikin dia gak berani lagi masuk ke area sekolah ini,”
Mereka tertawa puas. Aku tau itu siapa. Mereka adalah rombongan yang selalu mengganggu ketenangan ku. Nesa, Leona dan Dara. Entah apa yang mereka inginkan dariku, sejak awal aku masuk sekolah disini mereka selalu menggangguku. Mereka juga sering berbuat jahat padaku, malangnya aku harus satu sekelas dengan mereka. Itu membuat mereka semakin mudah menyiksaku.
Kudengar pintu berderit menandakan ada yang datang. Aku kembali fokus menatap buku ditanganku. Aku tak peduli siapa yang datang, dan pasti mereka juga tidak akan memperdulikan keberadaanku. Suara langkah kaki mendekat ke arah dimana aku duduk. Sial, jangan bilang kalau itu adalah Nesa dan teman-temannya.
“Heh! Masih berani masuk sekolah, Lo?” kata Nesa sambil menggebrak meja.
Aku tersentak dan langsung menatap mereka satu persatu. Dari balik kacamata ini, aku melihat senyum jahil mereka kembali. Apa lagi yang mau mereka rencanakan untuk menyiksaku? Gadis dengan rambut dikuncir kuda itu membawa sebuah kantung plastik berisi karet gelang.
Di sebelahnya ada gadis yang membawa lipstik merah menyala. Apa yang akan mereka lakukan? Nesa tersenyum miring sambil menatapku. Aku hanya diam sambil menunggu apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.
“Mulai!”
Dara dan Leona bekerja. Leona melepas ikatan rambutku yang sengaja di kepang. Ia mengikat rambutku dengan karet gelang yang ia bawa menjadi beberapa ikatan kecil. Dara tak mau diam, dia mengoleskan lipstik merah itu ke bibirku. Aku berusaha berontak dan menghindar, tapi aku tak cukup kuat untuk itu.
Mereka terus beraksi hingga aku sudah menjadi seperti badut. Rambutku di kuncir sana-sini, Bibirku merah, gak lupa kelopak mataku juga ikut diberi lipstik. Mereka tertawa puas setelah membuat aku seperti badut. Nesa mengeluarkan ponselnya dan memotretku. Tentu saja, itu menjadi bahan upload an yang akan membanjiri sosial medianya dengan like.
Aku menangis dalam diam.
“Duh, cantik banget, sih teman kita,” kata Leona seolah memuji, tapi aku mendengarnya seperti hinaan.
“Ya iya dong, kan udah kita dandanin,” timpal Leona.
“Liat, deh. Kunciran rambut yang gue buat, bagus, kan?” katanya lagi.
“Duh, bagus banget!” timpal Nesa sambil tertawa puas.
Aku masih beringsut dengan tangis ku. Tanganku bergerak ke arah walah untuk menghapus lipstik merah yang tidak merata ini. Tapi belum sempat aku menghapusnya, Nesa keburu mencengkram tanganku dan menepisnya, ia tak mau aku menghapus hasil riasan ini.
“Jangan dihapus! Kalo lo berani hapus riasan ini, gue bakalan bikin lo tambah nyesel! Paham?!”
Mereka pergi setelah itu. Tak lupa mereka memberikan tempeleng ke kepalaku sebagai hadiah. Aku tidak bisa menolak apalagi membalas perbuatan mereka. Aku hanyalah siswa biasa yang lemah dan tidak berani melawan.
Aku keluar dari perpustakaan dengan wajah tertunduk. Siswa lain terlihat heran melihatku dengan dandanan konyol. Aku pergi ke toilet untuk mencuci muka, masa bodo jika mereka marah karena itu. Aku tidak mau masuk kelas dengan keadaan seperti ini. Pasti guru akan menyuruhku keluar.
Aku sudah biasa diperlakukan tidak adil dan kasar oleh Nesa dan kedua temannya. Aku juga tidak mempermasalahkan hal ini selama aku masih bisa bertahan. Tidak apa, aku anak yang kuat. Meski kadang aku menangis tengah malam karena siksaan mereka yang keterlaluan, tapi aku tetap bertahan.
“Heh, sini lo!” teriak Nesa memanggilku.
Aku mendekat memenuhi panggilannya. Seharusnya aku ke kantin di jam istirahat ini, tapi tak apalah jika harus melayani mereka dulu.
“Beliin gue minuman coklat yang biasa, Buat Leona jus anggur, dan buat Dara Jeruk!” ucap Nesa saat aku sudah sampai didekatnya.
Ya, selain sering mem-bully ku, mereka juga sering menyuruhku ini dan itu.
“Duitnya mana?” tanyaku pelan.
Dara malah menjambak rambutku dengan kasar lalu menghempaskan ku ke lantai begitu saja, sakit memang. Lututku juga belum sembuh karena kemarin mereka sempat menginjaknya. Rambutku juga rasanya rontok semua karena jambakan itu.
“Minta duit lo? Pake aja duit lo sendiri!! Masih untung kita gak nyuruh yang berat, tau?! Udah sana beliin!” omel Dara.
Duitku? Aku tidak punya duit. Jangankan untuk membelikan mereka minuman, untuk diriku sendiri saja rasanya duit ini tidak cukup.
“Cepetan!” bentak Leona saat aku masih terdiam di lantai.
Aku segera bangkit dan menuju kantin. Sebenarnya aku ada uang simpanan, ini untuk uang jajan besok, tapi tak apalah. Aku bisa puasa sehari besok. Yang penting mereka senang.
Belum jauh aku berjalan, Nesa dan Leona sudah kembali bersuara. Mereka teriak-teriak dengan kesal. Bukan, bukan marah padaku. Mereka sedang mem-bully siswa lain yang lewat didepan mereka. Memang bukan hanya aku yang menjadi korban mereka, banyak juga siswa lain yang menjadi korban. Tapi hanya aku yang paling sering di siksa.
“Mana duit lo?! Siniin!”
Mereka malak siswa laki-laki itu. Aku heran pada mereka karena selalu memalak siswa lain, padahal mereka itu anak orang kaya. Apa uang jajan dari orang tuanya masih belum cukup untuk jajan mereka? Kenapa mereka selalu meminta uang pada siswa lain?
“Hei! Cepetan! Gue juga mau minum!” kata siswa laki-laki yang ada dibelakangku.
Aku terlalu sibuk melamun sampai-sampai tak sadar akan kehadirannya. Aku segera mengambil minuman coklat, jus Anggur dan jeruk yang Nesa minta dari kulkas ibu kantin. Setelah aku membayar semuanya, aku kembali ke kelas untuk menemui Nesa dan kedua temannya.
“Nah, punya duit juga kan lo? Kenapa tadi masih minta?!”
“Itu duit jajanku besok, Nes. Aku pakai untuk beli minuman kalian,” jawabku jujur.
“Ck, gak enak!”
Leona membuang sebotol penuh jus anggur yang tadi aku belikan untuknya. kini lantai menjadi basah karenanya. Dan kau tahu siapa yang harus membersihkan ini? Ya jelas aku lah. Nesa menyuruhku membersihkan lantai dengan baju sekolahku! Tidak, tentu saja aku menolak. Tapi Nesa memaksa dan aku akhirnya menurut. Terpaksa rompi baju sekolah aku gunakan untuk mengepel lantai.
Bajuku kotor dan bau jus, warnanya berubah coklat karena itu. Parahnya, Nesa menyuruhku memakai rompi itu setelah di gunakan untuk mengepel. Bau, aku bau seperti jus anggur dengan campuran pasir yang membuat seluruh tubuhku gatal.
Aku hanya bisa menerima setiap perlakuan mereka. Mungkin ini sudah takdir. Aku tidak bisa melawan, atau membalas mereka. Aku terlalu lemah untuk itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent
Teen FictionNamaku Raya Arinda. Aku jarang sekali bicara. Dalam sehari, aku bisa menghitung berapa kali aku bicara. Orang-orang sering menyebutku silent, pendiam atau apapun yang mereka suka. Aku memang tidak suka banyak bicara, aku pikir aksi lebih baik dari p...