Aku menangis, ya hanya itu yang bisa aku lakukan. Untuk gadis berusia 18 tahun yang suka kue donat coklat seperti ku, tidak banyak yang bisa aku lakukan. Menangis adalah satu-satunya cara meredam emosi.
Lututku sakit, perih dan berpasir. Leona melumat nya, aku tidak bisa menolak. Padahal luka karena didorong ayah kemarin belum sembuh, sekarang sudah ditambah lagi dengan ini. Beberapa menit setelah Nesa dan teman-temannya pergi, aku bangkit dan berjalan menuju kelas. Aku pasti terlambat, belum sudah berbunyi dari tadi, sedangkan aku masih beringsut dengan ingus.
Tertatih-tatih aku berjalan. Ku lihat kelas sudah ramai, tapi syukurlah guru belum datang. Aku segera masuk dan duduk di tempat duduk ku. Disebelah ku ada Alvin, dia memperhatikan ku dengan seksama. Agaknya dia heran melihatku datang dengan wajah sembab sehabis menangis.
“Lo kenapa?”
Aku hanya menggeleng. Aku tidak mau Alvin terlibat dalam urusanku. Dia masih murid baru, jangan sampai Nesa ikut membully nya karena aku dekat dengan dia.
“Kok lo nangis? Kenapa? Perasaan tadi lo baik-baik aja,”
Alvin memperhatikan wajahku dari dekat, sedetik kemudian aku merasa jantung ini berdebat kencang. Baru kali ini ada orang yang bertanya kepadaku se-peduli dia. Biasanya, orang tidak peduli. Mereka bahkan tertawa saat aku di bully oleh Nesa atau Leona. Tak apa, aku sudah biasa.
“Aku gak papa, Vin. Cuma kelilipan aja,” ujarku.
Semoga setelah ini dia tidak bertanya lebih lanjut. Aku bingung harus jawab apa. Lagi pula dia siapa, sampai harus tau tentang aku?
“Beneran? Tapi lo kaya habis nangis,”
“Beneran. Aku gak papa,”
Alvin terdiam. Dia mengangguk paham, agaknya dia tidak curiga padaku. Untung saja guru segera datang, jadi dia tidak ada waktu untuk mengintrogasi ku lebih lanjut.
Jujur, aku ingin sekali cerita pada Alvin tentang apa yang aku alami. Tapi, aku juga takut kalau Nesa tau, dia akan marah dan semakin menyiksaku. Bagaimanapun juga, rasa benci Nesa tidak pernah ada habisnya. Dia selalu membenciku, entah karena apa. Aku sendiri masih mencari tahu soal itu.
Saat Alvin melihatku dari dekat, aku rasanya ingin berterus terang padanya. Aku ingin ada satu saja insan di bumi yang mau mendengarkan kisahku. Aku ingin ada orang yang bisa dijadikan tempat mengadu, tempat berbagi cerita, tempat menumpahkan keluh kesah, tempat ku bersandar dan tempat ku menangis. Tapi semua itu hanyalah angan semata, tidak ada orang yang mau berteman dengan anak tukang gado-gado sepertiku.
Alvin? Dia hanya belum tau saja, jika suatu saat dia tau aku anak orang miskin, mungkin dia akan menjauhiku seperti anak-anak yang lain.
Setengah jam berlalu, akhirnya Nesa dan kedua temannya datang. Mungkin mereka baru saja berganti pakaian sehabis latihan cheers tadi. Seperti biasa, Nesa menatapku sinis. Aku berusaha bersikap biasa, tapi tetap saja kakiku goyang karena gugup.
“Lo kenapa?”
“Maaf, aku goyangin kaki kalo lagi gugup,”
Mungkin Alvin merasa heran karena aku yang terus menggoyangkan kaki kalau gugup. Atau mungkin juga dia merasa terganggu? Entahlah, baru kali ini ada yang menegurku soal kebiasaan aneh ku ini. Biasanya tidak ada, karena aku duduk sendiri.
Nesa yang duduk di deretan bangku depan bersama teman-temannya kini tak lagi menatapku. Tapi gugup ku masih belum hilang. Kaki terus saja bergoyang bak sedang ber disko.
Saat pulang sekolah, aku kembali duduk di halte untuk menunggu bis. Aku harap, kali ini aku tidak ketinggalan bis. Lelah rasanya berjalan kaki, jarak yang harus di tempuh bukanlah dekat. Bisa patah kakiku jika harus berjalan lagi.
Dari kejauhan aku melihat Alvin yang menunggangi kuda besinya, dia di hampiri tiga gadis cantik yang tak lain adalah Nesa, Leona dan Dara. Mau apa mereka?
“Hay, Alvin!” sapa Nesa sok ramah.
Alvin hanya tersenyum. Dia ingin menciptakan kesan baik di hari pertamanya sekolah. Termasuk dengan Nesa.
“Sejak tadi, gue belum kenalan sama lo. Kenalin, gue Vanesa, panggil aja Nesa biar akrab,” katanya kemudian sambil menjulurkan tangan, dengan maksud untuk bersalaman dengan Alvin.
“Alvin,” balas cowok berjaket hitam itu.
Ya, Alvin memang tampan. Kulitnya yang tidak terlalu putih tapi bersih, senyum manis nan menggoda, serta gaya rambut yang modern menjadi pengikat kaum hawa. Tak heran kalau gadis sekelas Nesa kepincut dengan ketampanannya.
“Hay, Alvin. Gue Leona, temennya Nesa,” ucap Leona pula.
“Gue Dara, temennya Nesa juga,”
Alvin hanya mengangguki ucapan mereka. Tidak perlu salaman lagi, sebab mereka juga pasti sudah tau namanya siapa.
Sesaat kemudian, pandangan Alvin teralihkan oleh sosok gadis berambut panjang yang sedang duduk sendirian di halte depan sekolah. Siapa lagi kalau bukan Raya? Cewek pendiam yang duduk sebangku dengannya. Dia terus memperhatikan gerak-gerik Raya yang kelihatannya sedang bersenandung riang. Terlihat dari gerak bibirnya yang tampak sedang mengalunkan lirik lagu.
Nesa mengikuti arah pandang Alvin dan menemukan Raya di halte sana. Sial, kenapa malah gadis kampung itu yang dilirik? Pikir Nesa sebal. Senyum kecil terbit begitu saja di bibirnya saat ada rencana jahil yang melintas di otaknya.
“Alvin, lo mau pulang kan? Silahkan,” ucap Nesa, kesannya mengusir.
Tapi Alvin tidak menolak. Ia segera tancap gas dan melesat pergi.
Nesa mendekati Raya yang masih duduk di halte. Mungkin hari ini bis nya telat datang. Sudah hampir 10 menit dia menunggu tapi tak kunjung datang.
Sedang asik bersenandung, tiba-tiba Nesa datang dan menempeleng kepala Raya hingga rambutnya beralih posisi.
“Heh, cewek kampung! Lo pake pelet apaan sampe Alvin segitunya banget merhatiin lo?!” bentak Nesa.
“Pe—pelet apa? Aku gak ngerti,”
“Alah, gak usah pura-pura, deh lo! Lo pasti udah ngasih guna-guna sama Alvin, kan? Biar dia kepincut sama lo, iyakan?!”
Raya menggeleng, ia sama sekali tidak mengerti dengan maksud Nesa. Pelet? Guna-guna? Apa maksudnya?
Dara datang mendorong Raya hingga ia terjatuh, bajunya kotor bercampur lumpur.
“Dasar cewek kampung, gak tau malu! Cowok sekelas Alvin mau di gebet, gak waras lo?!”
Menahan isak, Raya bangkit dengan baju yang sudah kotor karena lumpur. Habislah ia, ibunya pasti akan marah karena ia pulang dengan keadaan kotor. Sementara Nesa dan kedua temannya tertawa jahat melihat penampilan Raya yang tak serupa pelajar.
Leona mengambil ponsel dari saku bajunya dan memotret Raya. Berbagai pose dan angel dia dapatkan. Pas untuk di posting di status, pasti banyak yang suka dengan itu.
“Ya, ampun! Bidadari dari mana ni? Cantik banget!”
“Bidadari dari got!”
Mereka kembali tertawa saat satu like mendarat di postingan Leona. Melihat Raya penuh lumpur dengan sedikit air mata membasahi pipi menjadi kesenangan tersendiri bagi mereka.
Sementara Raya hanya bisa menangis dalam diam. Tangannya meremas rok sekolah yang sudah kotor bercampur bau yang tak sedap. Rasanya ingin mati, tidak sanggup ia mengahadapi hidup yang keras seperti ini. Ia sudah tidak tahan. Apa yang seharusnya dia lakukan? Menangis? Bahkan air mata pun sudah enggan keluar.
Dengan langkah gontai, ia berjalan pulang. Naik bis? Oh, dia sudah tidak mampu menghadapi komentar orang yang akan menutup hidung saat ia lewat di depannya. Lututnya yang luka kini bercampur baunya lumpur, apakah akan infeksi? Biarlah, Nesa pasti senang kalau dia semakin tersiksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent
Teen FictionNamaku Raya Arinda. Aku jarang sekali bicara. Dalam sehari, aku bisa menghitung berapa kali aku bicara. Orang-orang sering menyebutku silent, pendiam atau apapun yang mereka suka. Aku memang tidak suka banyak bicara, aku pikir aksi lebih baik dari p...