“Mana uang kamu?! Sini kasih sama aku!!”
“Gak ada! Ini uang untuk Raya sekolah,”
“Siniin!”
“Nggak, Mas! Jangan!”
terdengar suara gaduh dan beberapa barang yang dilempar. Aku langsung bergegas masuk ke rumah untuk mengecek keadaan. Takut kalau ayah kembali berbuat kasar pada ibu.
“Minggir, Kamu!”
Aku melihat ayah dan ibu rebutan dompet yang aku kenal. Itu dompet ibu, ibu selalu menaruh uang hasil jualannya di dompet itu. Dan apa yang ayah lakukan? Ingin mengambil uang itu?
“Ayah! hentikan!” teriakku.
Aku berusaha membantu ibu dan menghentikan ayah yang sedang marah. Bau alkohol, Apa ayah mabuk lagi?
Aku menarik-narik tangan ayah supaya menjauh dari ibu. Ayah marah dan mendorong kita hingga membentur tembok. Tapi aku tetap berusaha membantu ibu.
“Ayah, jangan! Itu uang ibu, Yah!” kataku sambil menjauhkan ayah dari ibu.
Aku melihat ibu sudah menangis tersedu-sedu sambil mempertahankan uangnya. Aku tahu uang itu tidak seberapa nilainya, tapi bagi kami uang itu sangat berharga. Uang pecahan lima ribu rupiah itu sangat berharga bagi kami yang sama sekali tidak pernah memegang uang merah.
“Ah! Minggir kamu!”
Lagi-lagi aku didorong hingga jatuh. Lutut ku sakit karena bergesekan dengan lantai yang sudah pecah. Sepertinya luka juga.
Mau melawan bagaimanapun aku tak akan bisa menandingi kekuatan ayah, dia memiliki tubuh gemuk dan besar, ototnya juga lumayan. Ibu saja sampai kewalahan melawan ayah, apalagi aku? Ayah terus berusaha merebut uang yang tak seberapa itu. Aku bangkit untuk menghalanginya meski lutut rasanya mau copot.
“Jangan, Yah! Ini untuk uang sekolah Raya!” kata ibu memelas.
Ayah tak perduli, ia tetap mengambil paksa uang itu. Ayah pergi sambil kembali mendorongku dan kembali jatuh ke lantai. Sekarang bokongku yang terasa sakit. Aku lihat ibu menangis sambil memegang dompet yang sudah kosong. Ayah benar-benar tega mengambil uang itu dari ibu. Tidak tahukah dia kalau uang itu sangat kami perlukan?
“Ibu,” aku memeluk ibu dan ikut menangis.
Ibu pasti sedih karena uang hasil jualan gado-gado nya dirampas oleh ayah. Aku juga merasa kecewa karena ayah hanya bisa menyusahkan kami. Ayah tidak pernah mau bekerja, dia hanya bisa santai-santai sambil goyang kaki, mabuk-mabukan, dan merebut uang ibu. Kadang ayah juga mencopet kalau ibu tak mau memberikan uangnya.
Aku benar-benar heran, kenapa memiliki ayah seperti itu. Dan kenapa juga ibu mau menikah dengan laki-laki tak berotak itu.
“Maafin Raya, Bu. Kalau aja Raya datang lebih cepat, mungkin uang ibu gak diambil sama ayah,” kataku dengan mata sembab sehabis menangis.
“Nggak, Raya. Ini bukan salah kamu. Ini salah ibu karena gak hati-hati naruh uang. Jadinya ketahuan sama ayah,” ucap Ibu dengan senyum sok tegar nya.
Aku tahu ibu sangat sedih dan terluka melihat kelakuan ayah yang seperti itu. Ibu selalu begitu, terlihat kuat dan tegar meski didalam hatinya ia sangat lemah. Itu mengajarkanku untuk menjadi seperti dia.
menjadi wanita kuat dan tegar seperti ibu adalah cita-cita ku sekarang. Aku pun tersenyum saat ibu membelai rambutku. Dia selalu begitu, bisa membuatku tersenyum dengan perlakuan sederhananya. Oh, Ibu! Kau adalah panutan terbaik untukku.
“Kamu udah pulang? Bantu ibu siap-siap, yuk! Kita jualan gado-gado,” kata ibu.
Aku mengangguk dan segera membantu ibu bersiap. Sebelum itu aku lari ke kamar untuk ganti pakaian. Ibu jualan gado-gado didepan rumah, memanfaatkan skill nya membuat gado-gado sebagai sumber penghasilan kami. Gado-gado buatan ibuku sangat enak, banyak tetangga yang sudah berlangganan gado-gado dengan ibuku.
Kalau ada acara pengajian atau arisan, Gado-gado ibuku pasti kebanjiran pesanan. Di teras depan rumah, aku duduk sambil belajar. Menunggu pembeli datang sambil mengerjakan PR menjadi kebiasaan ku. Sedangkan ibu mengerjakan pekerjaan rumah lainnya yang belum selesai.
Aku kembali mengingat uang itu. Dengan mudahnya aku membelanjakan uangku untuk membeli minuman Nesa dan teman-temannya. Tapi untuk besok, aku bisa jajan atau tidak? Uangku sudah habis. Dan ayah baru saja mengambil uang ibu. Apa besok aku bisa jajan, aku pun tak tau. Semoga saja hari ini gado-gado ibu laris, jadi aku bisa minta uang lagi. Tapi ... aku tidak mau ibu tau kalau uang jajan ku untuk satu minggu ke depan habis hari ini. Dia pasti akan curiga, kenapa aku bisa seboros itu?
Ah, udah deh. Besok puasa aja. Pikirku. Itu jalan terbaik.
Malam ini aku kembali melihat bintang di langit. Enaknya jadi mereka, bisa bersinar ditengah gelapnya dunia. Bisa melihat alam semesta dari ketinggian, bisa disukai banyak orang, dicintai banyak orang, dan diharapkan banyak orang. Mereka pasti bahagia.
Tidak sepertiku. Aku selalu saja tersiksa, tidak disekolah atau di rumah, selalu saja disiksa. Hari ini aku dapat hadiah berupa luka lutut dari ayah. Besok entah hadiah apalagi yang akan ku dapatkan. Disekolah aku juga mendapat hadiah, Nesa menamparmu karena sempat melawan ucapannya. Besok, mungkin hadiah ku akan bertambah lagi.
Menyedihkan, itulah gambaran hidupku. Jauh dari kata bintang yang bersinar di atas sana. Aku bagaikan kotoran ayam yang tidak diinginkan. Aku hina dimata semua orang, Orang-orang memandangku sebelah mata, mereka melihatku seperti melihat najis yang pantang disentuh. Terserah! Aku bisa lebih bersinar dari bintang. Aku yakin itu.
Aku selalu berharap ada satu saja orang yang bisa menjadi temanku berbagi cerita, tapi itu hanya harapan yang sangat mustahil terkabul. Sendiri lebih baik.
Aku masuk ke rumah untuk segera tidur. Besok ada hari berat yang harus aku hadapi, dan itu membutuhkan tenaga.
Saat pagi tiba, aku segera berangkat ke sekolah. Sialnya, aku ketinggalan bis. Alhasil aku harus berjalan ke sekolah yang jaraknya cukup jauh. Matahari semakin manjat ke atas, sial! Aku telat.
Aku makin sial lagi karena saat menyebrang jalan, aku hampir di tabrak pengendara motor. Bukan dia yang salah, aku yang salah karena tidak hati-hati. Pengendara motor itu sempat membuka kaca helm full face-nya. Tapi aku tidak berbicara lebih jauh selain minta maaf. Aku sudah terlambat, aku segera ambil langkah seribu menuju ke sekolah.
Untunglah gerbang masih dibuka. Aku masuk dan segera menuju kelas. Mata pelajaran pertama adalah bahasa Indonesia. Gurunya dikenal killer dan untung saja aku berhasil menyelinap masuk kelas tanpa ketahuan.
“Anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru. Dia anak pindahan dari Bandung. Ayo masuk!” kata guru berjilbab syar'i itu sambil mempersilahkan anak baru masuk.
Aku tidak terlalu peduli dengan itu. Mau ada anak baru atau tidak, tetap tidak akan berpengaruh pada diriku bukan?
Tapi, tunggu! Aku kenal mata itu. Anak baru itu memakai jaket warna hitam dengan resleting yang terbuka. Dia juga memakai tas punggung yang hanya di pakai disebelah kanan pundak saja. Aku ... aku kenal dia! Ya, dia adalah orang yang hampir menabrak ku tadi pagi.
“Silahkan perkenalkan diri kamu,” pinta bu guru.
“Perkenalkan nama saya Alvin, Saya anak pindahan dari Bandung. Semoga kalian bisa menerima saya dan berteman baik,” ucap anak baru itu.
Oh, jadi namanya Alvin. Para siswi centil dan ganjen langsung gencar menggombali dia. Ada yang nanya udah punya pacar atau belum? Masih single kan? Mau jadi pacar aku gak? Dan bla bla bla. Pertanyaan lain seputar Pacar terus aku dengar sebelum Bu Ayu angkat bicara.
“Sudah, sudah! Kalian ini, kalo lihat yang bening sedikit aja, langsung di gombalin. Alvin, kamu duduk di ... ” bu Ayu kelihatan kebingungan mencari tempat duduk, karena semua kursi sudah penuh.
Ada yang kosong, dan itu kursi disebelah ku. Aku memang duduk sendiri, tidak ada yang mau duduk bersebelahan denganku karena mereka jijik padaku. Terserah lah, aku lebih nyaman duduk sendiri. Dengan begini, aku bisa mengerjakan halangan tanpa dicontek siapapun.
“Disitu! Di Samping Raya,” lanjut bu Ayu atas ucapannya yang sempat gantung.
mendengar namaku di sebut, aku langsung duduk tegap. Apa? Disebelah Ku?
“Baik, Bu,”
Alvin berjalan mendekati ku. Pasti bu Ayu menunjuk bangku disebelah ku sebagai tempat duduknya. Aku lihat tatapan seisi kelas seperti macan yang siap menerkam mangsa. Matilah aku, Nesa menatapku tajam. Mungkin nanti siang aku akan dapat hadiah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent
Teen FictionNamaku Raya Arinda. Aku jarang sekali bicara. Dalam sehari, aku bisa menghitung berapa kali aku bicara. Orang-orang sering menyebutku silent, pendiam atau apapun yang mereka suka. Aku memang tidak suka banyak bicara, aku pikir aksi lebih baik dari p...