Teman?

5 3 0
                                    

“Hai, nama gue Alvin. Nama lo siapa?”

Aku merasa aneh saat Alvin mengulurkan tangan untuk berkenalan denganku. Bagaimana tidak? Aku yang selama ini hanya bicara pada angin dan daun yang bergoyang kini di ajak kenalan oleh makhluk tampan ini. Dengan ragu aku menjabat tangannya dan berkata, “Raya,” ujarku pelan.

Aku yakin, pasti diluar sana banyak orang yang kini menatapku iri. Terutama Nesa, sejak aku tidak lagi duduk sendiri, dia selalu menatapku sinis. Dia pasti tidak suka karena Alvin mengajakku berkenalan. Cepat-cepat aku melepaskan tangan Alvin yang masih berjabat tangan denganku.

Beberapa menit hanya kami lalui dengan diam. Silent, itulah yang kurasakan. Tak banyak perubahan yang terjadi saat ini. Aku mengikuti pelajaran seperti biasa, untungnya Alvin sudah punya buku paket sendiri, jadi dia tidak perlu menumpang padaku.

Saat jam istirahat, Aku bergegas membereskan buku-buku yang masih berserakan diatas meja. Aku harus segera keluar agar tidak berpapasan dengan Nesa  and the gang nya. Pasti sudah ada sesuatu yang ingin mereka rencanakan untuk mengerjai ku kali ini.

Untunglah, Nesa di panggil guru olahraga untuk ke ruang basket. Mungkin mereka mau latihan Cheerleader. Biasalah, namanya juga anak gaul. Kata mereka, belum afdol sekolahnya kalau belum ikutan chrees itu. Aku segera keluar kelas, renacanya mau ke perpustakaan. Tempat ternyaman di sekolah ini. Tapi saat sampai pintu, Alvin menghadang ku.

“Eits, mau kemana?”

“Mau ke perpus,” jawabku seadanya.

Alvin malah senyum-senyum tak jelas. Aku bukan anak indigo yang bisa baca pikiran orang ataupun tau maksud orang lain hanya dengan melihat gerak-geriknya saja. Aku tidak tau Alvin maunya apa, dia hanya tersenyum sambil menatapku.

“Kenapa?” akhirnya aku berani bertanya.

“Boleh ikut, gak?”

Tidak, Alvin tidak bisa ikut denganku. Akan ada bencana alam kalau dia ikut denganku.

“Bang Alvin!”

“Al! Calling Me!”

“Ganteng banget, sih! Jadi pengen nyium,”

Sementara aku sibuk berbincang dengan Alvin, siswi perempuan yang kecentilan sibuk menggoda sang empu. Ada yang sok kenal, ada yang sok deket, ada yang minta di telpon, ada yang pengen nyium. Aku tidak masalah jika mereka menggoda Alvin, aku juga tidak cemburu. Tapi Aku hanya risih ketika orang-orang itu menyebutku dengan ujaran kebencian dari mereka. Mengatakan aku seperti perempuan yang tidak ada harga dirinya didepan Alvin, mereka pasti tidak suka aku bicara dengan anak baru ini.

Aku tidak mau ambil pusing, Aku langsung saja menyelonong keluar kelas tanpa memperdulikan dia. Tapi sialnya, dia mengejarku sambil terus memohon untuk bisa ikut denganku ke perpus. Aku heran, kenapa dia lebih memilih ikut denganku ketimbang pergi ke tempat lain?

“Ray, Raya! Gue ikut sama lo aja, ya?”

“Raya, tunggu! Cepet banget, sih jalannya. Takut gak kebagian buku?”

“Raya! Tungguin gue, dong!”

Aku tidak menggubris ucapan Alvin. Aku malah semakin mempercepat langkahku saat kami melewati lapangan basket. Tentu saja disana ada Nesa, Leona dan juga Dara. Anggota utama tim cheers yang paling berbakat. Nesa memandangku aneh, dan itu adalah salah satu tanda aku akan mendapat hukuman darinya.

Akhirnya aku sampai juga di perpustakaan. Meski Alvin tak berhenti mengikutiku dari tadi. Entah apa maunya anak itu, dia selalu mengikutiku. Aku mengambil buku di rak yang sudah kutandai, nomor 72. Aku mengambil buku itu dan duduk di sudut perpustakaan untuk membaca. Aku selalu duduk di sudut, karena orang lain akak mengusirku jika aku duduk di tengah. Aku selalu diasingkan. Tidak ada satupun siswa yang mau duduk bersebelahan denganku, bahkan di perpus. Semua anak dari kelas sepuluh sampai Kelas dua belas membenciku. Entah apa masalahnya.

Aku tak peduli, aku di sekolah untuk belajar. Untuk soal teman? Aku sudah biasa sendiri. Cukup ditemani dengan handphone butut dan earphone saja sudah cukup. Aku bisa tenang dunia akhirat. Haha, bercanda. Aku hanya ingin membaca tanpa gangguan, itu saja.

Aku kembali menuju rak untuk mengambil buku bacaan baru. Dapat, tapi saat ditarik, bukunya tidak mau keluar dari rak. Aku dengan susah payah berusaha mengeluarkan buku itu. Ah, rupanya ini ulah Alvin. Dari sebrang rak, dia menahan buku yang hendak kuambil.

“Lepasin, Vin!” pintaku.

“Gak,”

“Lepasin!”

“Kayaknya gak bisa, deh!” jawabnya dengan mimik wajah tersenyum jahil.

Oh, astaga. Jangan bilang kalau Alvin juga akan membully ku disini, tak cukup kah satu sekolah menjadi pembully ku? Apa perlu Alvin juga membully ku?

“Kamu mau apa? Lepasin bukunya,” ujarku lagi.

“Gue mau temenan sama lo,”

Apa, teman? Apa aku tidak salah dengar? Alvin mau menjadi temanku? Tidak, aku pasti berhalusinasi. Tidak mungkin ada orang yang mau berteman dengan seorang siswa jelek anak seorang penjual gado-gado sepertiku. Apalagi Alvin, dari tampang nya saja aku sudah bisa menebak kalau dia adalah anak orang kaya, dia juga bisa mendapatkan teman yang selevel dengannya, tapi kenapa harus aku?

“Gak, aku gak mau temenan sama kamu! Lepasin bukunya,” tolakku lagi.

“Lo gak bisa ambil buku ini, kalo gak mau temenan sama gue,”

Baiklah. Aku masih ada buku lain yang harus dibaca. Aku bisa baca buku itu besok. Aku berjalan menjauhi Alvin menuju rak buku lain. Tapi, belum sempat aku baca buku, bel sudah kembali berbunyi. Padahal, buku ini sangat ingin aku baca. Kisah Romeo dan Juliet. Tapi, ya sudahlah. Aku bisa baca nanti.

“Gue tunggu di kelas, ya!” pamit Alvin.

Hah, jadi dari tadi dia menungguku? Terserah, aku tidak peduli. Aku segera keluar ruangan berbuku ini. Tapi di depan, aku di cegat oleh Nesa dan teman-temannya. Gawat, aku mau di apakan?

“Seneng ya lo sekarang? Udah punya temen sebangku, cowok tajir, ganteng, baik lagi. Seneng kan?!” bentak Nesa tempat di depan wajahku.

Leona mendekat dan menjambak rambutku. “Heh! Lo itu cuma anak tukang gado-gado, jadi gak usah sok kalau baru di deketin sama Alvin, ngerti gak?!” Bentuknya pula.

aku hanya meringis menahan sakit. Melawan? Tidak, aku sama sekali tidak bisa melawan.

“Hari ini lo masih bisa deket sama Alvin, tapi kalo besok lo masih caper sama dia, gue gak akan tinggal diem. Paham?!”

Aku mengangguki ucapan Nesa. Apa dia cemburu? Ayolah, masa iya seorang Nesa cemburu melihatku dekat dengan Alvin? Aku bahkan tidak bicara banyak dengannya tadi.

Leona menghempaskan ku dengan kasar ke lantai. Lututku sampai sakit, dan sepertinya membiru. Lantainya cukup keras, jadi lututku juga bisa luka. Kudengar Dara tertawa, pasti dia senang melihatku kesakitan.

Sesaat kemudian, Dara menginjak lututku dengan sepatu cheers nya, ia melumat lututku hingga aku bisa merasakan sakit dan perih yang luar biasa. “Arkh..!” Aku hanya bisa mengerang kesakitan, sedangkan mereka tertawa puas.

SilentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang