Bohong

2 1 0
                                    

“Assalamualaikum,”

“Waalaikumsalam,”

Aku menghampiri ibu yang sedang dikerumuni para pelanggan gado-gado nya. Untuk menghindari interogasi lebih lanjut dari ibu, aku langsung masuk ke rumah. Sayangnya aku kalah cepat. Ibu keburu melihat penampilanku yang lusuh dan bau busuk dari lumpur ini pasti mengundang rasa penasaran ibu.

Aku tak bisa mengelak saat ibu memanggil dan menghentikan langkahku. Aku hanya tertunduk malu. Apa yang harus aku katakan saat ibu bertanya nanti?

“Kamu kenapa? Kok bajunya kotor gini?”

“Maaf, Bu. Tadi Raya gak sengaja kepeleset dan jatuh ke lumpur,” jawabku berbohong.

“Kepeleset? Kok bisa?”

“Raya yang salah, Bu. Raya ceroboh, makanya sampe jatuh,”

Ibu menggeleng. Sepertinya dia jengah dengan kelakuanku. Terdengar dari desah napasnya yang berat membuatku semakin menyesali perbuatan ku hari ini. Aku sudah berbohong pada Ibu, apa aku salah jika berbohong agar ibu tidak mengkhawatirkan ku? Ah, aku ragu akan hal itu.

“Lain kali hati-hati ya, kalo jalan jangan sambil bengong. Sampe kotor begini, lho! Sekarang kamu mandi, terus makan ya,” ucap Ibu lembut sambil mengelus rambutku yang tentunya penuh dengan lumpur yang sudah mengering.

Aku kembali mengangguk, menuruti perintah ibu tercinta. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi setelah itu. Aku memang begitu, selalu diam sekalipun dengan ibu sendiri. Bagiku, diam itu lebih baik daripada harus berkata hal-hal yang tidak penting. Bukan apa-apa, aku hanya takut ibu khawatir padaku setelah ini, tidak lebih dari itu.

Mungkin orang akan berpikir, kalau aku yang sudah jelas menjalani hidup menderita di sekolah akan selalu pulang dengan air mata dan mengadu pada orang tua. Tidak, aku bukan gadis lemah. Aku lebih kuat dari yang mereka bayangkan, jika aku masih bisa memendam semua ini sendiri, lebih baik aku pendam. Walau ada pribahasa mengatakan, jangan pernah memendam masalah sendirian, tapi bagiku itu hal yang seharusnya aku lakukan.

Bercerita dengan orang tua hanya akan menambah masalah mereka, aku tidak mau menambah beban punggung mereka. Mereka sudah memikul beban yang jauh lebih berat dari pada aku. Akan sangat menyedihkan jika mereka ikut memanggul masalahku juga.

Selesai bersih-bersih dan makan malam, aku kembali duduk di depan meja belajar. Seperti biasa, buku menjadi temanku dimana pun. Namun, tiba-tiba nyeri di kepalaku datang. Membuat aku meringis kesakitan. Mungkin aku kelelahan, tapi darah yang menetes di atas kertas putih membuat aku kaget. Aku mimisan?

Cepat-cepat aku menyeka sisa darah di lubang hidung saat ibu mengetuk pintu kamar. Aku tidak mau dia khawatir melihatku berdarah. Buku ku juga ketutup kembali dan ku simpan jauh-jauh.

“Belum tidur?”

“Belum, Bu,”

Ibu duduk di ujung tempat tidurku. Aku berbalik agar bisa berhadapan dengannya.

“Ayah belum pulang?” tanyaku pula.

“Belum,”

Raut wajah ibu berubah sayu. Aku yakin ada keresahan yang melanda wanita hebat ku itu. Aku beranjak dan duduk di samping ibu. Mengelus pundaknya lembut.

“Ayah ... Masih suka nyopet ya, Bu?” tanyaku mengeluarkan unek-unek yang dari tadi menganggu pikiranku.

Ibu tersenyum. Ia tidak mau menjawab pertanyaanku yang memang tidak ada jawabannya. Lihat, bahkan ibuku sendiri tidak tau suaminya kerja apa. Aku merasa kasihan pada ibu, dia selalu jadi bulan-bulanan tetangga karena pekerjaan Ayah yang tidak halal. Pasti ibu sedih karena sering dijadikan buah bibir.

SilentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang