Chapter 1: What It Takes to Be a Doctor

241 13 4
                                    


Satu menit lagi di sini dan aku akan muntah!

Shal merasakan ada cairan yang merangkak naik pelan-pelan ke esofagusnya. Bahkan senyum secerah dan sehangat mentari milik Samael tidak bisa membantunya memahami materi siang hari itu. Serangkaian huruf-huruf Rune yang ada di layar telah berhasil membuat kepalanya berada di kaki!

Thée mou!

Shal menjerit lagi dalam hati karena merasa kepalanya sudah menggelinding di lantai. Meskipun begitu, ada sedikit rasa bangga karena dia berhasil merutuk menggunakan bahasa Yunani! How cool is that! Shal merasa keren sendiri walaupun dia tahu tidak akan ada soal tentang gerutu dalam ujian Mitologi nanti.

Terdengar suara lonceng tanda istirahat yang paling dinanti-nantikan Shal setiap hari Senin.

“Baik. Kelas kita cukup sampai di sini. Jangan lupa baca halaman 226 tentang futhark Anglo-Saxon untuk kelas minggu depan!”

Samael meninggalkan kelas setelah melempar senyumnya yang melegenda kepada para murid. Begitu ia tak terlihat lagi di pintu, Shal langsung lari menuju toilet.

***

“Sembuh begitu saja?” Valfred dari ras Werewolf kembali takjub dengan kemampuan Shal.

“Begitu keluar dari kelas, sakit kepalaku hilang, perutku ringan, dan aku merasa seperti baru dilahirkan!” Shal menyantap makan siangnya dengan lahap.

Valfred hanya bisa menghirup aroma peppermint dari botol sambil menatap Shal nanar. Kepalanya masih berdenyut dan dia tidak ada nafsu makan sama sekali. Kedua murid itu punya beberapa kesamaan, termasuk merasakan sakit kepala dan mual setiap kelas Rune. Di awal tahun pelajaran, keduanya langganan muntah di toilet sehabis kelas. Namun, seiring berjalannya waktu dan meningkatnya kemampuan self-healing Shal, perlahan-lahan Shal sudah semakin baik mengendalikan sakit di kepala dan perutnya.

“Semoga tahun depan kemampuanku semakin meningkat. Aku harap aku bisa menguasai bukan hanya self-healing, tapi on-the-threat-healing.”

Valfred mengerutkan dahinya karena tidak paham dengan istilah yang diucapkan Shal.

“Jadi tubuhku ini masih mengalami luka dan merasakan sakit. Setelah itu, baru tubuhku akan bekerja menyembuhkan luka dan menghilangkan rasa sakit dengan sendirinya. Aku harap, di kelas Rune tahun depan, saat melihat huruf-huruf itu, aku bahkan tidak merasakan sakit kepala sama sekali. Begitu “ancaman” muncul, tubuhku langsung sembuh dan mencegah rasa sakitnya! That is on-the-threat-healing!” jelas Shal dengan mata berbinar.

“Serius kamu menginginkan kemampuan seperti itu?” Amara, the cleverest Elf of the world--begitu Valfred dan Shal memuji sekaligus mengejeknya, angkat bicara.

“Is it a problem?”

Shal agak berhati-hati dengan kemampuan Amara dalam memprediksi masa depan. Tadi Shal hanya mengarang soal on-the-threat-healing. Namun, apakah mungkin kemamampuan itu benar-benar bisa dicapainya di masa depan?

Amara mengernyitkan dahinya, “Kamu tidak akan mau memiliki kemampuan seperti itu, Shal. Pain is a gift. Kita membutuhkannya supaya kita berhati-hati. Kita juga bisa belajar dari rasa sakit. Luka tidak selalu menyenangkan, tapi bukan berarti selamanya tidak diperlukan.”

Shal dan Valfred saling melempar pandang. Kalau soal kebijaksanaan, siapa yang bisa menyamai Amara? Dia suka bicara seperti orang tua.

“Mending sekarang kita ke kelas!” ajak Valfred kepada Amara dan Shal. Dia berusaha mengalihkan pembicaraan dari kebijaksanaan Amara yang tak terselami. Kedua murid perempuan itu pun setuju. Mereka langsung meninggalkan ruang makan.

The Dragon in Gingko Forest  (MAPLE ACADEMY YEAR 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang