1

3.5K 312 26
                                    

Langkah serempak diiringi ayunan tangan yang kaku di sisi tubuh masing-masing, mereka bertiga maju, mendekati tiang bendera. Mata-mata nanar yang mengikuti gerak-gerik membuat mereka gugup walau ini bukan  pertama kali mereka menjadi paskibra, mata-mata lelah dan bosan masih membuat mereka ingin mengemban tugas lain saja.

"Hana, pegangin gue. Gue mau pingsan."

Hana memutar bola mata lalu melingkarkan tangan kirinya di pinggang teman yang berdiri di sebelahnya sementara tangan kanannya tetap dalam posisi hormat. Padahal mereka berdiri di barisan paling depan, tetapi temannya itu tidak segan untuk bersandar pada bahunya.

"Bahkan jam sembilan aja belum ada, kenapa matahari seolah mengumumkan kalau sekarang sudah tengah hari?"

Banana berdecak. "Ning, berhenti komplain atau upacara ini bakal terasa lebih lama."

Ning diam. Ketika lagu Indonesia Raya mengalun indah dari kelompok paduan suara, dia ikut bersenandung lirih. Hana, dengan dahi berkerut dan mata memicing, mengikuti gerakan lamban bendera yang ditarik pelan oleh paskibra. Sampai akhirnya bendera berhenti di puncak tiang dan dan lagu Indonesia Raya berhenti, tatapan Hana masih terus naik ke atas, menatap rindu kelas-kelas ber-AC yang menyejukkan. Padahal semalam sudah berdoa agar hari ini hujan, tetapi ternyata tidak terkabul.

Matanya lalu menemukan sosok yang berdiri  di balkon lantai tiga. Mengenali siapa sosok itu, Hana menghela napas. Enaknya jadi Elizabeth Hakim, anak cantik dan pintar, bahkan tidak ikut upacara saja tidak dimarahi guru. Hana mengerutkan dahi, bertanya-tanya berapa tinggi cewek yang sedang diamatinya itu. Jika dirinya berdiri di balkon, teralis itu bisa setinggi dadanya, tetapi pada cewek itu teralis hanya mencapai lututnya.

"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

Suara Alona, anak kelas 10 yang diberi tugas untuk membaca teks pembukaan UUD 1945, terdengar lantang dan nyaring. Dengan bantuan mic yang terhubung dengan speaker model terbaru, suaranya bisa sampai terdengar ke luar gedung sekolah.

"Kenapa kegiatan upacara nggak dihapuskan? Menjemur anak-anak di bawah sinar matahari yang teriknya naudzubillah merupakan tindakan yang nggak berperikemanusiaan."

Mengalihkan pandangannya dari Eliz, Hana akhirnya memelototi Ning.

"Katanya mau pingsan. Pingsan aja sono, berisik." Dia juga sudah tidak tahan berjemur, tetapi ngomel panjang lebar tidak akan membawa mereka ke mana pun. "Lagian, yah, lo bisa-"

DEBUG!!!

Bunyi benda jatuh yang mendiamkan suara dan melambatkan waktu. Anak-anak berhenti berbicara dengan teman mereka, Alona berhenti di tengah prosesnya membaca pembukaan UUD, Ning membelalakkan mata lebar lalu menutup mulutnya dengan kedua tangan, Hana mengikuti arah pandangan temannya dan akhirnya mengetahui penyebab kesunyian itu. Seseorang menjatuhkan diri di depan para guru yang sedang berbaris, cairan merah keluar dari bawah rambutnya yang hitam panjang dan berkilau di bawah sinar matahari. Ketika akhirnya ada suara, itu adalah suara teriakan histeris dari banyak orang dalam satu waktu, memekakan telinga, memusingkan kepala, dan menyakiti hati.

Hana segera mambawa Ning yang masih berteriak ke pelukannya, menyembunyikan temannya itu dari adegan tragis di depan mata lebih lama.

Hana mendongak. Eliz tak ada lagi di tempatnya.

***

The Truth UntoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang