Chapter Six

581 53 6
                                    

Pic of Sean Cole above :)
Song: Moondust by Jaymes Young
••

" Dia ngga apa-apa kan, Ren? " ku dengar suara yang tidak asing berbicara dengan samar-samar. Mataku masih terlalu berat untuk kubuka dan begitu juga dengan tubuhku, semua energi yang ku punya berasa hilang semua. Seluruh tubuhku seperti terbuat dari jelly, akan gemetar jika aku mencoba untuk menggerakkan salah satu anggota tubuhku.

" Dia sangatlah beruntung karna kamu dengan cepat menelfon ku, Valon. Dia itu alergi dengan udang - "

" Yaelah, gitu sih gua juga udah tau kalo dia alergi. Tinggal jawab pertanyaan gua kayanya susah banget sih. " Ketus suara itu, yang aku tau sebagai Valon.

Cih. Kalo udah tau aku ini alergi ngapain coba mesen-mesen tempura lah, shrimp roll lah, bahkan Ia memesan coconut butterfly shrimp.

Emang Kak Valon ini kejam sekali.

" As I would like to say before someone rude interrupt me, alergi dia bukan alergi biasa, melainkan ini anaphylaxis, kasus yang sangat berbahaya bagi nyawa Nala. Ini bisa membunuhnya karena tenggorokkannya yang membengkak membuatnya jadi susah untuk bernafas. Ditambah lagi dengan pusing dan shock. Dia ini ngga boleh menyentuh udang, karna tangannya bisa menjadi bengkak dan merah-merah, sama juga dengan menghirup nya ataupun memakannya. Jadi mohon jagalah Nala sebaik dan sebisa kamu. "

Sehabis dokter itu buka mulut panjang lebar sampe bibirnya dower, akhirnya kedua kelopak mataku sanggup untuk diangkat.

Sesaat aku membukanya, pengheliatanku bertemu dengan sinar lampu yang sangat amat terang, membuatku menutup mataku lagi dan membukanya perlahan-lahan supaya bisa beradaptasi dengan cahaya di ruangan ini.

Kak Valon yang tadinya ingin membuka mulut untuk si Dokter Dower berhenti ketika Ia melihatku terbangun dari alam bawah sadarku. Mereka berdua langsung menatap ka arahku.

" Kamu butuh air putih? " tanya si dokter. Ternyata dugaan ku salah. Si Dokter ternyata ngga punya bibir dower, tipis malah iya, pas banget untuk bentuk mukanya yang sangat terlihat dewasa. Tapi dia masih terlihat seperti dokter muda, manis lagi, punya lesung pipit.

Aku hanya menganggukan kepalaku dengan cepat karna memang tenggorokkan berasa seperti terbakar. Belum lagi tatapan Kak Valon yang sangat dalam sehingga berasa seperti mengebor lubang yang sangat dalam di kedua mataku.

" Udah merasa mendingan? " Tanyanya dan langsung duduk di kursi yang tersedia di samping ranjang rumah sakit ini. Ia meletakkan kedua tanganya di sisi tempat tidur. Dengan lenganya yang panjang, aku bisa merasakan bulu kudukku langsung berdiri ketika jari-jarinya tidak sengaja menyentuh tangan kananku.

Aku hanya diam tak mengiraukannya sampai dokter itu memberiku segelas air putih.

" Kamu harus minum air putih yang banyak, jangan terlalu capek dan yang lebih penting lagi, kamu harus memberi tahu seseorang tentang alergimu itu supaya mereka bisa lebih berhati-hati lagi. " aku hanya mengangguk kepalaku ke si dokter dengan paham sambil menaruh gelas dimeja samping tempat tidur. Tetapi sebelum aku memutar badanku kearah meja, tangan Valon sudah meraih gelas tersebut dan menaruh nya di tempat.

" Biar gua aja. " Ucapnya dengan lembut.

Bullshit banget.

" Pil yang kamu punya itu ngga terlalu ampuh. Jadi aku saranin untuk memberi mu pulpen otomatis epinefrin injeksi yang bisa dibawa kemana-mana. Itu akan mereda alergi reaksimu dengan sangat cepat, dengan itu juga akan mengurangi keberbahayaan untuk dirimu ketika kau sampai di rumah sakit. " jelasnya panjang lebar sampai mulutnya berubah dower. Dan ternyata juga si Dokter Rendy belum selesai berbicara. Dia masih saja menjelaskan bagaimana aku menggunakan epinefrin tersebut dan menanyakan keadaanku sekarang ini. Ia juga memberitahuku kalau aku boleh pulang sehabis Dokter Rendy selesai menangani resep obatku.

Kak Valon yang sedaritadi diam saja akhirnya buka mulut sehabis Dokter Rendy keluar dari ruangan.

" Bayaran pengobatan jangan khawatir. Gua bakal bayar semuanya. "

Bagus deh kalau mau bayar. Lagian aku ngga punya uang. Bukannya aku matre, tapi sebagian besar ini salah dia karena sudah membuatku seperti ini.

" Jam berapa ini? " Tanyaku dengan nada monotone, masih menghindari tatapannya yang sangat dalam itu.

" Sembilan malem. Lo tidur selama kurang lebih enam jam. "

Mendengar ucapannya, mataku langsung membesar dan dengan cepat, aku bangun dari tempat tidur walaupun masih melanda sedikit pusing.

" Hey hey hey... Mau kemana? Kamu harus istirahat! " Ia juga bangun dari duduknya dan langsung menangkup kedua bahuku supaya aku tidak terjatuh.

Cih! Tumben pake "kamu" segala.

" Mau pulang. " jawabku dingin sambil memberontak.

" Nggak! Lo harus tunggu konfirmasi dari Rendy dulu! "

" Bodo ah! Pokoknya aku mau pulang! Injeksinya bisa kaka kasih ke aku disekolah. "

" Nggak bisa, Nala! Biar tunggu dokter aja baru nanti gua anterin pulang. "

" Aku bilang aku mau pulang! Capek aku sama kaka! Mulai sekarang jauhin aku! Sepertinya setiap aku dekat sama kaka pasti berakhir dengan menderita. Kaka tuh pembawa sial tau ngga!! "

Hening.

Dia hanya diam. Mulutnya seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi Ia menutupnya lagi, dan membukannya lagi, dan menutupnya lagi, seperti ikan yang tengah bernafas.

" Maaf... " bisiknya sangat lemah bahkan aku saja yange berdiri didepannya tidak mendengarnya.

" Maaf. " Ulangnya lagi dengan suara lebih lantang tetapi penuh arti. Aku menatap matanya dengan amarah, mencari kebohongan disana tetapi yang kulihat adalah sesuatu yang tak bisa ku deskripsi kan.

" Nggak usah minta maaf kak. Percuma, kalian berempat ngga bakalan aku maafin sampai aku mati juga. "

Dan dengan itu, aku menurunkan tanganya yang berad dipundakku dengan kasar sambil melirik matanya sekali lagi.

" Permisi. Aku mau pulang. Dan jangan pernah lagi berbicara denganku, termasul kawan-kawanku. " perintahku dan lekas keluar dari ruangan sehabis mengambil tas sekolahku yang berada di sofa dekat jendela.

Tubuhku merasa aneh. Bukan, bukan tentang alergi. Tetapi sehabis aku menginggalkan ruangan itu, hatiku merasa sesak. Sesak karena melihat tatapannya yang sangat sedih ketika aku keluar dari kamar tidur tersebut.

•••

" Makasih, kak. " Kataku dan langsung membuka pintu mobil yang sangatlah mahal ini.

" Anytime, Nala. " Barulah aku ingin keluar dari mobil, Kak Sean manarik tanganku kembali kearahnya dengan lembut. Matanya manatapku dengan penuh arti, " Ada apa, Kak? "

" Gua minta maaf atas kejadian di restoran tadi siang. Actually, kita semua minta maaf dan merasa bersalah. " Aku tidak menjawab, hanya menganggukkan kepalaku. Walaupun aku tidak akan pernah memaafkan mereka, aku terlalu capek untuk beradu mulut sekarang, lebih mending aku mengangguk saja.

Kak Sean melepaskan genggamannya dilenganku agar aku bisa keluar dari mobilnya yang mahal itu.

" Dan Nala... "

Apa lagi?

Barusan aja nurunin kaki dari mobil.

" Satu hal lagi. Hati-hati sama Valon. Kalo bisa jauhin dia. " Matanya menatapku dengan intens dengan suaranya yang terdengar begitu serius.

Dahiku langsung mengkerut akan perkataanya. Baru saja aku ingin bertanya apa maksudnya tetapi Ia telah menutup pintu mobil passenger seat nya dan melaju dengan cepat.

•••

HIYA... Jangan lupa untuk VOTE, COMMENT and FOLLOW yaa. xx

Almost ImpossibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang