Prolog

8 2 0
                                    

"Ini semua gara-gara kamu, Via!" marah Ayah kepadaku dengan wajah murkanya.

Aku yang sudah bercucuran air mata menatap pria di hadapanku ini. "Kenapa Ayah selalu nyalahin aku setiap Ibu drop?" tanyaku heran. Ini bukan pertama kalinya Ayah membawa-bawa namaku dalam sakitnya Ibu.

Ibuku tubuhnya memang lemah, badannya mudah tumbang. Tetapi demi membiayai aku sekolah, Ibu rela banting tulang mencari uang. Padahal, kondisi Ibu tidak memungkinkan untuk terus berjualan kue mengelilingi kampung atau bahkan ke jalan besar.

Kini badan Ibu terbaring lemah dengan kondisi satu tangan diinfus, mulutnya memakai alat bantuan pernapasan.

Sepulang sekolah tadi, aku melihat Ibu dan Ayah tengah bertengkar hebat di ruang tengah. Tanpa bertanya pun aku tahu apa penyebab mereka bertikai, yaitu karena keadaan ekonomi keluarga.

Ayah yang tidak mau bekerja, dan Ibu yang mati-matian berusaha untuk mendapatkan pekerjaan.

Ayah melarang Ibu bekerja karena wajah cantik Ibu selalu menarik pria lain di luaran sana sampai-sampai membuat Ayah cemburu.

Ibu yang tidak mendengarkan larangan Ayah, sebab jika menuruti, dia akan makan apa dan keluarga.

Ayah yang melarang keras aku sekolah karena menyusahkan harus mengeluarkan uang, dan Ibu yang berjuang keras menyekolahkan aku supaya aku tidak sepertinya.

Kata Ibu aku harus sukses, aku harus bisa menjadi mereka agar tidak selalu direndahkan. Ibu menyekolahkan aku agar masa depanku cerah.

Sifat kedua orang tuaku sangat bertolak belakang. Aku sedih karena sekarang sosok pahlawan di hidupku tengah memejamkan mata, belum sadarkan diri sedari tadi.

Kata Dokter sakit Ibu lumayan parah. Aku baru tahu kalau Ibu memiliki riwayat jantung. Biar kutebak ini pasti bentakan Ayah tadi siang di rumah, sebab aku sempat melihat Ibu memegang dadanya sebelum tak sadarkan diri dan dilarikan ke Rumah Sakit PeopleSick.

Itu artinya, selama Ibu berjualan kue di jalan besar pasti ada satu dua kendaraan yang mengklaksoninya, dan itu membuat jantung Ibu kaget.

Dan setiap adu mulut itu terjadi, mungkin Ibu sudah merasakan sakit ini. Lalu, mengapa Ibu tidak bilang kepadaku?

Mengapa aku baru mengetahuinya sekarang? Padahal, kata Dokter Eli Ibu sakit sudah beberapa bulan.

"Karena kamu itu pembawa sial! Gara-gara kamu, istri saya jadi sakit gini! Dasar tolol!" Jari telunjuk Ayah mendorong jidatku keras.

Aku hanya bisa menangis, memejamkan mata menerima rasa sakit di ulu hati atas ucapan Ayah.

Suaranya yang besar menggema di ruangan Ibu dirawat, sepertinya Ayah melupakan di mana kami berada. Suster datang dan menegurnya agar tidak mengganggu ketentraman pasien lain, Ayah hanya mendengus dan berlalu pergi meninggalkan suara dentuman keras setelah membanting pintu dengan kasar.

******

Aku mengusap peluh di dahi yang terus bercucuran. Teriknya sinar matahari membuat kepalaku pening. Aku cepat-cepat berjalan dan duduk di sisi jalan dekat pohon rindang, meneduh sebentar guna mengistirahatkan kakiku yang terasa pegal.

Kulirik beberapa lembar koran yang ada di genggamanku, masih banyak. Hanya terjual beberapa saja, dan uangnya sama sekali belum cukup untuk membayar biaya rumah sakit Ibu.

Aku mendesah, ternyata mencari uang itu tidaklah mudah. Baru dua keliling saja sudah capek begini, apalagi Ibu yang setiap hari berjualan dan mengelilingi kampung? Apa tidak capek? Ibu tidak pernah mengeluh, tapi kenapa baru segini saja aku menyerah?

ArrebatarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang