"Papa bilang, anak pertama itu bahunya harus sekuat baja, hatinya harus setegar karang dan sabarnya harus seluas samudra. Kakak pasti bisa 'kan, Pa?"
-Gaga
Lelaki beriiris hitam itu nampak gusar dalam duduknya. Jemarinya bergerak cepat diatas papan ketik ponsel, seperti tengah mengirim pesan. Bibir bawahnya ia gigit, menandakan remaja itu sedang tidak baik-baik saja.
Gaga menghembuskan nafas lelah kemudian meletakkan ponsel yang sedaritadi di genggamnya ke atas meja.
"Kenapa?" Tanya lelaki bername tag 'Adrian Alendra' yang tak lain adalah sahabat Gaga, ketika ia melihat raut lelah anak itu.
"Adek gue berantem," jawabnya singkat.
Adrian mengerutkan dahinya, ini sudah kesekian kalinya ia mendengar jawaban itu dari mulut sahabatnya. "Lagi?" Dan hanya dibalas anggukan oleh Gaga.
"Terus sekarang gimana? Lo dipanggil ke sekolahnya?" Tanyanya lagi sembari menyuapkan makanan kedalam mulutnya.
Lagi-lagi anggukan dari Gaga itu sebagai jawaban. Belum sempat laki-laki itu bersuara, ponselnya kembali berdering dan menampakkan nama sang Adik.
"Yan, nanti gue balik lagi ke sekolah. Kalau gue belum dateng, izinin ke guru mata pelajarannya, ya," ucap laki-laki jangkung itu sambil memasukkan ponselnya kedalam saku celana. Mengabaikan panggilan sang Adik, dan lebih memilih untuk mempercepat dirinya agar bisa sampai ke sekolah adiknya.
"Iya, nanti gue izinin. Tapi, Emang dibolehin keluar sama guru piketnya?"
"Bakal gue usahain. Pergi dulu, ya!" Ucapnya kemudian mulai berjalan menjauh dari kerumunan kantin.
_____
Gaga menyeka keringatnya ketika ia sudah memasuki bangunan sekolah adiknya. Tadi ia berlari dari parkiran yang berada diluar sekolah agar bisa cepat menemui adiknya. Jeje tak henti-hentinya menelpon, dan menyuruhnya agar segera sampai.
Sebenarnya Gaga tadi sempat kesulitan mendapatkan izin dari guru piketnya untuk keluar. Tapi, bukan Gaga namanya jika tak bisa meluluhkan hati sang Guru. Berbagai alasan ia utarakan agar bisa mendapatkan sebuah izin untuk menemui adiknya.
Setelah sampai diruang BK, netranya menangkap sosok sang Adik yang tengah duduk pada kursi diluar ruangan. Raut kesal tercetak jelas pada wajah anak itu. Dengan langkah cepat, ia menghampiri adiknya.
"Je!" Sapanya, diiringi dengan senyuman.
Yang dipanggil menegakkan tubuh ketika melihat siapa yang datang. Ia berdecak, menatap tak suka kearah Kakaknya. "Lama!"
"Kan dari sekolahan Kakak kesini jauh, A."
"Terserah. Cepet masuk, ditungguin sama gurunya," ucapnya dingin.
Gaga hanya mengangguk, kemudian melangkah masuk lebih dulu dan diikuti oleh sang Adik dibelakangnya. Setelahnya mereka duduk berhadapan dengan guru BK itu.
Tempat ini sudah tak asing bagi Gaga. Mungkin jika dihitung, ia bisa seminggu sekali masuk keruangan ini dan menemui Guru yang sama. Ya, memang sesering itu jeje melakukan kesalahan disekolah. Dan pada akhirnya Gaga juga yang bertanggung jawab untuk hal ini.
Banyak sekali alasan Jeje yang menyebabkan ia kembali masuk kedalam ruangan ini. Dari mulai tawuran, menghajar teman sekelas bahkan adik kelasnya dan juga ia pernah tertangkap basah merokok ditaman belakang.
Rasanya Gaga ingin memutar kembali waktu, ingin kemabali merasakan sikap Jeje yang dulu. Dulu, Jeje itu anak manja. Anak kesayangan Mama, Papa. Bahkan, ia juga sering meminta tidur bersama Gaga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tangguh; On Going
AléatoireIni tentang si tangguh yang tak pernah terlihat rapuh. Bahunya kuat, selalu siap untuk dijadikan sandaran bagi kedua adiknya. Ia yang berusaha menggantikan sosok ibu sekaligus Ayah dalam satu diri. Tugasnya menyalurkan bahagia, tanpa peduli bahwa di...