31

2.2K 403 81
                                    

Hari ketiga setelah Soobin pergi...

Wanita yang dulunya hanya peduli pada sang putra pertama, kini uring-uringan atas menghilangnya sang putra bungsu. Siapa lagi kalau bukan Sinbi alias bunda bagi kedua anaknya.

Saat ini saja, meski jarum jam masih menunjukkan pukul 07.15, ia sudah duduk manis di ruang kepala sekolah, hanya untuk menanyakan informasi mengenai Soobin.

"Pak... Tolonglah..." Sinbi memohon dengan wajah memelas.

Sayang sekali, wajah datar pak Kepsek tidak luluh seketika. "Maaf bu, tapi jawaban saya masih sama bahwa siswa atas nama Choi Soobin sudah bukan siswa di sini lagi."

"Bapak ini bercanda? Kok bisa? Saya sudah bayar SPP Soobin sampe dia tamat loh, pak..."

"Benar bu... Tapi Soobin bukan dikeluarkan melainkan pindah ke sekolah lain"

Mata Sinbi membola, "pindah? Kemana ya, pak?"

Yang ditanya segera menghela nafas pelan. "Soal itu, saya minta maaf karena tidak bisa mengatakannya pada siapapun, ini atas permintaan wali Soobin, jaga privasi katanya."

Sejenak, wanita paruh baya tersebut tersenyum sinis, "wali? Bapak pasti boong! Soobin gak punya siapa-siapa selain saya dan kakaknya, bapak jangan ngada-ngada ya."

"Saya serius, bu. Ada seorang pria yang mengaku sebagai walinya."

Sinbi mengangguk. "Okee.. Tapi wali doang kan, pak? Saya ibunya loh, masa iya dirahasiain dari saya?"

"Maaf bu, saya cuma menjalankan amanah."

"Pak.... Ayolah pak, anak pertama saya nanyain adiknya mulu.."

Sekali lagi dijawab dengan gelengan.

Merasa kesal, Sinbi berdiri sambil memukul meja, ia membentak "SAYA BISA LAPOR POLISI ATAS TUDUHAN PENCULIKAN ANAK LOH PAK! BAPAK MAU SAYA LAPORIN?"

Sayangnya dijawab santai. "Silahkan.. Toh, saya tidak ada sangkut pautnya dengan perginya anak ibu. Saya cuma menjalankan amanah.."

Saat ini, emosi Sinbi sudah sampai ubun-ubun. Entah marah untuk siapa ia sendiri tidak tahu. Pada kepala sekolah yang selalu menutup-nutupi, atau pada Soobin yang pergi tanpa jejak, atau juga pada sosok yang mengaku walinya Soobin. Ada rasa cemburu pada sang wali, cemburu karena Soobin lebih percaya pada sosok itu sebagai pelindung dibanding dirinya sebagai ibu kandung.

Sinbi benci dipersulit. Ia juga benci pada rasa bersalah. Pun ia benci tentang haknya yang diambil alih.

Lalu sekarang, semua itu menyatu datang menghampiri dirinya.

Ia sampai ingin gila rasanya.

"Pak... Soobin itu anak saya, saya lebih berhak tahu banyak dibanding siapapun. Jadi untuk apa bapak nutup-nutupin?"

"Maaf bu.... Lebih baik anda pulang, karena sampai kapan pun saya tidak akan memberi tahu. Tidak peduli anda adalah ibunya, neneknya, saudaranya atau tetangganya. Yang jelas, surat perjanjian sudah saya tanda tangani di atas materai. Dan saya tidak berani melanggar janji sendiri."

Pada detik ini, otak Sinbi sejenak berfikir keras. 'Orang seperti apa yang menjadi wali Soobin sehingga menggunakan perjanjian bermaterai?'

"...m-materai? Pake materai segala?"

"Benar bu, saya akan masuk penjara jika melanggar janji."

Lantas wanita itu melempar tatapan curiga "atau...... Jangan-jangan kalian sekongkol ya buat jual anak saya?"

"Astagfirullah, bu..." pak Kepsek mengelus dada sendiri, tidak habis fikir akan memdapat tuduhan seperti itu.

"Bener kan pak? Astaga... Kalau memang itu tujuan anda dan orang-orang itu, tolong hentikan. Kembalikan anak saya. Percuma aja bapak ngejualnya, gak akan ada yang mau membeli anak seperti dia, dia gak berguna sama sekali."

Zero O'ClockTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang