17

2K 359 113
                                    

Anak dan ayah itu tampak menikmati matahari pagi. Keduanya berbagi cerita dan saling tertawa jika ada yang lucu. Rasanya adem sekali, damai persis seperti yang Soobin bayangkan selama ini.

"Kamu jangan pernah sendiri ya" suasana tiba-tiba berubah menjadi serius. "Setidaknya kamu harus punya satu orang untuk diajak ngobrol. Kalo ada masalah atau keluhan jangan dipendam sendiri, bahaya. Nanti jatohnya seperti saya ini. Depresi itu muncul karena tidak adanya kepedulian orang lain, merasa sendiri menghadapi peliknya kehidupan. Paham kan?"

Soobin hanya mampu mengangguk.

"Dulu ketika usaha saya bangkrut, saya tidak punya siapa-siapa untuk diajak berbagi. Istri yang harusnya ngasih semangat malah marah-marah setiap hari. Mencaci maki karena suaminya gak becus ngurusin bisnis. Saya gak tau mau lari kemana saat itu, gak tau mau minta dukungan siapa. Mau cerita ke anak pun gak mungkin, dia udah punya beban sendiri dan rasanya bakal gak adil kalo dia ikutan mikirin masalah saya. Mau gak mau saya pendam aja sendirian, malu juga buat nangis walopun sebenarnya kadang gak sadar nangis tengah malem."

Ia menghela nafas.

"Dalam keadaan terpuruk itu diperparah oleh istri yang ngancem minta cerai. Dia ngancem mau bawa Yeonjun pergi jauh biar saya gak bisa ketemu lagi. Saya makin tertekan, orang tua mana yang mau dipisah sama anaknya? Orang tua mana yang sanggup gak kontakan sama anaknya? Orang tua mana yang gak sedih kalo anaknya dibawa pergi?"

Tapi ayah lupain aku, loh.

"Saya sedih, Soobin. Saya menangis minta sama Tuhan agar diberi kemudahan hidup. Agar istri saya gak bawa pergi Yeonjun jauh-jauh. Saya rasanya gak sanggup kalo gak bisa liat anak lagi. Tapi dalam doa itu, saya juga merasa lelah dengan hidup, dikasih istri yang keras dan anak yang harus menjalani hidup tanpa bisa melihat. Kadang saya berfikir, dimana letak dosa saya hingga diberi jalan hidup sepelik ini? Dosa sebesar apa yang saya lakukan di kehidupan sebelumnya hingga mendapat hukuman seperti ini? Saya bahkan tidak punya siapa-siapa untuk diajak berbagi cerita kesusahan.

Anak saya, saya tidak tahu kabarnya bagaimana tapi mudah-mudahan dia baik-baik saja. Menjalani hidup tanpa beban berat dan semoga dia bahagia selalu. Apakah anak dan istri saya masih berada di rumah yang sama atau tidak, saya harap kami masih bisa bertemu. Saya harap Yeonjun bisa segera mendapat pendonor dan melihat lagi. Saya harap Yeonjun bisa beraktivitas layaknya orang normal. Saya harap, apa yang terjadi saat ini hanya dirasakan oleh saya. Anak saya, jangan. Cukup saya."

Soobin menangis, bukan karena seberat apa hidup yang dijalani ayah selama ini namun terlebih karena ternyata sepenting itu kak Yeonjun di mata ayah. Tapi kenapa aku gak gitu juga? Kenapa aku justru dilupain?

"Kamu masih di sini?" mereka berdua menoleh pada sumber suara yang sama.

Min Yoongi di sana.

"Kamu gak masuk sekolah?"

Dan Soobin hanya mampu berkedip-kedip kebingungan. Mata merahnya tak berpaling dari wajah penuh amarah Yoongi.

"Pulang, Soobin!"

Sontak remaja itu menggeleng cepat.

"Kamu gak pulang dari semalam dan sekarang bolos sekolah? Pulang atau saya paksa?!"

"Eng-enggak mau"

"Bundamu mungkin aja khawatir saat ini"

Soobin masih menggeleng.

"Ini bukan hotel atau wisma. Ini rumah sakit jiwa, kalo mau tinggal di sini, kamu harus sakit jiwa dulu."

"Dok...."

"Panggil papa, Soobin" Ralat Yoongi.

"Pa...."

"Oh, ini anaknya dokter?" Hoseok yang sejak tadi hanya menyimak ikut nimbrung. Dan Yoongi memutar bola matanya.

Zero O'ClockTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang