D E C E P T I O N

687 77 87
                                    

"Eommaaa gendooong..."

Dengan manja bak putra raja, Jisung meminta sang ibu untuk mengangkat tubuhnya ketika ketiganya menuruni mobil di area sekitar rumah.

Awalnya Mingi mengatakan dengan sabar bahwa Jisung sudah besar, tahun ini sudah masuk sekolah dasar. Kenapa masih meminta untuk digendong sampai ke dalam rumah? Manja sekali.

Tapi pipi tembam putra sulungnya yang sangat menggemaskan itu melemahkannya. Jadi ujung-ujungnya tetap saja ia memberikan apa yang putranya inginkan.

Dan melihat itu si bungsu tidak mau kalah.

"Eomma, Taeyoung juga! Taeyoung juga!"

Bocah TK yang tampak lebih menggemaskan itu membuat Mingi lebih tidak bisa menolaknya.

Pada akhirnya ibu dua anak itu mengangkat tubuh mungil kedua anaknya dan membawanya di dada, berjalan hingga mencapai pintu masuk dan berusaha membukanya dengan susah payah sebelum ketiganya tiba di ruang tamu.

"Aku pulang."

Ia bisa melihat sosok Leedo berdiri di sana, berada lima meter di depan mata. Seperti menyambutnya, tapi tidak. Hanya melempar tatapan dingin, pria itu bahkan tidak menanggapi ucapan salam sang istri sama sekali.

Mingi yang sudah bisa membaca apa yang terjadi segera menurunkan tubuh kedua putranya.

"Kalian buka baju saja dulu. Nanti eomma akan menyusul, oke?" Ia meminta anak-anaknya untuk pergi ke kamar mandi lebih dulu sebelum ia memandikannya.

"Dari mana saja kau? Kenapa baru kembali selarut ini?" Leedo melipat kedua tangan, matanya yang menatap sengit mengintimidasi seisi ruangan.

"Seperti yang kau lihat, aku baru saja kembali di malam hari. Aku kelelahan. Bisakah kau menyambutku lebih buruk dari ini?" Mingi menjawab sinis dalam intonasi datar dan senyum angkuhnya.

"Jangan membalas pertanyaan dengan pertanyaan."

"Leedo, kukira kita harus bicara."

"Seharusnya aku yang berkata begitu."

"Tidak, tidak. Aku serius. Aku memiliki sesuatu yang krusial di sini yang menyangkut hidup dan matiku."

Kening Leedo mengerut, menampilkan garis-garis dewasa yang sudah muncul semakin timbul.

Hidup dan mati? Sepenting itukah?

Dengan begini ia mengalah.

"Baiklah. Katakan."

Sempat ia menunggu beberapa detik jeda yang Mingi ciptakan sebelum dengan sedikit ragu Mingi mengatakan, "Kapan terakhir kali aku lupa mengonsumsi pil kontrasepsiku?"

Kerutan di dahi Leedo makin berlipat-lipat.

"Ada yang salah dengan itu?"

"Jangan membalas pertanyaan dengan pertanyaan." Mingi melempar balik senjata. Leedo sempat berpikir bahwa Mingi benar-benar tidak kreatif untuk memparafrase, coret, menyalin keseluruhan kalimat miliknya.

"Aku tidak ingat. Itu bukan urusanku. Memang kenapa?"

Tangan Mingi mengepal kuat, menahan emosi buruk yang nada dingin Leedo buat.

"Bukan urusanmu kau bilang? Lalu jika hubungan kita menghasilkan anak, kau masih akan mengatakan bahwa itu bukan urusanmu?"

"Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?"

"Aku merasakan ada tanda-tanda hari ini. Jadi setelah menjemput anak-anak tadi aku langsung mendatangi dokter kandungan."

Sekujur tubuh Leedo terasa lemas seketika. Ia tidak menyangka bahwa hari ini akan tiba. Saat-saat dimana Mingi akan mengatakan apa yang selama ini ingin ia dengar. Apakah kali ini firasatnya benar?

MENDA-CITY 🖥 YunGi [⏹]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang