02🌻

8 1 0
                                    

Di tengah pelik matahari siang hari Kiana  berdiri di tenang di tengah-tengah kerumunan orang-orang yang sibuk bermain basket di lapangan.

Mereka menyoraki, memberi semangat untuk seseorang yang dianggap kekasih atau hanya sekedar melepas merehatkan mata karena harus bertempur dengan pelajaran matematika sebelumnya.

Kiana adalah salah satunya.

Dari kejauhan, Kiana menatap kearah lapangan, bukan untuk menyaksikan cowok-cowok angkatan sebelas bermain basket, namun matanya tersorot tajam pada seorang lelaki yang tengah duduk di atas tribun sendirian.

Ia sibuk membaca, sekedar membaca atau apalah yang dibacanya. Yang jelas, ia sedang berada dalam intaian Kiana.

Kiana tersenyum, lalu berjalan pelan menghampirinya.

"Kamu pasti Radit, kan?"
Radit menyadari kehadirannya, namun ia tak peduli.

Matanya masih saja fokus menatap lembaran buku kusam itu.
"Oh ya, kenalin Aku Ana, anak kelas 10." Ujarnya memberi jabat tangan tapi juga tak di respon.

"Ayo dong kenalin."
Tanpa lama Kiana langsung menarik tangan Radit agar mau membalas uluran tangan nya.

Radit melirik sinis---lalu membuang muka
"Bar-bar." Ucapnya tanpa suara.

Tak peduli ocehannya, Kiana langsung memilih duduk disebelahnya
"Radit, aku mau ngomong bentar sama kamu."

"Apa?!" Ujarnya ketus tanpa menoleh sedikitpun.

"Aku mau min'---"

"ANA AWASSSS...."
Teriak salah satu cowok di tengah lapangan.

Melihat sebuah bola basket hampir melayang di depan wajah Kiana, Radit dengan sigap menepis bola itu dan spontan masuk dalam Ring. Semua terkagum.

"Wow. Keren." Ujar Kiana kemudian.

Seolah menutup teliga atas kekaguman teman-teman terhadapnya, Radit kembali acuh tak acuh."

"Dit.. Aku mau ngomong."
Radit masih tak peduli.

"Radiitt... Kalo orang ngomong di liat wajahnya, biar dia ngerasa di hargai."
Ujar Kiana pelan dengan santai menutup buku yang tengah di bacanya.

Radit melirik sekilas
"Apa?! Dari tadi bilang ngomong tapi gak ngomong-ngomong!"

Kiana mendegus, sikap balok es yang super luar biasa ketus ini memang tidak di hiraukan lagi. Jika saja suatu saat sikap yang seperti ini dijadikan rumah untuk pulang, mungkin saja Kiana dan kalian tidak akan bertahan.

"Ikut aku sebentar yuk, Penting." Ajak gadis itu seraya menarik tangan kekar putih Radit.

"Enggak! Kalo mau ngomong disini aja. Aku gak suka basa-basi!"

"Plis Dit, bentar aja, gak lama kayak kamu baca buku berjam-jam kok.

"Ayolah Dit, Pliss Ya ya, Ayolah." Kiana terus memaksa Radit sampai akhirnya ia mau dan berdiri dari duduknya dengan malas.

Obrolan Kiana dan Radit ternyata di tangkap oleh sekerumunan cowok di tengah lapangan basket, disusul cewek-cewek sportif yang tak kalah kesal melihat mereka.

Pasalnya, semua orang tentu mengenal Radit, semua orang juga tentu mengetahui sifat dingin cowok kutu buku itu, bahkan tak ada cewek manapun yang berhasil menarik Radit masuk ke dalam dunia mereka.

Radit itu ambisius dan penyendiri, begitu kata mereka.

Kiana membawa Radit ke taman belakang sekolah, taman itu sepi
tak ada orang sama sekali. Sampai-sampai Radit mengira Kiana akan membunuhnya saat itu.

"Kamu mau berniat jahat sama aku 'kan? Karena aku begitu cuek dengan orang-orang!"

"Itu kamu tau!" Kekeh Kiana.

"Aku bisa kenakan kamu pasal. Pasal...

"Dit..Dit..Dit.." Potong nya.

"Bukan itu bukan. Aku bukan mau bunuh kamu."Sambung Kiana.

"Tadi?"

"Tadi kan kamu bilang kamu begitu cuek dengan orang-orang, aku bilang itu kamu tau. Gitu, jangan salah sangka." Getir nya terkekeh.

Radit diam, canda Kiana sama sekali tak berefek padanya. Jangankan tertawa, tersenyum saja tidak.

Kiana gugup sebentar.

"Aku mau minta tolong sama kamu Dit."
Reaksinya Kiana tunggu, tapi tetap saja ambigu.

"O-key.. Gini Dit, aku mau minta tolong sama kamu supaya mau jadi guru Private aku."

Spontan Radit melirik kearah gadis itu setelah dia berujar. Wajahnya membingungkan, sekaligus tak mengenakkan.

"Sumpah Dit, Cuma dua minggu aja. Aku Cuma mau kamu jadi guru private Pelajaran Sains, karena dua minggu lagi aku bakal wakilin jurusan ikut lomba, tapi aku gak ngerti sama sekali. Ayolah Dit..Ya.."

"Kalo gak ngerti ngapain ikut?"

"Semua lomba yang aku pengen uda penuh. Cuma ini yang tinggal. Dan aku gak mau malu-maluin di depan Ariel.

Iya, gak boleh malu-maluin." Ujar nya semangat di susul lirikan heran dari Radit.

Radit masih diam, matanya menatap ke depan-menatap orang-orang berlalu lalang atau apalah yang dilihatnya. Yang jelas, dua bola mata coklat teduh itu tak dapat Kiana tangkap gelagatnya.

Kiana masih menunggu jawaban Iya dari Radit, bahkan harus jawaban Iya, ga boleh tidak. Karena Kiana tidak punya pilihan lain.

Di siang yang dingin dan di hari yang basah ini, untuk pertama kalinya Kiana memberanikan diri berbicara dengan Radit, seorang cowok jenius, pinter dan ditambah modal ganteng dari sekolah nya, dan Radit telah berada dalam pengawasan incaran Kiana selama seminggu terakhir ini.

Seperti setiap siang sampai sore hari, kiana terus memantau Radit ketika di datangi oleh beberapa cewek yang berbeda setiap harinya.

Dari mereka ada yang mendatangi Radit sendirian, berniat kenalan bahkan sampai membawa bekal makan siang, ada yang datang 3 orang, 2 orang, bahkan pernah juga 11 orang---persis seperti tim sepak bola.

Namun semua itu gugur, bahkan pemain cadangan pun tak berhasil menyentuh Hati Radit untuk sekedar tersenyum paksa. Ah.. Radit memang selau Ice Always, gak pernah nyadar!

"Dit, aku ini bukan salah satu Secret Admirer kamu, aku bukan perwakilan cewek-cewek centil itu yang berniat deketin kamu. Enggak Dit, Aku bahkan gak suka sama kamu!" Ujarnya kesal,

"Kamu tenang aja, setelah private ini selesai, terserah kamu deh mau jadi temenku atau enggak."

"Ya Dit, kamu mau ya? Kamu mau minta bayaran berapa aja aku kasih, Atau kalo kamu minta aku jadi pembokat kamu selama seminggu, aku mau deh, tapi Cuma seminggu, gak lebih. Kalo bisa sih... Sehari." Jujur nya.

Kiana merasa gugup tiba-tiba seraya menyentuh dua jari telunjuk.
Radit menghela nafas panjang, lalu meliriknya datar.
"Aku ngga butuh uang kamu!"

"Jadi?"

R A I N ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang