03 • Trauma Masa Kecil

44 7 0
                                    

"Gue lahir dalam keluarga yang mempunyai Papah pernah bercerai kemudian menikah lagi. Dan memiliki dua orang kakak, lahir dari ibu yang berbeda. Papah sayang banget kakak tiri gue. Tapi perlakuannya selalu berbeda ke gue dan kak Aldo. Entah mengapa yang gue ingat Papah selalu berperilaku kasar. Itu sebabnya gue gak dekat dan menjauhinya."

"Kemudian mamah jadi sosok satu-satunya yang penuh kasih. Kemana pun dia pergi gue selalu ikut. Tetapi kadang mamah sering pergi keluar rumah buat ngejalanin bisnisnya, dan itu jadi saat-saat yang menakutkan buat gue."

"Pernah bertengkar dengan Kakak tiri gue waktu berkunjung ke rumahnya. Bukannya menengahi, Papah malah menyeret gue ke kamar mandi. Kak Aldo yang saat itu belum mampu membela hanya menangis meronta-ronta meminta agar Papah menyudahi perlakuannya."

"Kemudian selepas SD, gue dibiayai paman buat melanjutkan sekolah ke tingkat berikutnya. Entah kenapa gue seneng liat kedua orang tua gue berpisah dan gak tinggal sama Papah lagi. Mamah selalu berusaha bekerja keras agar gue dan Kak Aldo gak merasa kekurangan. Mengingat Mamah selalu bikin gue pengen nangis."

"Rasa bersalah pun muncul ketika om gue meninggal, padahal gue pengen banget balas jasanya. Gue inget sebelum meninggal dia berpesan ke gue dan Kak Aldo buat saling menjaga satu sama lain dengan baik, dan terutama mengampuni Papah. Tapi itu hal tersulit buat kita berdua."

"Karna pekerjaan yang menuntut Mamah untuk merantau, gue jadi jarang ketemu. Kemudian Mamah beli rumah di Jakarta buat gue dan Kak Aldo tempatin. Gue minta dia buat menetap bersama gue dan Kak Aldo. Tapi Mamah menolak, bahkan dari mulutnya terlontar kalimat yang sampe sekarang susah buat gue lupain."

"Mamah bilang 'Aku menyesal melahirkanmu! Kau sangat mirip Papahmu itu!' Mendengar hal itu, gue nangis semalaman."

"Tapi walaupun ngalamin kejadian itu, gue bersedia belajar menjalin hubungan yang baik dengan Mamah, juga Papah. Karena gue gak mengerti kenapa mereka begitu membenci anaknya sendiri."

"Dengan ikhlas, gue hanya tinggal berdua dengan Kak Aldo yang saat ini melanjutkan kuliahnya dan bekerja di salah satu coffee shop milik temannya. Meski kami selalu mendapat jatah bulanan dari Mamah, tetapi Kak Aldo bersikukuh untuk tidak menggunakan uang itu. Sementara gue yang belum tamat SMA ini masih membutuhkan biaya. Mau gak mau gue memakai uang itu untuk keperluan sekolah."

"Semua ini gue lakuin karena nasehat mendiang Om gue, sebagai ucapan terimakasih untuk cintanya yang gak pernah bertepi. Tanpa dia, mungkin gue teramat sangat murka sama kehidupam gue sendiri."

- Are You Okay? -

Chiko kehabisan kata-kata mendengar setiap kata yang keluar dari mulut sahabat kecilnya.

"Alasan Tuhan kasih semua ini ke gue itu apa ya? Apa setelah ini gue bakal dapet reward?" Alya menatap Chiko dengan penuh tanya.

"Lo pasti dapet reward Al. Sebelum gue, dan orang di sekeliling lo, Tuhan pasti lebih dulu bangga sama lo," kata Chiko yang menenangkan Alya sambil menyingkirkan helaian rambut wanita itu yang tersapu angin.

Sedangkan Alya tersenyum lebar melihat perilaku teman kecilnya yang tidak berubah sejak dulu, hanya wajah dan postur tubuhnya saja yang berubah.

"Jangan senyum-senyum gitu Al, bikin diabetes." Chiko mendorong sedikit bahu Alya untuk menjauh.

"Biarin, gue kan cantik."

Chiko terdiam, ia merasa ada sesuatu mengganjal di dalam hatinya.

"Oh iya, Nyokap lo kenapa tadi?" tanya Alya sambil memakan telur gulung yang barusan dibeli bersama Chiko.

"Nyokap risih aja ngeliat gue di rumah, soalnya kerjaan gue tidur, makan, main handphone doang. Udah empet kayaknya sama gue," jawab Chiko sambil menyomot telur gulung dari kantong plastik yang dipegang Alya.

"Oh." Alya mengangguk tetapi masih fokus dengan telur gulungnya. "Gue juga kalo jadi nyokap lo pasti kesel sih, mungkin udah gue usir juga," lanjut Alya. "Soalnya apa ya? Gak guna juga di rumah ya kan, Ngabisin beras doang?" Tawa nya pecah mengingat pertengkaran Chiko dengan ibunya beberapa waktu lalu.

"Pinter ngeledek lo sekarang," ucap Chiko memutar kedua bola matanya.

"Biarin."

Suasana kembali hening. Chiko menyusuri wajah Alya dari samping. Senyum Alya yang merekah, hidungnya yang runcing, dan matanya yang indah. Mata yang mampu membuat Chiko damai saat melihatnya, namun juga pedih ketika melihat mata itu menangis.

"Ih kok tinggal lima biji sih, perasaan gue makan tiga doang." Alya menggerutu melihat telur gulung di tangannya berkurang.

"Pelit banget sih," sahut Chiko yang merasa tidak bersalah karna diam-diam memakan telur gulung milik Alya.

Alya berdecak sebal. "Beliin lagi gak!"

"Nggak!" sahut Chiko yang meniru suara Alya.

Alya memicingkan matanya pada Chiko. "Yaudah gue pulang sekarang juga, gue mau bikin telur gulung yang banyak di rumah, lo gak boleh minta," pekik Alya.

Chiko beranjak dari duduknya kemudian mengenakan almet army yang ia sampirkan di sandaran bangku.

Alya yang merasa ditinggal oleh Chiko berteriak "Awas lo ya!"

- Are You Okay? -

"Sering-sering main ke sini dong rumah sepi banget kayak ga ada kehidupan," pinta Alya pada Chiko. "Oh iya, kalau main ke sini juga wajib bawa makanan, kalo enggak gue usir soalnya."

"Makan mulu kerjaan lo. Olahraga, biar tinggi. Masa tinggi lo segini gue." Chiko berkata sambil mengukur tinggi badan Alya di tubuhnya.

"Gue gak mau tinggi-tinggi, nanti susah cari cowo yang lebih tinggi dari gue."

"Kaya ada yang mau sama lo aja," ujar Chiko meledek Alya.

"Banyak! Lo nya aja yang ga tau-"

Tin..

Keduanya menoleh melihat sebuah mobil hitam memasuki halaman rumah Alya. Alya tahu betul siapa pemilik mobil sedan itu, ia benar-benar mematung saat itu juga.

"Alya, bawa ini ke dalam." Seorang wanita yang baru keluar dari mobil dengan setelan kantor rapih berbicara pada Alya dengan dingin.

"Lo gakpapa?" tanya Chiko yang mengenali wanita yang barusan masuk ke dalam rumah Alya.

"Maybe yes, maybe no. Sekarang lo pulang aja, bantuin nyokap lo beres-beres rumah," ucap Alya diselingi senyuman-nya yang ia buat-buat.

"Kabarin gue kalau ada apa-apa," ujar Chiko yang memakai helmnya "this is my number, so call me maybe." Chiko menyanyikan penggalan lirik lagu itu pada Alya sebelum pergi.

"Ga waras, udah sana pergi," ucap Alya yang tidak bisa menahan tawa.

Setelah dirasanya lelaki itu pergi, Alya membalikkan badan menatap pintu rumahnya yang besar. Ia menghela nafas, tidak tau apa yang akan terjadi setelah lima tahun Mamahnya pergi meninggalkan rumah, dan kemudian kembali dengan tiba-tiba.

Are You Okay? [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang