Lucifer : 16

57.5K 11.1K 2.4K
                                    

              Jemina Dalone menunduk saat tatapan orang-orang menghanus ke arahnya. Sudah 3 minggu ia tidak masuk ke akademi dikarenakan sakit. Ada banyak bintik hitam di seluruh tubuhnya, menyebabkan teman-temannya semakin memandang Jemin dengan sinis.

"Si Bau itu masih hidup?"  Begitu kata teman-temannya saat berpapasan dengan Jemin.

Mendengar itu, Jemin mencium aroma tubuhnya. Tidak bau, tapi kenapa orang-orang mengatai Jemin bau? Apa karena bintik-bintik hitamnya yang belum memudar dikarenakan campak?

Jemin berusaha mengabaikan tatapan mengejek dari orang-orang itu. Ia pun mendudukkan tubuhnya di kursi samping Lady Grace yang sedang melamun. Sebisa mungkin Jemin menjauhkan dirinya agar Lady Grace tidak marah. Ia juga malu harus tampil seperti ini di hadapan gadis pujaannya.

"Hei, Cupu... Kemana saja kau satu bulan ini?" Tiba-tiba Lady Grace menoleh, dengan wajah suntuknya.

Hari ini,  gadis itu tidak memakai mahkota dan rambutnya pun digerai tanpa hiasan kepala atau aksesoris berlebihan yang biasanya ia pakai.

"Saya sakit, Lady," ujar Jemin kikuk, sembari menarik kursinya lebih jauh. Ia sangat takut Grace marah dan mengatai Jemin, dikarenakan bintik-bintik di tubuhnya belum sembuh sepenuhnya, tapi ia sudah masuk ke akademi.

"Kenapa kau jauh-jauh? Kau menghinaku?"

"Huh?" Jemin langsung refleks mendekatkan kursinya.

"Kau cacar?"

"Campak, Lady," ujar Jemin, sembari memalingkan wajah dan menghindari tatapan Lady Grace yang intens. Sejak beranjak dewasa dan mengalami ketertarikan dengan lawan jenis, Jemin sangat malu dengan penampilannya.

"Dasar aneh," keluh Grace. Ia pun mengeluarkan bukunya. "Dulu aku juga pernah bintik-bintik seperti itu. Aku olesi dengan minyak racikan Dokter Philip. Tiga minggu bekasnya sudah hilang."

"Kau lihat kakiku?" Grace menaikan gaunnya, hingga membuat wajah Jemin merah padam. "Jeno sialan menabrakku dengan Mouju. Aku kira akan ada bekasnya, tapi dengan minyak itu 1 bulan sudah memudar."

"Apa minyaknya dijual, Lady?"

Grace mengangguk, "Tapi harganya mahal. Kau miskin pasti tidak mampu beli."

Jemin menghela napas berat. Meskipun menjadi putra Jef Narenth, Jemin nyatanya hanyalah orang miskin. Ia tidak akan bisa hidup, bersekolah, ataupun membeli kebutuhan lainnya jika bukan karena belas kasih Pangeran Narenth yang mengiriminya uang setiap bulan. Seharusnya Jemin tahu diri untuk tidak menyukai Lady Grace.

"Aahhh... Gara-gara lama tidak bergaul, aku sampai berbicara dengan Si Cupu." Wajah Grace kembali murung.

Jemin menatap gadis itu. Sepertinya sayembara tidak berjalan dengan baik. Apalagi tiga hari dari sekarang akan diadakan lomba pacuan kuda. Dan setahu Jemin, sebelum lomba berlangsung, pihak istana sudah merilis daftar Lady yang berada dalam zona bahaya. Apakah Grace salah satunya? Jemin ingin bertanya tapi tidak berani.

"Lady Grace... Karena saya lama tidak masuk, apa boleh saya meminjam catatannya?" Jemin berusaha mengalihkan perhatian Grace agar wajahnya tidak murung.

Benar saja, Grace yang mendengarnya langsung mengernyit jijik. "Pinjam ke orang lain saja. Aku tidak suka barangku disentuh-sentuh."

"Maaf..." ringis Jemin.

Grace yang di sampingnya berdecak, lalu dengan kasar memberikan bukunya kepada Jemin. "Awas kalau sampai kotor dan terkena liurmu!"

Jemin menyunggingkan senyum tipis. "Terima kasih." Meskipun galak dan sangat kasar, Jemin tahu Lady Grace sebenarnya bukanlah orang jahat. Ia hanyalah orang yang sedikit kertelaluan.

The Lucifer Prince Who Fell For MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang